Lovy Crisela Luwiys—gadis ceplas-ceplos yang dijuluki Cegil—dipaksa menikah dengan Adrian Kaelith Evander, pewaris dingin sekaligus Casanova kelas kakap.
Bagi Lovy, ini bencana. Wasiat Neneknya jelas: menikah atau kehilangan segalanya. Bagi Kael, hanya kewajiban keluarga. Namun di balik tatapan dinginnya, tersimpan rahasia masa lalu yang bisa menghancurkan siapa saja.
Niat Lovy membuat Kael ilfil justru berbalik arah. Sedikit demi sedikit, ia malah jatuh pada pesona pria yang katanya punya dua puluh lima mantan. Casanova sejati—atau sekadar topeng?
Di tengah intrik keluarga Evander, Lovy harus memilih: bertahan dengan keanehannya, atau tenggelam di dunia Kael yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myra Eldane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah Dono
Resepsi berlangsung di aula besar yang baru saja disulap.
Jika prosesi pernikahan tadi suci dan sakral, maka resepsi ini seperti pesta kerajaan.
Langit-langit aula dipenuhi chandelier kristal. Lantai marmer kini dialasi karpet burgundy, dan meja-meja bundar berlapis linen putih berjejer rapi, masing-masing dihiasi rangkaian mawar, peony, dan lilin kaca. Musik jazz lembut mengalun, pelayan berjas hitam hilir-mudik membawa nampan champagne, sementara aroma roast beef, salmon panggang, dan souffle vanilla bercampur dengan wangi bunga segar.
Fotografer berkeliling. Media liputan ikut menyorot setiap sudut ruangan.
Lovy dan Kael duduk di kursi utama, di panggung kecil. Di belakang mereka, backdrop berlapis emas bertuliskan:
"Kael & Lovy – A Love Sealed."
Lovy merapikan gaunnya, tersenyum kikuk setiap kali tamu lewat memberi selamat. Kael, seperti biasa, tampak tenang—terlalu tenang—meski jarinya menepuk ringan sandaran kursi, tanda ia tetap waspada.
Hadiah-hadiah mulai berdatangan. Kotak perhiasan, voucher liburan ke Santorini, lukisan mahal—semua diserahkan dengan senyum hangat.
Hingga tiba-tiba, suasana berubah.
Seseorang bangkit dari kursinya.
Donovan.
Langkahnya pelan tapi pasti. Jas abu-abu arang yang ia kenakan kontras dengan kerumunan tamu. Senyumnya tetap sama—senyum itu, manis, tapi terasa seperti mengandung rahasia yang tidak semua orang tahu.
"Sebagai teman lama keluarga Evander," suaranya berat, bergema di aula, "aku tak mungkin datang dengan tangan kosong. Aku bawa dua hadiah. Yang pertama…"
Ia menjentikkan jemari.
Seorang pria berbaju hitam mendekat, membawa kotak beludru biru tua. Kotak itu dibuka, dan semua orang—bahkan pelayan—menahan napas.
Sebuah gelang berlian.
Berlian-berlian kecil melingkari batu zamrud besar di tengahnya. Gelang itu memantulkan cahaya chandelier, seperti potongan bintang yang dijalin jadi satu.
Lovy mengerjap. "Uh… wow." Terlihat kagum padahal dalam hati mencibir, "Kalau bukan karena formalitas. Aku gak akan mungkin nerima ini. Mencurigakan! Jangan-jangan gelang ini, isinya bom?!"
Sementara Isabella menegang yang melihat gelang itu. Tatapan matanya langsung berubah. Wajahnya yang tadi ramah kini kaku—bukan karena kagum, tapi karena kaget.
"Gelang itu…" bisiknya hampir tak terdengar.
Damien, yang duduk di sebelahnya, sempat melirik. Isabella cepat-cepat mengatup bibir, menahan kata-kata. Kael memperhatikan perubahan ekspresi ibunya, tapi ia tidak bertanya. Belum.
Donovan tersenyum ke arah Lovy.
