NovelToon NovelToon
Candu Istri Klienku

Candu Istri Klienku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:10.6k
Nilai: 5
Nama Author: N_dafa

"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

“Baby, kamu dimana? Kenapa nggak kelihatan? Cuma langit-langit doang loh.”

Mendengar suara bingung Biantara, Ajeng semakin kesal.

“Matiin aja kalau Bapak kayak gitu. Dasar nggak sopan! Saya nggak mau ambil handphone lagi kalau belum dimatiin.”

“Baiklah… maafkan aku. Tapi, aku cuma bercanda.” Terdengar nada menyesal dari seberang sana.

“Bercandanya nggak lucu!” Ajeng masih memalingkan wajahnya dari ponsel. Dia juga berbicara dengan sedikit berteriak agar lawan bicaranya mendengar.

“Sekali lagi, aku minta maaf. Tapi, ini nggak seperti yang pikirkan, Baby. Lihatlah dulu! Ini cuma mainan.”

“Mainan apa kayak gitu? Orang situ betulan pegang itu.”

“Iya, Ajeng. Tapi ini betulan mainan. Coba lihat dulu!”

Sialnya, Ajeng mulai terprovokasi. Wanita itu mengambil ponselnya lagi meskipun ragu.

“Nah, lihat! Ini cuma alat bantu se-ks.”

Saat wajah Ajeng muncul lagi, Biantara langsung menunjukkan apa yang sebenarnya ada di tangannya.

Ajeng mengerutkan keningnya kesal, karena menyadari jika Biantara benar-benar mengerjainya.

“Anda benar-benar nggak tahu malu, Pak. Masa bercanda sampai segitunya?”

“Iya, maaf. Tapi, aku emang udah nggak punya malu lagi sama kamu. Kan kamu udah lihat seluruh tu buhku.”

Ajeng mendengus, lalu melengos.

“Tapi, Baby. Memangnya, kamu nggak sadar kalau pakaianku aja masih lengkap?”

Ajeng masih malas menjawab meskipun dia tetap standby di depan kamera.

“Ayolah, jangan ngambek gitu. Udah aku buang tuh.”

“Ck. Lagian, ngapain sih punya kayak gitu segala? Emangnya, bapak main sendiri pakai itu?”

“Eits, jangan asal nuduh, Baby.” Biantara tak terima. “Kamu pikir aku suka main anggar? Itu cuma barang temuan  waktu sidak karyawanku. Aku normal, Ajeng. Memangnya, kamu nggak merasakan kehebatanku? Yang ada aku saingan sama benda itu. Mana ukurannya hampir sama lagi dengan punyaku.”

“Eh! Jangan macam-macam!” Ajeng sontak berteriak karena tiba-tiba Biantara memegangi kancing celananya.

“Apa sih? Aku cuma mau lepas celana. Aku tadi baru pulang dari luar.” santai lelaki itu.

Dan benar saja, dia membuka celananya, tapi masih menyisakan boxer di dalamnya.

“Ah, nyamannya…” gumam Biantara.

Ajeng sampai berdehem mendengar desa han lelaki itu. Entahlah, suara itu tiba-tiba mengingatkan dirinya pada suara yang Biantara buat malam itu.

Setelah menyisakan boxer dan kaos di badannya, Biantara mengambil ponsel yang semula dia letakkan secara touchless entah dimana. Dari kamera Ajeng, terlihat wajah Biantara semakin dekat.

“Ayolah, Baby. Senyum dong! aku kangen sama senyummu.”

Ajeng benar-benar masih memasang wajah cemberut.

“Bapak nggak punya kerjaan ya? Kenapa telepon saya?” Justru itu yang Ajeng tanyakan.

“Kerjaanku banyak. Makanya, ini baru pulang dan baru bisa hubungin kamu. Kalau kamu, udah sampai dari tadi ya?”

“Hem…” sahut Ajeng malas.

“Hhh,” lelaki yang kini terlihat sedang berbaring itu, menghembuskan nafas panjang. “Kapan ya kita ketemu lagi?”

“Tenang saja! Saya nggak lupa sama janji saya. Tapi, saya akan sangat berterima kasih kalau Bapak melupakan masalah kita.”

“Enak aja melupakan. Sampai sekarang aja, aku justru inget sama kamu terus, Baby.”

“Please, Pak. Jangan panggil saya seperti itu. Anda benar-benar terdengar seperti Om-om mesum mengerikan.”

“Hahaha!” Sialnya, Biantara malah tertawa. “Memangnya, kamu pernah ada masalah sama om-om mesum mengerikan?”

“Enggak. Saya udah nggak pantes sama om-om. Saya sendiri aja udah tante-tante.”

“Oh ya? Berapa umurmu?”

“25.” Singkat Ajeng.

“Wah, masih muda ternyata. Tapi, kamu sudah sangat hebat kalau di ranjang.”

