Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. KU HARAMKAN AIR SUSUKU.
Rindi berdiri tepat di depan Rudy dan Melda, lalu menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Ia bersujud demi menyelamatkan nama restoran dan juga pekerjaannya.
Belum sempat tangannya menyentuh sepatu Rudy, pria itu menendangnya hingga Rindi tersungkur ke lantai. Dewi dengan cepat berlari menolongnya.
“Rindi, kau tidak apa-apa?” tanya Dewi cemas.
Rindi mengangguk kecil, meski dadanya terasa sesak. Dewi membantu Rindi untuk berdiri.
Melda dan yang lain tersenyum puas, menikmati penderitaan Rindi.
“Kalian benar-benar tak punya hati. Menyiksa orang lemah seperti kami,” ucap Dewi dengan mata berkaca-kaca.
“Memang itu tujuan kami. Orang seperti kalian tidak boleh diberi hati, nanti malah ngelunjak seperti temanmu itu,” balas Melda sinis.
Dewi menggeleng pelan.
“Ayo, Rindi, kita tinggalkan manusia-manusia tak punya hati ini,” ajaknya sambil menuntun Rindi.
“Tunggu dulu. Biarkan aku menyelesaikan urusanku dengan mereka, agar ke depannya tidak ada lagi yang harus aku takutkan.”
Rindi melangkah maju dan kembali berdiri di depan Rudy dan Melda.
“Sejak awal aku datang ke kota ini, perlakuan kalian padaku sungguh tidak manusiawi. Aku tidak tahu apa salahku, tapi kalian terus saja menindas ku.”
Rindi terdiam sejenak, berusaha sekuat mungkin menahan air matanya.
“Kalau bagi kalian ayah dan ibumu sudah mati, itu tidak apa-apa, aku ridho. Tapi satu hal yang harus kalian ingat—rahim dan tangan inilah yang membuat kalian bisa menjadi sukses seperti sekarang Ini”
Rindi melangkah ke arah meja dan mengambil pisau kecil diatas tumpukan buah.
“Mulai hari ini, hubungan darah antara aku dan kalian... putus.”
Tanpa ragu, Rindi mengiris pergelangan nadinya. Darah segar menetes ke lantai.
Semua orang yang ada di ruangan itu tertegun, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan.
Dewi menjerit histeris dan segera berlari memeluk Rindi yang mulai limbung.
“Rindi! Apa yang kau lakukan?” teriaknya panik sambil menekan luka di pergelangan tangan Rindi agar darahnya tidak terus mengalir.
Bukannya merasa bersalah atau iba, Rudy dan Melda justru tersenyum sinis.
“Kasihan sekali, bahkan untuk mati pun dia memilih cara yang dramatis,” ucap Melda dengan nada mengejek.
“Sudahlah, biarkan saja. Orang seperti dia tidak pantas dikasihani,” tambah Rudy dingin.
Dewi menatap keduanya dengan pandangan penuh benci. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Kalian bukan manusia… kalian berdua itu monster!” teriaknya dengan suara bergetar.
Beberapa karyawan yang menyaksikan kejadian itu akhirnya berlari mendekat.
“Cepat panggil ambulans!” seru salah satu dari mereka dengan panik.
Dengan sisa tenaga yang hampir habis, Rindi menatap Rudy dan Melda. Suaranya lirih namun penuh kekuatan.
“Demi langit dan bumi, kuharamkan air susuku untuk kalian… mulai sekarang hingga selamanya. Setiap tetesnya akan menjadi tulah bagi kalian berdua.” Rindi terjatuh dan sudah tak sadarkan diri. Dengan cepat Dewi memangku dan memeluknya.
“Bertahanlah! Ambulans sebentar lagi tiba,” Dewi dengan suara parau sambil terus menekan luka di pergelangan tangan Rindi yang kini membasahi tangannya sendiri.
Langit yang Semula cerah mendadak berubah muram. Awan hitam menggulung, disusul hujan deras yang turun bersamaan dengan petir yang menggelegar di langit. Seolah alam ikut mendengar ucapan Rindi, bukan sekadar kata, melainkan sumpah seorang ibu yang menembus batas bumi dan langit.
Semua orang yang ada di dalam restoran diliputi ketakutan ketika sambaran kilat menyambar bagai cambuk api yang mengelilingi bangunan itu. Sebagian orang menunduk dan berlindung di bawah meja, sementara yang lain berteriak histeris dan menangis ketakutan. Anak-anak dipeluk erat oleh orang tua mereka, mencoba mencari perlindungan di tengah kekacauan yang terjadi.