"Ini bukan gelang biasa. Ini gelang kuno keluarga kami. Setiap generasi, hanya diberikan kepada wanita paling cantik… dan katanya, siapa pun yang memakainya akan selalu membuat pasangannya terpikat."
Kalimat terakhir diucapkan dengan nada ringan, tapi tatapannya ke Kael terlalu lama. Terlalu lama.
Lovy memegang gelang itu, mengamatinya dari dekat. "Aduh, berat juga, ya… kalau aku lempar, bisa bikin benjol orang," candanya spontan, membuat beberapa tamu tertawa kecil.
Kael hanya melirik sekilas—tidak menunjukkan ekspresi jelas.
Isabella menggenggam tangannya di bawah meja. Wajahnya datar, tapi dalam kepalanya ada seribu pertanyaan. Kenapa Donovan punya gelang itu? Dan kenapa ia memberikannya ke Lovy?
Lovy tersenyum kikuk. "Terima kasih, Donovan… gelangnya cantik banget. Walau… rasanya kayak gelang ini bisa ngomong, 'hati-hati, aku bisa nyantol ke baju kamu.'"
Beberapa tamu kembali tertawa. Lovy menaruh gelang itu di meja kecil di samping kursinya, berniat memakainya nanti.
Tapi Donovan belum selesai.
"Dan hadiah kedua…" katanya sambil menoleh.
Ia menepukkan tangannya dua kali.
Pintu besar aula terbuka. Dua pria berpakaian seperti pelatih kuda masuk—dan di belakang mereka, seekor kuda putih berjalan anggun.
Seekor kuda putih.
Mantelnya seputih salju, surainya panjang dan halus, kakinya melangkah ringan di lantai marmer yang kini sengaja dialasi karpet tebal. Lehernya dihiasi kalung bunga mawar merah dan pita emas.
Seluruh tamu menahan napas. Beberapa bahkan berseru kecil.
Lovy?
Lovy meledak.
"AAAAH!! KUDA! YA TUHAN—INI BENERAN?!"
Ia langsung setengah berdiri dari kursinya, gaun pengantinnya hampir tersangkut. Ia yang tadi tampak jengah mendadak antusias melihat hadiah kedua Donovan. Ketika ia hendak melangkah, Samuel spontan menahan lengannya, takut ia terjungkal.
"Lovy, hati-hati bajumu!" seru Syegi dari meja tamu, tapi sudah terlambat—mata Lovy berbinar seperti anak kecil yang melihat Disneyland untuk pertama kalinya.
"Aku mau peluk dia!" katanya sambil menunjuk kuda itu. Ia mencondongkan badannya. "Tapi… bajuku…"
Ia menatap gaunnya sendiri, frustrasi. "Nenek dulu ngelarang aku punya kuda. Sekarang aku dapet kuda di hari pernikahan aku… oh Tuhan, aku mau nangis!"
Tawa besar pecah di aula. Bahkan Kael menundukkan kepala, sudut bibirnya terangkat sedikit. Ia merasa lucu dan bahagia dengan melihat ekspresi Lovy. Tapi ia juga tidak bisa menampik perasaan aneh dalam dadanya terhadap hadiah yang diberikan Donovan. Sangat mencurigakan seseorang tau kesukaan pengantinnya yang bahkan dia sendiri tidak tahu. Apakah ini termasuk cemburu?
Di sana, Donovan tersenyum puas.
"Kuda ini aku beri nama Celestia. Ia kuda terbaik dari peternakan Eropa. Tenang, manis, tapi kuat. Hanya untuk seorang pengantin cantik nan tangguh, sebaik Nyonya Lovy Crisela Evander."
Lovy menepuk-nepuk udara, seperti ingin menyentuh dari jauh. "Celestiaaaa… aku cinta kamu!"
Beberapa tamu menutup mulut, menahan tawa. Syegi berseru keras:
"Lovy, kamu ingat nggak lagi pake gaun putih, bukan celana jeans!"
Samuel menggeleng, tersenyum kecil. "Aku nggak pernah lihat Lovy segini hebohnya nerima hadiah," gumamnya.
