NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:239
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Serangan Fajar

Berita tentang serangan fajar yang akan datang menyebar di ruang komando darurat mereka di balai biliar Bangau bukan seperti api, tetapi seperti es. Itu adalah kebenaran yang dingin, keras, dan tak terhindarkan, yang membekukan semua orang di tempatnya. Di layar televisi tua yang berderak, gambar-gambar pemboman mengerikan di Grand Indonesia terus diputar, diselingi dengan wajah Leo dan Isabella di bawah tulisan merah menyala: "TERORIS NEGARA". Propaganda Soeharto bekerja dengan efisiensi yang mengerikan. Mereka tidak hanya akan diserang; mereka akan dimusnahkan dengan restu penuh dari publik yang marah dan berduka.

Kepanikan adalah reaksi pertama yang menjalari ruangan. Letnan-letnan Bangau mulai berteriak dalam bahasa Kanton dan Sunda, menyalahkan, mengutuk. Beberapa dari mereka meraih senjata, seolah ingin menyerbu keluar dan menghadapi takdir mereka dengan sia-sia.

"Tenang!" Suara Pak Tirta membelah kekacauan itu seperti cambuk. Ia tidak berteriak, tetapi ada bobot dalam suaranya yang menuntut kepatuhan. "Kepanikan adalah kemewahan yang tidak kita miliki. Kematian mungkin akan datang menjemput kita saat fajar. Pertanyaannya adalah, apakah kita akan menyambutnya sambil menangis di sudut, atau kita akan membuatnya membayar harga yang sangat mahal untuk setiap jengkal tanah yang ia ambil."

Keheningan kembali, kini keheningan yang suram. Pak Tirta menatap Leo. "Secara taktis, pilihan terbaik kita adalah melarikan diri. Gunakan rute selokan yang telah kita petakan. Kita bisa menghilang di perut kota ini. Biarkan mereka mengambil gedung-gedung kosong."

Bangau, yang telah duduk diam di kursinya, mengangguk setuju. "Orang tua ini benar. Biarkan mereka memiliki beton dan aspal. Kita bisa bersembunyi di antara rakyat. Sarang Tawon adalah sebuah labirin. Mereka tidak akan pernah menemukan kita semua."

Itu adalah pilihan yang logis. Pilihan yang masuk akal. Pilihan seorang pejuang gerilya.

Tapi Isabella, yang telah berdiri menatap peta Sarang Tawon, menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak," katanya, suaranya nyaris tak terdengar, namun setiap orang di ruangan itu mendengarnya.

Ia berbalik, dan matanya yang gelap membakar dengan intensitas seorang martir. "Lari? Setelah kita memberi mereka harapan? Setelah kita meminta mereka untuk percaya pada kita? Jika kita menghilang di malam hari, dan membiarkan pasukan Soeharto menyerbu masuk saat fajar, apa yang akan terjadi pada jutaan orang di luar sana? Mereka akan dibantai sebagai 'kerusakan tambahan' dalam perburuan Soeharto terhadap kita. Warga sipil akan mati, dan darah mereka akan ada di tangan kita."

Ia menatap Leo, lalu ke semua orang di ruangan itu. "Aku tidak akan lari. Aku tidak akan meninggalkan rakyatku. Aku tidak akan menyerahkan kerajaanku yang baru ini tanpa pertarungan. Ini bukan lagi tentang Empress Tower. Ini tentang tempat ini. Tentang orang-orang ini."

Leo berjalan ke sisinya, meletakkan tangannya di bahu Isabella. "Dia benar," katanya, suaranya kini bergema dengan keyakinan Ratu-nya. "Selama ini, kita telah bermain catur. Sekarang, Soeharto telah menendang mejanya. Dia ingin pertarungan jalanan yang brutal. Baiklah. Kita akan memberinya pertarungan yang tidak akan pernah ia lupakan."

