PEDANG GENI. seorang pemuda yang bernama Ranu baya ingin membasmi iblis di muka bumi ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Bhaskara kembali dibuat terkejut dengan kejadian yang dilihat oleh matanya. Lagi-lagi keajaiban terjadi di hadapannya.
"Ilmu apa yang kau pakai, Anak Muda?"
"Apa kau ingin belajar? Berlutut lah maka aku akan mengajarimu!" senyum sinis terlontar dari bibir Ranu.
"Bangsat ... ucapanmu tidak pernah enak didengarkan, Anak Muda!" umpat Ranu.
"Ooh... berarti aku harus bermanis manis bibir padamu?
Kita tidak sedang menjalin kasih, jadi jangan pernah berharap aku akan bicara manis keoadamu!" kali ini Ranu tertawa lebar dan memutarkan tombak panjangnya.
Bhaskara tidak menghiraukan ucapan Ranu. Semakin pemuda itu diajak bicara, hatinya semakin teriris karena ucapan yang keluar dari bibir pemuda itu tidak ada enak-enaknya terdengar di telinga.
Pedang di tangannya terus mengeluarkan kabut hitam dan semakin lama semakin tebal.
"Kita akan lihat, pedang Raja Beracun milikku atau tombak karatanmu itu yang akan menjadi pemenangnya!" desis Bhaskara. Sedetik kemudian dia menarik pedangnya dan mengubah gerakannya, "Bersiaplah!"
Bhaskara menarik satu kakinya ke belakang dan kemudian melesat memberi serangan dengan begitu cepat.
Dia tahu kalau kesempatannya untuk menang semakin menipis, sehingga dia menggunakan semua tenaga dalam yang dipakainya.
Setiap lesatan pedang lelaki itu mengandung racun yang memenuhi udara di sekitar tempat pertarungan mereka.
Ranu bukannya tidak mengetahui tentang hal itu, maka dari itu dia mengantisipasinya dengan menggunakan Tombak Bayu Sutra yang mempunyai unsur angin.
Hembusan angin kencang yang keluar dari Tombak Bayu Sutra membuat racun yang menyebar di tempat pertarungan mereka menghilang terbawa angin.
Bhaskara mendengus kesal mengetahui hal itu. Namun dia tidak patah semangat dan terus melakukan serangan bertubi tubi.
Ranu mencoba mencari peluang dan melompat ke belakang sedikit jauh. Setelah itu dia memutar pegangan tangannya secara berlawanan. Tombak Bayu Sutra di tangannya pun menjadi dua bagian yang masing-masing berukuran sedikit pendek.
Bhaskara sedikit terkejut, tapi berbagai kejutan yang sudah ditunjukkan Ranu sudah membuatnya muak dan ingin sesegera mungkin mengakhiri pertarungan. Entah dengan kematian yang akan menimpanya atau menimpa lawannya.
Panglima urutan kelima itu memompa tenaganya dan pertarungan pun terjadi kembali dengan sengit.
Ranu sudah bisa mengetahui kelemahan racun yang menyebar dari bilah pedang lawannya. Dia bergerak dengan lincah dan menggunakan tombaknya untuk bertahan sekaligus menyerang.
Bhaskara dibuat keteteran dengan serangan dua tombak yang dipegang Ranu. Dia kalah dalam kecepatan dan variasi serangan. Goresan luka mulai menghiasi tubuhnya. Rasa perih dan tenaga dalam yang menipis membuatnya menjadi semakin tertekan.
Sesaat kemudian, akibat dari kesalahannya sendiri, Bhaskara yang sedikit kehilangan keseimbangan karena tersandung mayat seorang prajurit harus merelakan tulang lengan kirinya remuk terkena tebasan tombak lawannya.
Bhaskara meringis kesakitan. Dengan dua tangan saja dia kesulitan melawan, apalagi dengan satu tangan.
Meskipun yang remuk bukan tangan terkuatnya, tapi harapan hidupnya semakin menipis bahkan sudah tidak ada lagi menurutnya.
"Aku harus bisa bertahan!" Bhaskara berkata dalam hati.
Dengan tenaga dalam tersisa, dia memasang kuda-kudanya untuk melakukan serangan penghabisan.
Ranu tersenyum melihat lelaki tua namun memiliki wajah yang awet muda tersebut, "Semangatmu untuk hidup aku akui sangat luar biasa, Orang tua."
"Kau jangan banyak bicara, Bedebah! Aku belum kalah!" Bhaskara mendengus kesal. Emosinya yang sudah memuncak membuatnya kehilangan akal. Dia sudah tidak mempedulikan jika nyawanya sebentar lagi akan tercabut dari tubuhnya.
Dengan satu tangan tersisa, Bhaskara menyerang menggunakan sisa-sisa kekuatannya. Tebasan demi tebasan yang dikeluarkannya malah membuat tubuhnya goyah. Tangan kiri yang biasanya digunakan sebagai penyeimbang dalam bergerak, kini sudah tidak berfungsi lagi.