Isabella menatap gelang di meja. Damien menatap Donovan.
Kael, meski terlihat santai, ia tetap menatap Donovan lama. Tatapan itu jelas: "Aku tahu kamu sedang merencanakan sesuatu."
Donovan hanya mengangkat gelas champagne-nya sedikit, seolah memberi toast kecil—untuk Kael.
Dan pesta resepsi itu… tiba-tiba terasa seperti panggung teater dengan terlalu banyak rahasia.
***
Lovy masih berusaha menahan diri untuk tidak lari memeluk Celestia—kuda putih cantik yang sudah diikat di dinding. Tubuhnya tadi sudah diseret lembut oleh Syegi dan Samuel untuk kembali ke tempatnya—di samping Kael.
Sekarang Syegi sampai berdiri di kursinya, menyoraki Lovy dengan tisu di tangan.
"Kalau dia peluk kuda, aku foto! Aku bakal viral-in!"
Tawa tamu pecah lagi.
Suasana seolah mencair—sampai suasana itu retak.
Tak. Tak. Tak.
Suara sepatu hak tinggi menghantam lantai marmer.
Semua kepala otomatis menoleh.
Wanita itu muncul.
Wanita bergaun merah maroon yang tadi hanya berdiri di belakang kini melangkah ke depan.
Gaunnya panjang, belahan samping tinggi, bahunya terbuka. Rambut hitam legam bergelombang menurun, bibir merah menyala. Ia melangkah santai, penuh percaya diri—terlalu percaya diri untuk seseorang yang tidak ada di daftar tamu.
Bisik-bisik langsung berhamburan.
"Siapa dia?"
"Aku nggak lihat namanya di kartu undangan…"
"Beraninya maju ke depan begitu?"
Samuel langsung berdiri dari kursinya. Matanya menajam, refleks ingin menghentikan wanita itu. Tapi Lovy menyentuh lengannya pelan, menahan.
"Kak… tunggu. Lihat dulu… siapa tau mau ngasih hadiah pernikahan…" ucap Lovy begitu naif.
Kael menoleh tapi masih tetap di tempat duduknya.
Dan untuk pertama kalinya sejak pesta ini dimulai, wajah Kael berubah drastis.
Ekspresi tenangnya pecah.
Matanya menajam, rahangnya terkunci. Urat di lehernya terlihat jelas. Bahkan tangan yang menggenggam tangan Lovy ikut terlepas.
"… Kamu."
Tidak ada nama yang lolos dari bibir Kael yang mengisyaratkan identitas wanita di depannya. Hanya ada ucapan dingin seperti es yang jatuh ke lantai.
Lovy mengerjap. "Siapa yah? Apa jangan-jangan, mantan Kael yang kesekian yah," bisiknya, bingung.
Wanita itu tersenyum. Senyum yang bisa membuat ruangan seolah berhenti bernafas.
"Kael…" suaranya lembut, tapi ada nada menggoda yang terselip. "Sudah lama…"
Kael tak menjawab.
Matanya bukan hanya dingin.
Matanya membenci.
Kebencian yang tajam, tegas, dan tak disembunyikan.
Seolah melihat wajah wanita ini saja sudah membuat darahnya mendidih.
Wanita itu berhenti tepat di depan mempelai wanita.
Menatap Lovy dari atas sampai bawah.
Senyumnya menipis, bibir merahnya bergerak:
"Jadi… ini pengantinnya."
Nada itu terdengar menghakimi, meski kata-katanya manis.
Lovy refleks meremas ujung gaunnya.
Dia tidak kenal wanita ini. Tapi jantungnya terasa berat.
Kael berdiri, tubuhnya seperti tembok di antara Lovy dan wanita itu.
"Keluar," ucapnya dingin.
Wanita itu hanya tersenyum tipis—senyum yang tidak membawa permintaan maaf sedikit pun.
Dan di tengah semua tatapan, Lovy hanya bisa bertanya dalam hatinya:
Siapa dia?
Kenapa Kael sebenci itu?
Dan kenapa Donovan yang duduk di kursinya… tersenyum?
.
.
.