NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:621
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18 Sekolah Lagi? Kemana?

Pintu utama tertutup dengan bunyi yang pelan. Aldo sudah pergi. Aku masih terpaku di sofa, dinginnya merambat dari ujung kaki. Perintahnya bergema di kepalaku, sebuah racun yang meresap perlahan, Aku mau tahu setiap kelemahannya.

Adikku sendiri. Lika. Darah dagingku. Dan aku, sang kakak, kini ditugaskan untuk menjadi pemangsa yang akan mengulitinya hidup-hidup, lalu menyerahkan jantungnya yang masih berdetak di atas piring perak kepada suamiku.

Tanganku gemetar hebat saat meraih ponsel baru yang terasa asing dan dingin di genggamanku. Layarnya menyala, menampilkan antarmuka yang bersih, kosong, tanpa kenangan. Sebuah alat penyiksaan yang sempurna. Aku menatap daftar kontak yang hanya berisi satu nama, ‘Lika’. Aldo sudah mempersiapkannya. Dia tidak meninggalkan ruang sedikit pun untuk kesalahan, atau untuk pembangkangan.

Dengan napas yang tercekat, aku menekan tombol panggil. Setiap dering yang terdengar seolah menghitung mundur menuju pengkhianatan terbesarku.

“Halo, Mbak?” Suara Lika yang ceria langsung menyambar dari seberang. Terdengar berisik, mungkin ia sedang di kampus. “Tumben telepon pagi-pagi? Kangen ya?”

Aku menelan ludah, mencoba memaksakan nada ringan pada suaraku yang serak. “Iya dong, kangen sama adik Mbak yang paling bawel. Kamu lagi di mana?”

“Di kantin, Mbak. Biasa, nunggu kelas selanjutnya,” jawabnya. “Eh, Mbak, Ibu tadi udah telepon aku! Gila, aku seneng banget! Beneran, Mbak? Mas Aldo mau beliin aku mobil baru?”

Antusias terasa seperti ribuan jarum yang menusuk hatiku.

“Iya, beneran,” paksaku untuk terdengar ikut bahagia. “Makanya Mbak telepon. Mas Aldo suruh Mbak buat nemenin kamu ke showroom. Kamu bisa kapan?”

“SERIUS, MBAK? SECEPET INI?” teriaknya, membuatku harus menjauhkan ponsel dari telinga. “Kapan aja aku bisa! Hari ini juga aku siap bolos kuliah! Aduh, Mas Aldo emang the best banget sih! Mbak beruntung banget, sumpah!”

Beruntung. Kata itu kini terdengar seperti sebuah ironi yang paling kejam.

“Jangan bolos,” kataku cepat. “Gimana kalau… lusa? Biar kita bisa sekalian jalan-jalan. Makan siang, ke salon mungkin? Udah lama kan kita nggak healing.” Pancingan yang diajarkan suamiku. Setiap kata terasa seperti kebohongan yang melapisi lidahku.

“WAH, MAU BANGET!” pekiknya lagi. “Oke, lusa ya, Mbak! Nanti Lika kosongin jadwal seharian penuh buat Mbak. Jemput aku di kampus aja ya? Siang gitu, setelah kelasku selesai.”

“Iya, nanti Mbak jemput. Ya udah, kamu lanjut gih. Sampai ketemu lusa ya, Dek,” kataku, terburu-buru ingin mengakhiri percakapan ini.

“Oke, Mbak Aerra sayang! Love you!”

Panggilan itu berakhir. Aku membanting ponsel ke sofa dan membenamkan wajahku ke telapak tangan. Aku baru saja menjual tiket masuk menuju neraka untuk adikku sendiri, dan ia menerimanya dengan sorak sorai gembira.

Dua hari terasa seperti dua detik. Tiba-tiba saja aku sudah berada di depan gedung fakultas Lika, duduk di dalam mobilku dengan jantung yang berdebar tak karuan. Ponsel pemberian Aldo tergeletak. Aku menarik napas dalam, mengambilnya, dan mengaktifkan mode perekam suara sebelum memasukkannya ke dalam tas tanganku yang sengaja kubiarkan sedikit terbuka.

Tak lama kemudian, Lika muncul, berlari kecil dengan senyum selebar jalan tol. Ia mengenakan blus cerah dan celana jins, tampak begitu hidup dan penuh harapan. Ia sama sekali tidak tahu bahwa kakaknya datang sebagai algojo.

“Mbak Aerra!” serunya sambil membuka pintu mobil dan langsung memelukku. “Astaga, aku dari kemarin nggak bisa tidur, Mbak. Mikirin mobil baru terus!”

“Lebay kamu,” balasku sambil tertawa hambar, menepuk punggungnya. “Udah, ayo. Kita makan dulu ya, laper nih Mbak.”

Kami tiba di sebuah restoran mewah di pusat perbelanjaan ternama. Tempat yang sengaja kupilih karena suasananya yang lebih privat. Saat pelayan mengantar kami ke meja, Lika tidak berhenti berceloteh.

“Mbak, gila, keren banget tempatnya. Sering ke sini sama Mas Aldo, ya?” tanyanya, matanya berbinar melihat interior yang elegan.

“Kadang-kadang,” jawabku singkat, meletakkan tasku di kursi kosong di sebelahku, memastikan mikrofon ponsel mengarah ke Lika.

Setelah memesan makanan, aku memulai misiku. “Jadi… mobil. Udah ada bayangan mau mobil apa?”