Ranu masih terus menghindari serangan ngawur yang dilakukan Bhaskara. Namun dia masih mencari momentum yang tepat untuk melakukan serangan terakhir.
Setelah melihat celah terbuka lebar di depannya, Ranu pun tersenyum lebar. Dia kemudian melompat tinggi dan menebaskan tombaknya dengan kuat mengincar kepala Bhaskara.
Blaaaar!
Ledakan keras terdengar begitu keras ketika tombak Ranu mendarat mengenai sasaran. Debu yang mengepul tebal bercampur asap akibat benturan itu membumbung ke atas.
Pemuda itu terpental sedikit ke belakang karena benturan tersebut. Dia sedikit heran karena seharusnya tebasannya tidak sampai mengeluarkan ledakan yang begitu keras.
Ribuan prajurit di sekitar mereka langsung berhenti seketika karena mendengar ledakan tersebut. Namun keterkejutan mereka tidak berlangsung lama, para prajurit itu kembali melakukan pertempuran.
Sementara itu, prajurit berkuping lebar yang merupakan prajurit khusus Raja Condrokolo, bagai air bah dan menghancurkan apapun yang ada di depannya. Mereka yang mempunyai kemampuan 5 kali lipat prajurit biasa, begitu ganas membasmi prajurit kota Wentira yang berada di sekitar mereka.
Tanpa ampun dan rasa belas kasihan, mereka menjalankan perintah Raja Condrokolo tanpa membuat kesalahan. Teriakan semangat, pekik tangis dan jeritan kematian saling bersahutan tiada henti setiap satu nyawa tercabut dari tubuhnya.
Di sisi lain, 10 ribu pasukan pemanah yang dikirim Dewi Anjani juga bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa lawan dengan kelincahan mereka berlompatan sambil melepaskan anak panah dengan cepat.
Meski tidak ahli dalam pertempuran jarak dekat, Dewi Anjani yang sudah membekali mereka dengan ilmu meringankan tubuh, seringkali memanfaatkan tubuh temannya untuk melakukan lompatan tinggi, dan diakhiri lesatan anak panah yang akurasinya tidak perlu diragukan lagi
Setelah Ranu mengibaskan tombaknya sekali, debu bercampur asap yang mengepul menghilang tersapu angin.
Dua sosok terlihat jelas di pandangan Ranu. Ternyata Bhaskara terlihat masih hidup karena diselamatkan oleh Panca, yang juga panglima perang pemimpin dari 6 panglima lainnya.
"Beristirahatlah! Biar aku melawan pemuda ini," ucap Panca dingin. Pandangannya beralih kepada Ranu yang berdiri tegak di tempatnya.
Sedikit jauh dari tempat Ranu berdiri, Suropati nampak berhadapan dengan Rakuti yang memegang pedang besar dan sudah berlumuran darah.
Panglima perang andalan Dewi Anjani itu menghentikan pembantaian yang dilakukan oleh Rakuti terhadap pasukan yang dia bawa, "Carilah lawan yang sepadan denganmu!"
Rakuti terkekeh menunjukkan giginya yang hitam, "Kalau kau ingin dibantai juga majulah!" bentaknya dengan keras.
Suropati tersenyum tipis. Dia yang sudah menjalani ratusan kali pertarungan semenjak menjadi panglima perang, tidak menunjukkan rasa takut sama sekali, "Kau kira bentakanmu akan membuatku takut? Kau salah besar!"
"Kau dan raja sialan itu sudah berani menyerang kota Wentira. Terimalah akibatnya!" Rakuti memasukkan pedang besar yang dipegangnya ke dalam sarungnya. Seketika dari tubuhnya keluar aura pembunuh yang begitu pekat.
Suropati mencibir aura pembunuh yang dilepaskan Rakuti, "Bahkan aura pembunuhmu masih jauh di bawah pemuda itu!" Suropati menoleh ke arah Ranu yang sedang berhadapan dengan Panca.
"Oh iya, aku ingatkan... jika kau masih bisa selamat, jangan sekali-kali melawan pemuda itu. Bahkan Racun Utara pun aku tidak yakin bisa mengalahkannya!" lanjutnya.
Rakuti menarik aura pembunuh yang dikeluarkannya. Dia sedikit terkejut karena auranya itu tidak berpengaruh sama sekali terhadap lawannya kali ini. Dia menduga, sejak kota Wentira ini disegel oleh para dewa, dirinya dan semua orang yang berada di kota itu bahkan tidak mengalami pertarungan sama sekali. Dan itu mungkin yang membuat aura pembunuhnya tidak bekerja.
"Banyak bicara kau! Mari kita buktikan, kau atau aku yang akan selamat dalam pertarungan ini?"
Panglima serigala itu memasang kuda-kudanya dan melesat dengan cepat memberi serangan.
Suropati menyongsong serangan tersebut dengan kecepatan tinggi. Benturan pertama yang terjadi langsung menimbulkan ledakan kecil sebagai pembuka.