Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 - Mungkin Nanti
Pertanyaan itu meluncur seperti jerat halus. Bukan sekadar basa-basi, melainkan tebakan jujur dari isi hatinya.
Bagaskara sontak mengalihkan pandangan, menatap televisi lagi meski jelas pikirannya tidak benar-benar fokus pada tayangan itu. Bahunya tegang, rahangnya mengeras, dan tatapannya kian dingin.
“Cih, tuduhan macam apa itu?” sahutnya cepat. Nadanya berusaha terdengar enteng, tapi ada getar samar yang tidak luput dari perhatian Aliya.
Bibir wanita itu kian melengkung, membentuk senyum yang kali ini penuh kemenangan.
Ia bisa membaca dari sikap Bagaskara, cara pria itu menghindar, cara suaranya sedikit goyah, semua itu semakin menguatkan keyakinannya bahwa dugaannya benar.
Hatinya berdesir hangat, meski wajahnya tetap berusaha datar. Aliya tidak membalas dengan kata-kata seketika.
Dia hanya menatap Bagaskara lama-lama, seakan ingin menunjukkan bahwa ia bisa membaca apa yang disembunyikan suaminya.
Mendapati tatapan sang istri, Bagas lama-lama risih, atau mungkin tepatnya merasa terganggu hingga dia tidak bisa diam saja.
“Kamu kenapa? Bisa biasa saja tidak?”
Mendapati tatapan istrinya yang tak kunjung lepas darinya, Bagaskara lama-lama merasa risih.
Tatapan itu bukan sekadar menatap biasa, ada sesuatu di baliknya. Diam, lembut, tapi cukup untuk membuat hatinya terguncang.
Bagaskara menggeser posisi duduk, bersandar lebih dalam ke sofa, berusaha terlihat santai padahal justru semakin tidak nyaman.
Jemarinya mengetuk-ngetuk paha, sebuah kebiasaan kecil yang muncul setiap kali ia mencoba menyembunyikan kegelisahan.
“Kamu kenapa sebenarnya?” tanya Bagas lagi, suaranya berat dan terdengar lebih kasar dari yang ia maksudkan.
Aliya tersenyum tipis. Senyum hangat yang seolah bisa menembus dinding es paling tebal sekalipun. “Enggak, aku nggak kenapa-kenapa,” jawabnya pelan, santai, seolah pertanyaan Bagaskara tidak terlalu penting.
Jawaban itu membuat pria itu semakin heran. Alisnya berkerut tipis. “Terus kenapa kamu menatapku begitu? Hem?”
Aliya diam saja. Tidak ada kata yang keluar, hanya sorot mata yang tetap setia menelusuri wajah suaminya. Tatapan itu samar, tak terbaca, campuran antara lembut, penasaran, dan juga keyakinan.
Bagaskara menahan napasnya sebentar. Rasa tertekan perlahan menjalari dadanya, membuat udara di ruang keluarga yang tadinya terasa dingin kini justru menyesakkan.
Hingga akhirnya, ia membuang napas panjang, kasar, seperti hendak mengusir sesuatu yang mengganggu pikirannya.
“Stop berpikir bahwa aku cemburu. Karena itu tidak akan terjadi, Aliya.” Suaranya terdengar tegas, penuh penekanan.
Ada nada mengancam yang berusaha ia tonjolkan, padahal di balik itu semua hanya ada rasa takut pada kelemahan yang hampir terbongkar.
Aliya bergeming. Tidak ada kekecewaan di wajahnya, tidak ada luka yang tersirat dari kata-kata menyakitkan itu.
Justru sebaliknya, ia masih terlihat tenang, seakan sudah bisa menebak lebih dulu bahwa Bagaskara akan bersembunyi di balik egonya.
Ia tersenyum tipis lagi, lalu menjawab dengan nada enteng, sama sekali tidak menantang. “Santai saja, Kak, aku kan cuma tanya.”
Setelah itu, Aliya bangkit berdiri. Gerakannya ringan, tidak terburu-buru, tapi cukup untuk menegaskan bahwa ia tidak berniat memancing perdebatan lebih jauh.
Dia berbalik, melangkah pergi meninggalkan ruang keluarga, membiarkan Bagaskara sendirian dengan segala gejolak yang tidak mampu ia akui.
Begitu punggung istrinya menghilang di balik pintu, Bagaskara mendesah keras.
Napasnya terengah, seolah baru saja menahan diri dari pertarungan panjang. Kedua tangannya terangkat, lalu meremas rambutnya sendiri dengan frustrasi.
“Ah … apa yang terjadi padaku sebenarnya?” gumamnya lirih, jelas bingung sebenarnya.
.
.
“Calm down ... Aliya, sekarang mungkin belum, mungkin nanti.”
Jawaban Bagaskara masih terngiang di telinga, membuat Aliya yang semula tampak tenang justru merasa seperti ditampar kenyataan.
Senyum tipis yang tadi dia pertahankan perlahan memudar. Wanita itu duduk termenung di kursi dekat kolam renang, membiarkan angin sore menyapu rambutnya yang jatuh berantakan.
Aliya mencoba menegakkan bahunya, seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya kuat, padahal dalam hati, ada sesuatu yang patah.
Tatapannya jatuh ke permukaan air yang beriak lembut, mencari ketenangan dari kilauan biru itu.
Bagi Aliya, kolam renang adalah satu-satunya saksi bisu saat ini, tempat ia bisa membuang rasa malu, kecewa, sekaligus kesedihan yang ia sembunyikan.