“Saya matikan kalau Bapak bahas itu lagi.”

Entah kenapa, Ajeng ingin sekali Biantara melarangnya mematikan sambungan telepon mereka.

“Eh, jangan dong, Baby. Aku masih mau ngobrol sama kamu.”

Dan beruntung, Biantara benar-benar melarangnya. Tentu saja, Ajeng menurut, meskipun pura-pura kesal.

Tak tahu. Yang jelas, Ajeng butuh hiburan saat ini. Yeah, ini manusiawi bukan?

“Baby.” Panggil Biantara setelah mereka terdiam beberapa saat.

“Sudah ku bilang, jangan panggil seperti itu.” Ajeng cemberut. Mempertahankan sikap sok kesalnya.

“Ya sudah, tapi ada syaratnya. Kamu juga nggak boleh panggil aku Pak lagi.”

“Kenapa? Saya kan menghargai anda.”

“Aku tahu, aku lebih tua lima tahun dari kamu. Tapi, aku mau kita akrab. Coba kamu panggil aku seperti Rendy memanggilku.”

“Ya, nanti kalau inget.” Ajeng sekenanya.

“Harus inget, Ajeng. Aku juga akan ingat supaya memanggil namamu saja.”

“Ya…”

“Satu lagi.” Biantara terlihat bersemangat sekali.

“Apa?” Malas Ajeng.

“Jangan pakai obrolan formal lagi kalau ngomong sama aku. Aku malah semakin merasa jadi Om-om kalau kamu bicara formal kayak gitu.”

“Tapi, kita nggak sedekat itu.”

“Kurang deket apa kita ini, Ajeng? Bahkan, kita udah saling menyatu. Dua kali malahan.”

“Aku males bahas itu.” Ajeng memutar bola matanya malas.

“Baiklah… tapi, aku cuma mau ingetin kamu, kalau kita punya hubungan lebih dari sekedar dekat.”

“Kan cuma sementara.”

“Okelah, yang bagian itu memang sementara. Tapi, kita bisa mulai berteman mulai sekarang.”

Ajeng terdiam. Dia menunduk dari depan kamera. Sebenarnya, dia bingung harus menjawab apa.

“Gimana, Ajeng? Mau nggak? Kita bisa jadi teman kalau kamu mau. Kamu boleh cari aku kalau kamu butuh aku.”

Tiba-tiba, mata Ajeng memanas. Dia sampai tak berani mengangkat wajahnya.

“Ajeng.” Panggil Biantara saat Ajeng hanya diam saja. “Apa ada masalah, hem?”

Terpaksa, Ajeng mengangkat wajahnya lagi. Tapi, dia cepat menghapus air matanya agar tak terlihat oleh Biantara. Tentu saja, Biantara justru tahu jika Ajeng menangis dari tingkah wanita itu.

“Kenapa?” Suara Biantara terdengar lembut. “Kamu boleh cerita sama aku kalau mau.”

“Buat apa kamu melakukan semua ini ke aku?” Ajeng malah bertanya. Suaranya, terdengar sedikit pilu.

Terlihat, Biantara mengerutkan keningnya. “Melakukan apa?”

“Perhatian sama aku. Apa karena kamu sudah meniduriku? Aku nggak butuh rasa bersalahmu.”

Biantara terdengar menghela nafas panjang. “Kamu trust issue sama laki-laki, Ajeng?”

“Aku cuma waspada.”

“Baiklah… aku tahu, rumah tanggamu sangat kacau sekarang ini. Aku nggak maksa kamu buat cerita. Tapi, aku siap kalau kamu butuh teman. Jangan khawatir! Aku nggak akan ember. Aku juga tulus mau jadi temanmu.”

Ajeng menarik nafasnya dalam-dalam, terkesan berat sekali.

“Kamu bisa membantuku?” Entah apa yang Ajeng pikirkan, tapi dia tak segan-segan meminta bantuan Biantara.

“Bantuan apa?”

“Aku butuh notaris dan pengacara untuk perceraian kami. Tapi, Mas Rendy akan sulit menerima.”

“Kamu yakin ingin bercerai, Ajeng?” Suara Biantara, terdengar serius.

“Ya. Aku yakin. Aku sudah muak dengan semua ini.”

“Tapi, kamu masih cinta sama Rendy.”

“Orang yang memaksakan cinta itu adalah orang bodoh. Tapi, tanpa cinta Mas Rendy pun, aku yakin bisa tetap hidup. Bahkan, mungkin hidupku akan lebih baik lagi.”

Biantara terdiam sejenak, sebelum akhirnya menatap ke arah kamera sungguh-sungguh.

“Aku nggak mau dianggap sok baik, tapi aku mendukung keputusanmu.”

Ajeng tersenyum miring. “Seneng banget kamu ya, kalau aku sedih? Kayaknya, kamu benar-benar punya dendam sama aku.”

