Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Helena menatap lengan Alfred yang terulur, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih… tapi mungkin aku akan tetap di sini saja. Aku belum terbiasa dengan pesta sebesar ini.” Suaranya pelan, ada keraguan yang jelas.
Alfred tidak tersinggung. Sebaliknya, senyumnya justru semakin hangat. Ia menurunkan lengannya perlahan dan berkata ringan, “Itu jawaban yang jujur. Dan aku menghargainya.”
Ia lalu melirik meja hidangan, mengambil dua gelas ~ satu sampanye, satu jus segar kemudian menyodorkan jus pada Helena. “Aku tidak tahu apa kau lebih suka minum yang manis atau yang pahit. Jadi kupikir aman kalau aku pilihkan jus. Setidaknya kau punya alasan untuk tidak terlihat bosan hanya berdiri.”
Helena tertegun, lalu menerima gelas itu. “Terima kasih.”
Alfred berdiri di sampingnya, tidak terlalu dekat, tidak juga terlalu jauh. Ia tidak mendesak Helena untuk bicara, hanya menatap sekeliling dengan santai. Sesekali ia memberi komentar ringan tentang hal-hal di sekitar seperti lukisan besar di dinding atau betapa ributnya beberapa tamu di sudut ruangan.
“Kadang aku juga merasa pesta seperti ini… terlalu penuh kepura-puraan,” ujarnya sambil meneguk sampanye. “Tapi aku belajar satu hal, jika kau bisa menemukan satu orang yang membuatmu nyaman, pesta tidak lagi terasa berat. Dan malam ini… sepertinya aku sudah menemukannya.”
Helena menoleh kaget, tak menyangka kata-kata itu begitu langsung. Tapi Alfred hanya tersenyum, tanpa nada menggoda berlebihan, seolah ia benar-benar tulus.
Helena baru saja menyesap sedikit jusnya ketika perasaan aneh merambat di tengkuknya, seakan ada yang mengawasi. Ia menoleh sekilas dan benar saja, dari seberang ruangan, Lucian berdiri bersama dua pria paruh baya yang tampaknya rekan bisnis ayahnya.
Meski mulutnya masih bergerak, berbicara dengan tenang pada mereka, tatapan Lucian jelas mengarah padanya. Dingin. Mengunci.
Helena cepat mengalihkan pandangannya, pura-pura kembali mendengarkan Alfred yang sedang bercerita ringan tentang masa kuliahnya di luar negeri. Namun, di sudut matanya, ia masih bisa merasakan sorotan itu.
Lucian tidak mendekat, tapi ekspresinya cukup untuk membuat Helena tahu Lucian tidak suka melihatnya bersama Alfred.
Alfred tampaknya sadar juga, meski pura-pura tidak. Ia hanya menurunkan suaranya sedikit, lalu berkomentar sambil tersenyum tipis, “Lucian memang punya cara untuk membuat semua orang waspada hanya dengan tatapan. Aku terbiasa. Jangan terlalu dipikirkan.”
Helena menelan ludah. Ada rasa bersalah yang samar, tapi juga secercah kelegaan karena setidaknya Alfred bisa membuatnya merasa normal, meski hanya sebentar.
Namun sorotan mata Lucian tetap menusuk, seolah memberi peringatan tanpa suara: bahwa jarak antara Helena dan Alfred tidak boleh terlalu dekat.
Alfred meneguk sampanye sedikit, lalu menoleh pada Helena dengan tatapan penuh minat.
“Kau tahu, Helena,” katanya, suaranya hangat tapi ada sedikit nada bercanda, “aku sering mendengar cerita tentangmu… tapi anehnya, hampir semua cerita itu datang dari orang lain."
Helena mengerjap, agak terkejut. “Dari orang lain?”
“Ya,” Alfred tersenyum samar, mencondongkan tubuh sedikit. “Teman-teman, bahkan ibu. Katanya kau berbeda dari kebanyakan gadis di lingkaran ini. Lebih… apa ya? Lebih tenang. Lebih manusiawi.” Ia tertawa kecil, mencoba membuat suasana ringan. “Dan kupikir itu benar. Kau terlihat seperti seseorang yang tenang dan tidak suka suasana pesta yang terlalu meriah.”
Helena menunduk, menyembunyikan senyum getir. “Ya, aku menyukai pesta sederhana yang hangat. Tidak banyak kolega apalagi berbicara tentang bisnis."
Biasanya, setiap kali ada pesta di rumah Biancardi, Helena akan mencari segala cara untuk menghindar. Baginya pesta semacam itu hanya ajang sandiwara yang membuat segalanya tampak fiksi.