"Ini bukan lagi tentang bertahan hidup," lanjut Leo, matanya berkilat dengan api yang dingin dan strategis. "Ini tentang pengorbanan. Kita akan mengubah setiap gang di Sarang Tawon ini menjadi sebuah kuburan bagi pasukannya. Kita akan membuat penaklukan tempat ini begitu mahal, begitu berdarah, hingga kemenangannya akan terasa seperti kekalahan di mata dunia. Kita tidak akan lari. Kita akan mengubah penjara ini menjadi neraka bagi siapa pun yang mencoba masuk."

Keputusan itu telah dibuat. Bukan lagi sebuah evakuasi, tetapi sebuah pertahanan hingga titik darah penghabisan. Semangat keputusasaan di ruangan itu berubah menjadi tekad yang suram. Jika mereka akan mati, mereka akan mati sebagai legenda.

Malam terpanjang dalam hidup mereka pun dimulai. Di bawah komando Triumvirat—Leo sang ahli strategi, Isabella sang inspirator, dan Pak Tirta sang ahli taktik—Sarang Tawon berubah menjadi sebuah benteng raksasa yang dibangun dari sampah dan pembangkangan.

Rencana pertahanan mereka adalah sebuah mahakarya perang gerilya perkotaan. Mereka membagi Sarang Tawon menjadi tiga lapis pertahanan. Lapisan luar, di jalan-jalan utama, akan menjadi zona pembunuhan. Barikade-barikade raksasa didirikan dari mobil-mobil tua, gerobak-gerobak yang dilas menjadi satu, dan tumpukan puing-puing. Di belakang setiap barikade, tim-tim yang dipimpin oleh preman-preman paling ganas Bangau menunggu dengan ratusan bom molotov dan senapan rakitan.

Lapisan kedua adalah labirin gang-gang sempit. Di sinilah Legiun Sang Alkemis akan beroperasi. Mereka memasang jebakan-jebakan maut di setiap sudut: ranjau darat buatan sendiri yang disembunyikan di bawah tumpukan sampah, kabel-kabel yang direntangkan setinggi leher di lorong-lorong gelap, dan IED yang dikendalikan dari jarak jauh yang dibuat dari tabung gas elpiji dan pupuk curian.

Dan lapisan ketiga, pusat pertahanan terakhir, adalah sebuah blok apartemen tua yang tinggi dan kokoh di jantung Sarang Tawon. Di sanalah Dapur Alkemis berada, yang kini berfungsi ganda sebagai rumah sakit darurat. Di atap gedung itu, Bianca dan tim teknisnya bekerja keras, mencoba mempertahankan jaringan komunikasi internal mereka dari serangan siber militer yang tak terhindarkan.

Tapi senjata terbesar mereka bukanlah bom atau peluru. Senjata terbesar mereka adalah rakyat. Saat berita tentang pertahanan terakhir menyebar melalui "Suara Sarang Tawon", ratusan warga sipil—para pemuda pengangguran, para kuli panggul, bahkan para ibu rumah tangga—keluar, menawarkan bantuan. Mereka tidak bisa bertarung, tetapi mereka bisa menjadi mata dan telinga. Mereka menjadi jaringan pengintai yang tak tertandingi, berdiri di setiap atap dan setiap jendela, siap untuk meneriakkan pergerakan musuh, memberikan informasi real-time kepada para pejuang di bawah.

Malam itu, Isabella memberikan pidato terakhirnya melalui radio bajak laut. Suaranya tenang, kuat, dan tanpa rasa takut. Ia tidak meminta rakyatnya untuk bertarung. Ia justru meminta mereka untuk berlindung.