Dia menarik napas panjang, menahan air mata yang hampir pecah. Dalam hati kecilnya, ia berbisik pelan, berusaha meyakinkan diri sendiri.
“Sudahlah, mungkin memang aku yang salah. Toh, aku sadar ini risikonya. Pernikahan kami bukan atas dasar cinta Kak Bagas ... hanya aku yang terlalu berharap. Jadi, jangan salahkan siapa-siapa, Aliya. Jangan salahkan dia.”
Aliya tidak merasa menjadi korban. Baginya, menyalahkan Bagaskara tidak akan ada gunanya.
Ia tahu betul, pernikahan ini hanya sebuah keterpaksaan dari sisi suaminya, sementara dirinya yang justru terlalu memaknai dengan kesucian dan kesakralan.
Waktu berlalu, langit yang tadinya cerah mulai berganti warna keemasan lalu menggelap.
Aliya masih duduk di sana, tidak ada tanda-tanda Bagaskara datang untuk menenangkannya. Suaminya bahkan tidak muncul sekadar memberikan penjelasan atau kata penghiburan.
Dan, bukannya kecewa lebih dalam, Aliya justru merasakan sedikit kelegaan setelah lama menyendiri. Diam-diam, ia menemukan caranya sendiri untuk menata hati.
Hampir malam ketika Aliya aKhirnya bangkit. Tubuhnya terasa agak berat, tapi pikirannya sudah lebih ringan.
Ia memutuskan untuk kembali ke kamar, sekaligus membersihkan diri karena sejak tadi siang belum sempat.
Tangga menuju lantai dua ia tapaki dengan pelan. Begitu tiba di kamar, ia tidak menemukan Bagaskara. Entah ke mana pria itu pergi.
Aliya memilih untuk tidak mencari tahu. Baginya, itu bukan sesuatu yang perlu ia repotkan saat ini. Fokusnya hanya pada dirinya sendiri, membasuh tubuh, mengganti pakaian, lalu turun menjelang makan malam.
Air hangat yang menyentuh kulitnya di kamar mandi terasa seperti menenangkan luka hati.
Begitu selesai, Aliya berdiri lama di depan cermin, memperhatikan bayangan dirinya.
Dia ingin memastikan penampilannya tidak berlebihan, tapi tetap rapi.
“Jangan sampai Kak Bagas jantungan,” gumamnya sambil tersenyum tipis. Walau ada gurat kesedihan, ia tetap berusaha tampil sebaik mungkin.
Tak lama, ia melangkah turun. Wanita itu sedikit berlari kecil menuju ruang makan, khawatir sudah terlambat menyiapkan sesuatu.
Namun, langkahnya terhenti seketika begitu melihat Bagaskara sudah duduk di kursi, dengan meja makan yang penuh oleh hidangan. Aroma opor ayam menyeruak hangat, membuat perut Aliya seketika keroncongan.
Aliya tertegun, lalu buru-buru menunduk. Ada rasa malu menyergap. Seharusnya dia yang lebih dulu berinisiatif menyiapkan makan malam, tetapi lagi-lagi niatnya kalah cepat oleh Bagaskara. Rasanya seperti gagal menjadi seorang istri.
“Kak Bagas, maaf ... tadi aku mandi dulu,” ucapnya lirih, hampir seperti anak kecil yang ketahuan salah.
Bagaskara hanya menanggapinya dengan anggukan tipis, tanpa banyak kata. Aliya menghela napas, lalu segera duduk di kursi sebelah suaminya.
Tangannya cekatan mengambil nasi untuk dirinya sendiri, lalu menatap opor ayam yang sudah sejak tadi menggoda indera penciumannya.
“Okeee, mari makan!!” ucap Aliya riang, tanpa sadar bahwa Bagaskara justru belum menyentuh makanannya.
Pria itu hanya melirik sekilas, tatapannya berhenti pada piring kosong di hadapannya. Aliya yang sedang siap menyuap nasi langsung menghentikan gerakannya, menoleh ke arah suaminya.
“Kakak kenapa? Nggak makan?” tanyanya polos.
Bagaskara tidak menjawab. Hanya matanya yang bergerak, menatap piring itu lagi. Aliya seketika paham, tetapi memilih pura-pura tidak tahu.
“Kenapa diem doang? Nggak naf-su makan deket aku?”
.
.
- To Be Continued -
Nasi : Pasti minta ambilin aku, kan ~
aku suka semua karya yg Kaka buat. karna masing2 karya Kaka, selalu punya ciri khas tersendiri, dan selalu punya kesan di kisahnya masing2. sehat selalu Kaka, terimakasih telah berkarya ❤️
Disaat Bagas belum memberikan hatinya untukmu..
Meskipun apa yang dibilang Bagas memang benar, tetapi terucap diwaktu yang tidak tepat 🤦..
Terlebih pada hakekatnya wanita dihadirkan dengan sifat lembutnya disertai perasaan yang mudah sensi...
Alhasil obrolan yang seharusnya menjadi pengingat untuk diri masing2 malah menjadi boomerang untuk Bagas yang berpikir dengan logikanya 🤦..
Dan karena Aliya menanggapinya dengan penuh perasaan, merasa seperti terhempas dan seakan tertampar kenyataan..
Bahwa cinta Bagas memang belum hadir untuk diri Aliya...
Aku suka karakter 'y....
malah karakter Al bisa bikin Aku gak benci lagi sm tuh Suami'y KapurBagus..
tetap semangat Non Desy.....
semua novel'mu menurut Aku bagus semua., cerita'y gak pernah bosen baca'y smp tamat...
semangattttttt 🥰❤️💞