“Terserah apa katamu. Tapi, aku nggak mau munafik. Aku punya kesempatan mendekatimu kalau kamu cerai sama Rendy.”

“Hahaha!” Baru kali ini, Ajeng tertawa dengan Biantara meskipun tak terlalu lepas. “Apa yang kamu harepin dari aku? Kamu bisa cari perempuan yang lebih baik dari aku di luar sana.”

“Tapi, percaya atau tidak, cuma kamu yang sedang menarik perhatianku sekarang, Ajeng.”

“Oh ya?” Ajeng pura-pura takjub, dengan tawa kecilnya. “Makasih loh udah tertarik sama aku.”

Biantara tak menanggapi dengan sepatah katapun. Lelaki itu hanya tersenyum penuh arti sambil menatap kamera.

Setelah sadar jika sedang diperhatikan, Ajeng mendadak gugup dengan sendirinya.

“A—ada apa? Kenapa lihatin aku kayak gitu?”

“Kamu cantik kalau lagi tersenyum.”

“Apa sih?” Ajeng pura-pura malas, padahal aslinya sedang menahan senyum.

“Aku serius, Ajeng. Kamu memang cantik.”

“Sudahlah, aku udah paham laki-laki seperti apa kamu ini. Tapi, aku nggak heran sih, kalau orang kaya raya sepertimu sering merayu perempuan.”

“Apa menurutmu, aku seperti itu?”

“Ya. Tentu saja. Kamu bahkan rela kasih aku barang mahal yang nggak tahu tujuannya apa.”

"Maksudmu cincin?"

Ajeng mengangguk.

“Kan udah jelas. Tujuannya kan cuma buat ganti logam mulia kemarin. Aku nggak suka manusia culas seperti suami dan madumu itu.”

“Tapi, ini terlalu berlebihan. Seharusnya, kamu nggak perlu peduli kemana perginya reward kemarin.”

Biantara tak menjawab. Dia malah berubah fokus pada cincin di tangan Ajeng.

Wanita itu tidak berniat menunjukkan. Tapi sepertinya tertangkap kamera.

"Kamu memakainya?"

“Tadi iseng nyoba, tapi malah nggak bisa dilepas lagi. Nggak tahu kenapa. Padahal, nggak sempit-sempit amat kok.”

“Itu namanya kita jodoh, Ajeng.”

“Dasar perayu!” Ajeng menggelengkan kepalanya dengan senyum miring.

Rupanya, wanita itu sudah mulai terbiasa dengan Biantara.

“Tapi, aku tidak sedang merayu. Jadi, jangan terlalu percaya diri.”

“Ya ya ya. Anda selalu benar, Tuan.”

Biantara terkikik lagi. Tapi, tak lama kemudian, dia menghentikan tawanya.

“Jadi, gimana? Jadi mau aku carikan notaris sama pengacara?” lelaki itu kembali ke pembahasan awal.

“Boleh. Tapi, carikan yang deket-deket sini aja.”

“Kalau kamu mau, besok aku ke tempatmu, bawa mereka.”

“Eh, nggak usah! Kamu cukup kasih tahu aja mana pengacara dan notaris yang bagus. Siapa tahu, kalau pakai namamu, mereka lebih segan sama aku.”

“Makanya, aku akan kesana sama mereka. Kalian bisa ketemu secara langsung.”

“Jangan!” Ajeng menolak cepat. “Aku aja yang buat janji sendiri.”

“Tapi, lebih cepat lebih baik, Ajeng.”

“Aku tahu. Tapi, tidak sekarang dulu.” Ajeng mendadak sendu.

“Kenapa? Kamu masih sibuk?”

Ajeng menggelengkan kepalanya.

“Lalu? Kamu ada masalah?” Entah kenapa, Biantara terdengar mendesak.

Ajeng terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab.

“Aku dikurung sama Mas Rendy biar nggak bisa ngajuin gugatan cerai.”

“Apa?! Dasar laki-laki bajingan!”

1
Yunita aristya
ren2 nanti Ajeng sudah pergi baru tau rasa kamu. mau liat kamu nyesal dan jatuh miskin gara2 istri muda mu yg suka foya2😁😂
Nana Colen
luar biasa aku suka sekali karyamu 😍😍😍😍😍
Yunita aristya
lanjut kak
Nana Colen
lanjut thooooor❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍
Nana Colen
benar benar ya rumput tetangga lebih hijau 🤣🤣🤣🤣
Nana Colen
dasar laki tak tau diri 😡😡😡😡
Yunita aristya
lanjut
Nana Colen
lanjut thooooor❤❤❤❤❤
Fitri Handriayani: lanjut
total 1 replies
Nana Colen
iiiih kesel bacanya dongkol sama si ajeng.... cerai jeng cerai banyak laki yang kaya gitu mh 😡😡😡😡
Keisya Oxcel
penasaran
Yunita aristya
lnjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!