"Saudara-saudaraku di Sarang Tawon," katanya, suaranya bergema dari ribuan speaker radio butut di seluruh distrik. "Musuh kita akan datang saat fajar. Mereka datang untuk menghancurkan harapan yang telah kita bangun bersama. Mereka akan datang dengan api dan baja. Aku tidak akan meminta kalian untuk bertarung. Aku meminta kalian untuk hidup. Berlindunglah di rumah kalian, jaga anak-anak kalian, dan berdoalah. Biarkan kami, para prajurit kalian, yang menghadapi badai ini di depan pintu. Kami mungkin tidak akan melihat matahari terbenam besok. Tapi aku bersumpah, atas nama setiap tetes darah yang akan tertumpah, fajar yang akan mereka temui di sini akan menjadi fajar yang paling berdarah dalam sejarah mereka. Malam ini, kita tunjukkan pada mereka apa artinya membangunkan sarang tawon yang sedang tidur."

Pidato itu menyatukan mereka semua. Malam itu, tidak ada lagi geng atau suku. Hanya ada satu keluarga besar yang bersiap untuk mempertahankan rumah mereka.

Fajar datang bukan dengan cahaya keemasan, tetapi dengan kabut abu-abu yang merayap dari laut, membawa serta keheningan yang mencekam. Lalu, dari kejauhan, terdengar suara itu. Sebuah gemuruh rendah yang terus membesar, seperti detak jantung monster raksasa yang mendekat. Gemuruh dari ratusan mesin diesel kendaraan militer.

Di pusat komando darurat mereka—kini dipindahkan ke ruang bawah tanah di bawah Dapur Alkemis—Leo, Isabella, dan Pak Tirta menatap lusinan layar kecil yang menampilkan rekaman dari kamera-kamera ponsel yang dipasang di seluruh penjuru. Mereka melihatnya. Konvoi kendaraan lapis baja (APC) dan truk-truk pasukan bergerak maju, ujung tombak dari sebuah invasi.

"Mereka datang," bisik Bianca, tangannya gemetar di atas keyboard.

"Biarkan mereka datang," balas Leo, matanya terpaku pada layar utama yang menunjukkan gerbang depan utama. "Biarkan mereka mencicipi hidangan selamat datang kita."

Serangan itu dimulai dengan kekuatan yang sombong dan luar biasa. Tiga APC bergerak maju dengan kecepatan tinggi, berniat untuk menghancurkan barikade utama seperti bulldozer. Para prajurit Satgas Khusus turun dari truk, mulai bergerak maju dalam formasi yang textbook.

Saat APC pertama menghantam barikade, dunia meledak.

Sebuah IED raksasa yang ditanam oleh tim Marco di bawah tumpukan puing meledak, mengubah bagian depan APC itu menjadi bola api dan logam yang bengkok. Ledakan itu begitu kuat hingga membuat dua APC lainnya berhenti mendadak. Itulah sinyalnya.

Dari atap-atap gedung di kedua sisi jalan, hujan api turun. Ratusan bom molotov dilemparkan oleh anak buah Bangau, mengubah jalanan di depan barikade menjadi lautan api, menjebak para prajurit yang terekspos. Teriakan panik dan kesakitan terdengar, bercampur dengan suara tembakan balasan yang membabi buta.

Gerbang neraka telah terbuka.

Di bawah komando Kolonel Santoso dari pusat komando bergeraknya di luar zona karantina, pasukan Satgas mencoba beradaptasi. Mereka mulai memasuki gang-gang sempit, mencoba untuk menyusup dari sisi sayap. Tapi di sanalah mereka memasuki lapisan pertahanan kedua. Labirin jebakan Legiun Sang Alkemis.

Sebuah tim yang terdiri dari lima prajurit bergerak hati-hati menyusuri sebuah lorong gelap, hanya untuk salah satu dari mereka menginjak sebuah papan yang longgar, memicu sebuah ranjau darat sederhana yang menghancurkan kaki mereka. Saat rekan-rekannya mencoba menolong, Riko dan Maya muncul dari bayang-bayang di atap, melepaskan tembakan terarah dengan peredam suara, melumpuhkan sisa tim itu sebelum lenyap kembali.