“Hmm, apa ya?” Lika mengetuk-ngetuk dagunya dengan genit. “Yang kecil aja sih, Mbak. Tapi warnanya harus lucu. Merah atau putih gitu. Biar gampang buat ke kampus. Tapi kalau Mas Aldo ngasihnya BMW seri terbaru juga aku nggak nolak sih, hehe.”

Aku tersenyum tipis. “Nanti kita lihat aja. Yang penting kuliahmu beres dulu. Skripsimu gimana? Lancar?”

“Aman, Mbak. Doain aja semester depan udah bisa sidang,” katanya bangga. “Dosen pembimbingku juga baik banget.”

“Syukurlah. Terus setelah lulus, rencananya mau gimana? Mau langsung kerja?” aku bertanya, menjaga nada suaraku sesantai mungkin.

Lika tiba-tiba terdiam. Senyumnya sedikit memudar. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah hendak membisikkan sebuah rahasia besar.

“Mbak, janji jangan bilang siapa-siapa ya? Terutama Ibu,” bisiknya pelan.

Jantungku berhenti berdetak sejenak. Ini dia. “Iya, janji. Kenapa emang?”

“Sebenarnya… aku nggak mau langsung kerja di sini, Mbak. Aku pengin lanjut sekolah,” ungkapnya. Matanya bersinar dengan cahaya yang berbeda, cahaya impian.

“Sekolah lagi? Ke mana?”

“Ke Paris,” jawabnya lirih, nyaris tak terdengar. “Aku mau ambil sekolah desain busana. Dari dulu kan aku suka banget gambar-gambar baju. Aku udah cari-cari informasinya, Mbak. Ada satu sekolah yang bagus banget di sana.”

Aku terpana. Lika tidak pernah sekalipun menyebutkan hal ini. “Paris? Wah… jauh banget, Dek. Kok nggak pernah cerita?”

“Gimana mau cerita? Ibu pasti langsung ngamuk. Disuruh kerja di perusahaan relasi Ayah, atau disuruh cepat-cepat cari suami kaya kayak Mbak,” ujarnya dengan nada sedikit sinis yang cepat-cepat ia sembunyikan. “Cuma Mbak yang aku kasih tahu. Ini mimpi rahasiaku.”

Sebuah kelemahan. Mimpi adalah kelemahan terbesar seseorang. Dan aku baru saja merekamnya.

“Mbak dukung kok kalau itu memang kemauan kamu,” kataku, merasakan kepahitan di ujung lidahku. “Terus… pacarmu gimana? Dia dukung rencana kamu ini?” Aku beralih ke target selanjutnya.

Wajah Lika langsung merona merah. “Ih, apaan sih, Mbak. Kok jadi ke pacar?”

“Loh, emangnya kamu jomblo? Nggak mungkin. Adik Mbak yang secantik ini masa nggak ada yang deketin?” godaku, meniru gaya Aldo saat memanipulasi.

Dia tertawa kecil, menutupi mulutnya. “Ada sih, Mbak… Tapi masih deket aja, belum jadian.”

“Siapa namanya? Anak kampus juga?” desakku lembut.

“Bukan… Namanya Rian. Dia barista di kafe deket kampus,” jawabnya malu-malu. “Orangnya baik banget, Mbak. Pinter, lucu lagi. Walaupun ya… dia bukan orang kaya raya kayak Mas Aldo.”

Kelemahan nomor dua. Seorang pria biasa yang pasti tidak akan pernah direstui oleh Ibu.

“Yang penting kan orangnya baik,” sahutku, merasa seperti iblis yang berwujud manusia. Aku terus menggali, menanyakan semua detail tentang Rian, tentang teman-teman Lika yang tahu hubungan mereka, tentang ketakutan Lika jika Ibu sampai tahu.

Lika, yang merasa mendapat dukungan penuh dari kakaknya, menceritakan semuanya tanpa curiga. Ia menuangkan seluruh isi hatinya, rahasia-rahasianya, ketakutan-ketakutannya, dan mimpi-mimpinya yang paling berharga. Semua itu mengalir dari bibirnya, dan ditelan mentah-mentah oleh alat perekam di dalam tasku.

Setelah makanan kami habis dan pembicaraan mulai mereda, Lika meraih tanganku di atas meja. Matanya berkaca-kaca karena bahagia.

“Mbak, makasih banyak ya udah mau dengerin curhatku,” katanya dengan tulus. “Aku seneng banget deh bisa cerita semua ini sama Mbak. Cuma Mbak satu-satunya orang yang ngerti aku di dunia ini.”

Aku hanya bisa tersenyum kaku.

“Apalagi soal Rian dan mimpiku ke Paris itu…” lanjutnya, meremas tanganku lembut. “Mbak jangan pernah bilang ke Ibu atau Mas Aldo ya, Mbak. Plis. Ini rahasia kita berdua aja. Aku takut… aku takut Mas Aldo mikir aku cewek nggak tahu diri atau nggak bersyukur kalau tahu aku punya mimpi setinggi itu padahal udah dibantu banyak sama dia.”

Permohonannya menusukku tepat di jantung. Setiap kata yang ia ucapkan adalah senjata yang ia serahkan padaku untuk menikamnya nanti.

“Pasti, Dek,” bisikku, suaraku bergetar. “Ini rahasia kita.”

Lika tersenyum lega. Senyum yang sama sekali tidak menyadari bahwa semua rahasianya tidak lagi aman. Senyum yang tidak tahu bahwa kakaknya baru saja mendapatkan bahaya lagi. Aku menatapnya, adikku yang lugu dan penuh percaya, dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar mengerti arti dari neraka di bumi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!