Ada yang percaya bahwa itu hanyalah peristiwa alam biasa, namun ada pula yang yakin kalau doa dan sumpah Rindi benar-benar dijawab oleh Tuhan.
Fenomena itu hanya berlangsung sesaat. Tak lama kemudian, langit yang gelap mulai terang kembali. Hujan berhenti, dan sinar matahari perlahan menembus dinding kaca restoran, seolah menepis kegelapan yang baru saja menyelimuti tempat itu.
Beberapa saat kemudian, suara sirene ambulans terdengar semakin dekat. Dua perawat berlari masuk, dibantu para karyawan yang masih gemetar ketakutan. Mereka dengan hati-hati mengangkat tubuh Rindi yang sudah lemah dan membawanya ke dalam mobil ambulans.
Dewi terus menggenggam tangan Rindi, air matanya tak berhenti mengalir.
“Tolong selamatkan dia… tolong,” ucapnya lirih penuh harap.
Rudy dan Melda berdiri terpaku, wajah mereka pucat pasi. Tak satu pun dari keduanya berani membuka suara.
Suara sirene mobil ambulans menggema, membawa Rindi yang sudah tak sadarkan diri. Dewi duduk di sampingnya, memegang erat tangannya.
“Bertahanlah, Rindi… sebentar lagi kita sampai,” bisiknya dengan suara bergetar.
Perawat di dalam ambulans terus memeriksa tekanan darah dan denyut nadi Rindi yang semakin melemah.
“Kehilangan banyak darah, kita harus segera lakukan transfusi,” ucap salah satu perawat dengan nada cemas.
Mobil ambulans melaju menembus jalanan kota yang masih basah oleh sisa hujan. Setiap detik terasa panjang, dan setiap hembusan napas Rindi terdengar semakin berat.
Setibanya di rumah sakit, Rindi segera dibawa ke ruang gawat darurat. Beberapa perawat dan dokter bergerak cepat, menyiapkan peralatan medis.
Dewi berusaha mengikuti dari belakang, namun langkahnya terhenti ketika seorang perawat menghadangnya di depan pintu.
“Maaf, Mbak, Anda tidak bisa masuk. Kami harus segera menangani pasien,” ucap perawat itu tegas namun sopan.
“Tapi dia teman saya! Tolong biarkan saya menemaninya, saya janji tidak akan mengganggu pekerjaan kalian!” pinta Dewi memohon.
Perawat itu menatapnya penuh pengertian, lalu menggeleng pelan.
“Kami mengerti, tapi kondisinya kritis. Mohon tunggu di luar, ya.”
Dewi hanya bisa terpaku. Ia mengintip melalui kaca kecil di pintu ruang gawat darurat, melihat beberapa perawat dan dokter sibuk memasang berbagai alat medis pada tubuh Rindi yang terbaring lemah di atas pembaringan.
Dewi duduk menunduk di kursi depan ruang gawat darurat. Mulutnya tak henti-henti komat-kamit, memanjatkan doa keselamatan untuk Rindi.
Tiba-tiba terdengar suara panik dari dalam ruangan bersamaan dengan pintu terbuka.
“Dok, Gawat! Persediaan darah kita habis!” seru salah satu perawat dengan nada cemas.
Mendengar kabar itu, Dewi segera berdiri dan menghampiri mereka.
"Golongan darahnya apa, Dok? Saya bersedia donor, tolong periksa darah saya!” serunya penuh harap.
Salah satu perawat segera mengambil sampel darah Dewi untuk diperiksa. Beberapa menit kemudian, hasilnya keluar. Dokter menatap lembar hasil itu, lalu menggeleng pelan.
“Maaf, golongan darah kalian berbeda,” ucapnya lirih.
Dewi terpaku. Wajahnya pucat, napasnya tercekat niatnya untuk menolong Rindi kandas.
Dokter menatapnya dengan penuh empati.
“Tenanmu memiliki golongan darah langka, AB negatif. Kami sedang berusaha mencari donor yang cocok dari rumah sakit lain. Mohon doanya, ya.”
Dewi memegang dadanya, berusaha menahan air matanya.
“Tuhan… kenapa harus sesulit ini?”
Di dalam ruang gawat darurat, suara mesin pemantau detak jantung terdengar semakin cepat. Para perawat tampak panik, berlarian menyiapkan peralatan medis tambahan.
“Dok, saya tahu orang di rumah sakit ini yang memiliki golongan darah yang sama dengan pasien!” ucap salah satu perawat dengan nada terburu-buru.
“Siapa? Cepat katakan, sebelum semuanya terlambat! Pasien sudah hampir kehabisan darah!” seru dokter dengan wajah tegang.
“Anu, Dok…” perawat itu ragu sambil menelan ludah.