Di gang lain, sebuah tim lain terjerat oleh kabel-kabel tersembunyi, menjadi target empuk bagi para penembak dari jendela-jendela di atas. Sarang Tawon telah berubah menjadi sebuah labirin maut, di mana setiap sudut adalah ancaman dan setiap bayangan adalah musuh. Pasukan Soeharto yang terlatih untuk perang konvensional, kini benar-benar kewalahan menghadapi perang gerilya yang brutal dan tak terduga.

Di garis depan, Marco adalah perwujudan dari dewa perang. Ia berdiri di atas barikade yang terbakar, senapan mesin ringan di tangannya memuntahkan peluru, memberikan perlindungan bagi anak buahnya sambil meneriakkan perintah. Ia terluka di lengannya, tetapi ia seolah tidak merasakannya, didorong oleh adrenalin dan kesetiaan buta pada Ratu-nya.

Isabella sendiri berada di tengah-tengah pertempuran. Ia tidak bersembunyi di pusat komando. Ia bergerak dari satu titik pertahanan ke titik lainnya, senapan serbu kompak di tangannya, memberikan semangat pada para pejuang, mengoordinasikan pertahanan, dan sesekali melepaskan tembakan terarah pada target-target penting. Kehadirannya di medan perang adalah suntikan moral yang luar biasa. Para pejuang melihat Ratu mereka bertarung bersama mereka, dan itu membuat mereka rela mati untuknya.

Selama hampir tiga jam, para pejuang Sarang Tawon berhasil menahan gelombang pertama. Mereka menderita kerugian, tetapi kerugian di pihak musuh jauh lebih besar. Mereka telah menciptakan sebuah keajaiban pertahanan.

Di pusat komando bergeraknya, Kolonel Santoso menatap layar-layar drone dengan wajah yang mengeras. Ia telah meremehkan lawannya. Ia mengira akan menghadapi preman-preman yang tidak terorganisir. Ia tidak menduga akan menghadapi sebuah pasukan gerilya yang terkoordinasi dengan baik.

"Hentikan serangan darat!" perintahnya. "Mereka telah mengubah gang-gang itu menjadi zona pembunuhan. Waktunya untuk Rencana B. Aku ingin hujan api di atas mereka."

Perang memasuki fase keduanya yang jauh lebih mengerikan. Suara gemuruh helikopter serbu mulai terdengar di atas. Dan kemudian, mortir mulai berjatuhan.

Tidak ada lagi presisi. Tidak ada lagi pertempuran di gang-gang. Yang ada hanyalah kehancuran membabi buta dari langit. Ledakan-ledakan mulai merobek atap-atap seng, meruntuhkan gedung-gedung apartemen yang reyot, dan membakar seluruh blok. Soeharto, melalui komandannya, telah memutuskan bahwa jika ia tidak bisa menaklukkan Sarang Tawon, maka ia akan meratakannya dengan tanah.

Pusat komando mereka di bawah Dapur Alkemis bergetar hebat saat sebuah mortir menghantam gedung di sebelahnya.

"Kita kehilangan kontak dengan tim di sektor tiga!" teriak Bianca, wajahnya pucat. "Atap mereka runtuh!"

Rumah sakit darurat mereka mulai dipenuhi oleh korban-korban baru, bukan hanya pejuang, tetapi juga warga sipil yang rumahnya hancur. Jeritan kesakitan dan tangisan kini menjadi musik latar dari pertempuran mereka.

Di tengah kekacauan itu, sebuah tragedi pribadi terjadi. Riko, saat sedang bergerak di atap untuk mencari posisi menembak baru, melihat sebuah mortir menghantam pilar penyangga sebuah gedung apartemen tua. Gedung itu mulai bergetar, akan runtuh. Di salah satu balkon di lantai tiga, seorang wanita sedang berteriak panik, anaknya yang masih kecil terperangkap di bawah reruntuhan kecil.

