Ketika Romeo dan Tina mengunjungi sebuah museum desa terpencil, mereka tidak pernah menyangka bahwa patung kuno sepasang Dewa Dewi Asmara akan membawa mereka ke dunia lain—Asmaraloka, alam para dewa yang penuh kemegahan sekaligus misteri. Di dunia ini, mereka bukan lagi manusia biasa, tapi reinkarnasi dari Dewa Kamanjaya dan Dewi Kamaratih—penguasa cinta dan perasaan.
Terseret dalam misi memulihkan keseimbangan cinta yang terkoyak akibat perang para dewa dan iblis, Romeo dan Tina harus menghadapi perasaan yang selama ini mereka abaikan. Namun ketika cinta masa lalu dan masa kini bertabrakan, apakah mereka akan tetap memilih satu sama lain?
Setelah menyadari kisah cinta mereka yang akan berpisah, Sebagai Kamanjaya dan Kamaratih mereka memilih hidup di dunia fana dan kembali menjadi anak remaja untuk menjalani kisah yang terpisahkan.
Asmaraloka adalah kisah epik tentang cinta yang melintasi alam dan waktu—sebuah petualangan magis yang menggugah hati dan menyentuh jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32.
Dika mengirimkan pesan pada Tina kalau ia ingin sekali bicara penting pada Tina dan memberikan sesuatu pada Tina.
Dika : Tina gue mau ngomong sama Lo sama gue punya sesuatu juga buat Lo.
Tina : boleh dimana?
Dika : Lo dimana? Gue nyusul Lo disana.
Tina : gue di kelas
Dika : gue otw ya kesana
Tina : oke
Sedangkan dilain sisi romeo dan Danan, Hanan Choki sudah menyiapkan sesuatu kejutan untuk Dika di markas kecil mereka sering berkumpul.
Setelah mengirim pesan pada Tina, Dika segera bergegas menuju kelasnya dengan perasaan sedikit gugup. Ia menggenggam sesuatu di dalam sakunya—benda kecil yang sudah lama ingin ia berikan pada Tina.
Sementara itu, di sisi lain sekolah, Romeo, Danan, Hanan, dan Choki sedang sibuk menyiapkan kejutan untuk Dika di tempat mereka biasa berkumpul, sebuah ruangan kecil di belakang gedung olahraga yang mereka sebut sebagai "markas."
"Kita udah siapin semuanya, kan?" tanya Danan sambil memastikan dekorasi sederhana yang mereka buat.
Hanan mengangguk. "Udah, tinggal nunggu Dika datang."
Romeo, yang duduk santai di salah satu sudut ruangan, hanya tersenyum tipis. "Gue yakin dia bakal kaget. Apalagi kita nggak ngasih bocoran sama sekali."
Choki tertawa kecil. "Bukan Dika namanya kalau nggak keheranan dulu sebelum sadar ini buat dia."
Mereka semua tertawa kecil sambil menunggu waktu yang tepat untuk memanggil Dika ke tempat itu.
Tina keluar dari kelasnya dah menghampiri Dika yang sudah membawa Bunga dan juga coklat untuk Tina. Gadis itu tak mengerti apa yang di lakukan Dika.
"Tina gue kan udah janji mau kasik sesuatu sama Lo ya, dan mau ngomong sesuatu."
Dika tersenyum kecil meski ada sedikit rasa kecewa yang ia coba sembunyikan. Ia mengangguk pelan sambil menyerahkan bunga dan cokelat itu ke Tina.
"Ini buat Lo, tetep terima ya. Anggap aja hadiah karena Lo selalu dukung gue selama ini," ucap Dika dengan nada santai.
Tina menerima bunga dan cokelat itu sambil tersenyum canggung. "Makasih, Dika. Gue seneng banget bisa jadi bagian dari perjuangan Lo sampai akhirnya Lo jadi ketua OSIS."
Dika tertawa kecil dan mengacak pelan rambut Tina. "Gak usah kaku gitu, Tin. Gue juga lega udah ngomong. Gue gak pengen perasaan ini jadi beban di antara kita."
Tina mengangguk, merasa lega mendengar Dika tetap santai. "Dika, gue harap kita tetep bisa kayak dulu ya. Sahabatan terus tanpa ada yang berubah."
"Ya iyalah, siapa yang mau berubah? Gue tetep Dika yang Lo kenal. Tapi kalau suatu hari Lo berubah pikiran, kasih tau gue ya," balas Dika sambil berkedip jenaka.
Tina hanya tertawa kecil dan menggeleng. "Dasar."
"Kalau Lo sama Romeo gue gak apa-apa banget, gue bakalan dukung Lo sama dia."