"Aku suka tenang, dan enggan berbaur, bisa disebut sosialisasi adalah kelemahanku." Helena menambahkan dengan agak jujur.
“Itu bukan kelemahan,” Alfred menimpali cepat, nadanya sungguh-sungguh. “Itu justru sesuatu yang… langka.”
Helena mendongak, bertemu matanya. Ada kehangatan di sana, bukan tatapan penuh tuntutan seperti yang biasa ia terima.
Sementara itu, dari kejauhan, ia bisa merasakan tatapan Lucian yang semakin tajam. Alfred pasti menyadarinya, karena ia tersenyum tipis dan menambahkan, “Kau tidak perlu merasa canggung di dekatku. Anggap saja aku… sekutu kecilmu di rumah ini.”
Helena nyaris menjawab, tapi Alfred lebih dulu melanjutkan, suaranya rendah namun jernih, seakan ingin memperpanjang percakapan meski sadar Lucian tidak menyukainya.
“Ceritakan sedikit tentang dirimu, Helena. Apa yang benar-benar kau sukai? Jangan jawab ‘Lucian’, karena itu jawaban yang terlalu aman,” ujarnya sambil terkekeh ringan.
Helena tertegun, lalu tersenyum samar, merasa untuk pertama kalinya ada yang benar-benar ingin tahu siapa dirinya.
Helena menarik napas pelan, mencoba memilih kata. “Aku… tidak ada yang istimewa sebenarnya,” ucapnya dengan suara lebih lirih dari biasanya. “Aku hanya mahasiswi biasa. Tidak menonjol di kampus, tidak pandai bersosialisasi. Bahkan sering merasa… tersisih.”
Alfred mengerutkan kening tipis, menaruh gelasnya di meja kecil di samping mereka. “Aku sulit percaya itu. Kau terlihat seperti orang yang punya kedalaman.”
Helena menggeleng kecil, matanya memantul cahaya lampu kristal di ruang pesta itu. “Amara, kakakku ~ dia selalu bersinar. Semua orang menyukainya. Kalau dia masuk ruangan, semua kepala otomatis menoleh. Aku tidak seperti itu. Aku lebih suka diam di sudut, hanya memperhatikan.”
Ada keheningan sejenak. Alfred menatapnya dengan cara yang membuat Helena merasa ia benar-benar didengar, bukan dihakimi.
“Kau tahu,” kata Alfred akhirnya, “ada orang yang bersinar terang seperti matahari, dan ada juga yang redup tapi hangat… seperti bulan. Tanpa bulan, malam akan terlalu kosong. Kau mungkin tidak sadar, Helena, tapi orang-orang yang tepat akan melihatmu.”
Kata-kata itu membuat dada Helena sedikit bergetar, seakan disentuh sesuatu yang lama terpendam. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan kilatan emosi di matanya.
Dari seberang ruangan, ia kembali merasakan tatapan Lucian. Semakin kuat, semakin menuntut. Tapi entah mengapa, duduk bersama Alfred saat ini terasa lebih ringan, lebih manusiawi.
Langkah sepatu kulit terdengar mendekat, tegas dan pasti. Helena menoleh sejenak, lalu menemukan sosok Lucian berdiri di belakang Alfred dengan senyum tipis yang tak sepenuhnya ramah.
“Sepertinya kalian berdua sangat menikmati obrolan ini,” ucap Lucian, suaranya tenang tapi mengandung sesuatu yang samar ~ seperti garis tipis antara basa-basi dan penegasan wilayah.
Alfred menoleh, lalu tersenyum lebar tanpa terintimidasi. “Kami hanya berbicara ringan, Lucian. Helena orang yang menyenangkan untuk diajak bicara. Kau benar-benar beruntung.”
Helena menahan napas, menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan kecanggungan yang mulai tumbuh. Ia bisa merasakan ketegangan tipis yang mengalir di antara kedua saudara itu, meskipun Alfred berusaha tetap santai.
Lucian melirik Helena, pandangannya menusuk tapi sulit dibaca. “Aku ingin bicara denganmu, Helena. Ada beberapa orang yang ingin kuperkenalkan padamu.” Ia tidak menunggu jawaban, hanya menyodorkan tangannya dengan sikap penuh kepemilikan.
Helena ragu sejenak sebelum menyambut tangannya. Dalam jarak sekilas itu, ia sempat melihat Alfred tersenyum tipis padanya, seakan mengatakan tenang saja. Tapi senyum itu justru membuat jantungnya berdebar dengan cara yang tidak nyaman.
Lucian menggenggam tangannya lebih erat dari biasanya, seakan ingin memastikan Helena tetap berada di sisinya.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...