Tanpa ragu, Riko melompat ke balkon itu. Ia berhasil mengangkat balok beton yang berat dan membebaskan anak itu. Ia mendorong sang ibu dan anaknya ke arah tangga darurat. "Pergi! Cepat!"

Saat ia berbalik untuk menyusul, gedung itu akhirnya menyerah. Dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga, seluruh struktur itu runtuh ke dalam, membawa Riko bersamanya dalam awan debu dan puing.

Di atap lain yang berjarak seratus meter, Maya menyaksikan semuanya. Ia melihat saudara kembarnya ditelan oleh reruntuhan. Ia tidak menjerit. Ia tidak menangis. Wajahnya yang cantik hanya menjadi topeng dari kekosongan yang dingin. Sesuatu di dalam dirinya telah mati bersama Riko.

Berita tentang kematian Riko menyebar dengan cepat, sebuah pukulan telak bagi moral mereka yang mulai goyah.

Dan kemudian, bencana terakhir terjadi. Sebuah helikopter serbu, yang berhasil menghindari tembakan anti-udara mereka yang sporadis, melepaskan satu roket yang cerdas. Roket itu menghantam menara komunikasi darurat yang telah dibangun Bianca di atap gedung pusat mereka.

Dengan ledakan yang memekakkan telinga, pusat komando mereka menjadi buta dan tuli. Semua layar menjadi statis. Semua komunikasi terputus.

Mereka kini terpencar, tanpa komando, dan sedang dihujani oleh api dari langit. Ini adalah titik terendah mereka. Kekalahan tampak tak terhindarkan. Kolonel Santoso, merasakan kemenangan sudah di depan mata, memerintahkan unit hantunya—pasukan paling elite dan paling kejam—untuk mulai bergerak masuk, menyisir dari blok ke blok, dengan target utama: menangkap atau membunuh para pemimpin pemberontakan.

Di tengah kekacauan, Leo, Isabella, Pak Tirta, Marco, dan Maya yang kini diam dan mematikan, berhasil berkumpul kembali di sebuah bunker darurat di bawah pasar ikan. Mereka terluka, kotor, dan hampir kehabisan amunisi.

"Ini akhirnya," kata Bangau, yang berhasil bergabung dengan mereka, lengannya berdarah. "Kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi."

Leo menatap wajah-wajah timnya yang lelah dan putus asa. Ia melihat Maya yang matanya kosong, dipenuhi oleh keinginan untuk membalas dendam. Ia melihat Isabella yang wajahnya berlumuran debu mesiu, tetapi matanya masih menyala dengan api pembangkangan.

Di saat tergelap itulah, rencana terakhirnya yang paling gila dan paling putus asa terbentuk.

"Kau benar, kita tidak bisa bertahan," kata Leo. "Jadi... kita akan menyerang."

"Menyerang apa? Kita bahkan tidak bisa melihat mereka!" balas Marco.

"Kita tidak akan menyerang pasukan mereka," kata Leo. "Kita akan menyerang kepalanya."

Ia meraih sebuah tablet yang masih berfungsi. "Bianca, sebelum komunikasi terputus, apa kau berhasil melacak lokasi pusat komando bergerak Santoso?"

Bianca mengangguk pelan. "Ya. Di sebuah persimpangan jalan besar, sekitar dua kilometer di sebelah timur perimeter. Dia merasa aman di sana."

"Kalau begitu, itulah target kita," deklarasi Leo. "Kita tidak bisa lagi memenangkan perang defensif ini. Satu-satunya kesempatan kita adalah dengan melakukan serangan bedah dan memenggal kepala komando mereka. Jika kita bisa menangkap atau membunuh Santoso, kita bisa menciptakan kekacauan yang cukup untuk memaksa mereka mundur sementara."

Itu adalah sebuah misi bunuh diri. Sebuah tim kecil yang mencoba menembus ribuan tentara untuk menyerang pusat komando mereka.

"Aku ikut," kata Maya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Aku ingin melihat mata pria yang memberi perintah itu saat aku mengambil nyawanya."

"Kita semua ikut," kata Isabella tegas.

Rencana itu dibuat dengan cepat di atas lantai yang basah. Mereka akan menggunakan rute selokan yang paling dalam untuk bergerak sedekat mungkin dengan target. Lalu, mereka akan menggunakan sisa-sisa kekacauan di jalanan sebagai perlindungan untuk serangan terakhir mereka.

Pertarungan mereka menyusuri jalanan yang kini telah menjadi medan perang neraka adalah sebuah epik tersendiri. Mereka bergerak dari satu reruntuhan ke reruntuhan lain, bertarung melawan patroli-patroli unit hantu yang menyisir area itu. Pak Tirta bergerak dengan efisiensi seorang veteran, Marco adalah sebuah benteng berjalan, Maya adalah hantu pembalasan yang mematikan, sementara Leo dan Isabella bertarung sebagai satu kesatuan yang sempurna.

Akhirnya, setelah pertempuran yang terasa seperti selamanya, mereka berhasil mencapai target mereka. Pusat komando bergerak Kolonel Santoso. Sebuah konvoi yang terdiri dari tiga kendaraan lapis baja besar, dikelilingi oleh perimeter penjagaan yang ketat.

Mereka melancarkan serangan terakhir mereka yang putus asa. Menggunakan sisa-sisa bahan peledak mereka untuk menciptakan pengalihan, mereka menyerbu perimeter itu. Pertempuran jarak dekat yang brutal dan ganas terjadi. Mereka kalah jumlah, tetapi mereka bertarung dengan kekuatan dari orang-orang yang tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan.

Satu per satu, mereka berhasil menerobos, hingga akhirnya hanya tersisa satu kendaraan komando utama.

Leo, dengan tendangan terakhir yang kuat, mendobrak pintu kendaraan itu.

Di dalam, Kolonel Santoso sedang menunggu, dikelilingi oleh empat pengawal pribadinya yang paling elite. Ia tampak tenang, pistol di tangannya terarah ke pintu.

Tapi ia tidak sendirian.

Di sebuah layar video raksasa di belakangnya, yang terhubung langsung ke bunker Soeharto, terpampang wajah Jenderal Purnawirawan Soeharto. Ia tersenyum, senyum yang dingin dan penuh kemenangan, seolah sedang menonton pertunjukan opera favoritnya.

"Pertunjukan yang luar biasa, Alkemis," kata suara Soeharto yang tenang dan diperkuat, menggema dari speaker di kendaraan itu. Ia menatap wajah Leo yang berdarah, kotor, dan kelelahan. "Benar-benar luar biasa. Aku harus mengakui, kau telah memberiku hiburan yang lebih seru daripada yang kuduga."

Leo dan timnya berdiri membeku di ambang pintu, menyadari bahwa mereka telah berjalan lurus ke dalam babak terakhir dari jebakan sang Jenderal.

"Tapi sekarang..." lanjut Soeharto, senyumnya sedikit melebar. "...saatnya untuk babak penutup."

Ia memberikan anggukan kepala yang nyaris tak terlihat di layar. Dari balik Kolonel Santoso, dari sudut gelap di dalam kendaraan yang tidak mereka lihat, sesosok figur melangkah maju. Sosok itu mengenakan seragam hitam dari Satuan Tugas Khusus, wajahnya tanpa ekspresi, dan di tangannya ada sebuah pistol yang terarah lurus ke jantung Leo.

Itu adalah Detektif Adrian Hartono.

Wajahnya adalah topeng dari resolusi yang dingin dan kosong, seolah semua konflik batinnya telah lama mati dan terkubur. Ia adalah senjata yang patuh, yang kini diarahkan pada orang-orang yang pernah ia coba selamatk

an.

Pengkhianatan terakhir. Jebakan di dalam jebakan. Permainan telah berakhir.

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!