"Apaan sih lo."
Setelah itu, Dika mengalihkan pembicaraan ke topik lain untuk mencairkan suasana. Mereka kembali ngobrol santai seperti biasa, seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Namun, di dalam hati, Dika merasa lega sekaligus sedih. Setidaknya, ia telah mengungkapkan perasaannya, dan itu sudah cukup baginya untuk melangkah ke depan.
Setelah perbincangan itu, Dika dan Tina tetap berjalan berdampingan menuju kantin, seolah tidak ada yang berubah di antara mereka. Meskipun ada sedikit perasaan canggung di awal, Dika berusaha tetap ceria, seperti biasanya.
Di sisi lain, Romeo dan yang lainnya masih menunggu di markas kecil mereka dengan rencana kejutan yang sudah mereka siapkan.
"Udah ada kabar belum dari Dika?" tanya Choki sambil memainkan botol minumnya.
Hanan melirik ponselnya. "Belum ada. Mungkin dia masih ngobrol sama Tina."
Romeo yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Kalau lama banget, berarti ada sesuatu yang serius. Tapi ya... gue sih udah bisa nebak."
Danan melirik Romeo dengan penasaran. "Maksud lo?"
Romeo hanya mengangkat bahu, tidak ingin berkomentar lebih jauh. Tapi dalam hatinya, ia bisa menebak bahwa Dika baru saja menyatakan perasaannya pada Tina.
Tak lama kemudian, Dika akhirnya muncul di depan pintu markas mereka. Ia mendorong pintu dan masuk dengan ekspresi santai, tapi teman-temannya bisa melihat ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya.
"Eh, pada ngumpul di sini? Lagi bikin rencana jahat?" Dika bercanda, berusaha mengalihkan perhatian.
Namun, sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Choki menariknya masuk, dan tiba-tiba ruangan itu dipenuhi suara terompet kertas dan sorakan.
"Selamat buat ketua OSIS baru kita, Ardika Wijaya!" seru Hanan dengan semangat.
Dika terkejut sejenak, lalu tertawa. "Gila, kalian nyiapin ini?"
"Ya iyalah!" Danan menepuk bahunya. "Gue udah prediksi lo bakal menang, makanya kita siapin ini."
Romeo, yang bersandar di meja, hanya tersenyum tipis. "Gimana? Hari lo berjalan sesuai rencana?" tanyanya dengan nada yang sedikit berbeda dari yang lain.
Dika menatap Romeo sesaat, lalu tersenyum kecil. "Ya... bisa dibilang gitu."
Romeo mengangguk, seolah mengerti tanpa perlu dijelaskan lebih jauh.
Sementara itu, Dika menikmati momen bersama sahabat-sahabatnya, merasa bersyukur karena meskipun perasaannya tidak berbalas, ia masih memiliki orang-orang yang selalu mendukungnya. Hari itu mungkin tidak berjalan seperti yang ia harapkan, tapi ia tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Dika tersenyum sambil menawarkan, "Ayo, gue anterin Lo pulang."
Tina ragu sejenak, tetapi kemudian mengangguk. "Boleh deh, tapi gue titip cokelatnya di tas dulu ya."
Dika tertawa kecil. "Santai aja, Tin. Gue tunggu di depan gerbang."
Tina mengambil tasnya dari ruang kelas dan menyimpan bunga serta cokelat dari Dika. Setelah itu, ia berjalan menuju gerbang, di mana Dika sudah menunggu dengan sepedanya.
"Kita naik sepeda bareng, tapi gue boncengin ya," ucap Dika sambil menunjuk jok belakang sepedanya.
Tina tertawa kecil. "Oke deh, tapi jangan kebut-kebutan ya."
Dika mengangguk sambil tersenyum, lalu membantu Tina naik ke jok belakang. Mereka pun bersepeda pelan-pelan menuju rumah Tina, sambil sesekali berbincang ringan tentang hari-hari mereka di sekolah.
Di perjalanan, Dika sempat melirik Tina dari sudut matanya. Meskipun ia tahu perasaannya tidak terbalas, ia tetap merasa bahagia bisa menghabiskan waktu bersama sahabatnya itu.
Setelah sampai di depan rumah Tina, Dika berhenti dan menoleh. "Oke, sampai sini aja ya, Tin. Besok kita ketemu lagi di sekolah."
Tina turun dari sepeda dan tersenyum. "Makasih, Dika. Hati-hati di jalan, ya."
Dika mengangguk sambil tersenyum. "Pasti dong. Bye, Tin."
Tina melambai sebelum masuk ke rumahnya. Dika kemudian mengayuh sepedanya pergi, dengan hati yang lebih ringan meskipun sedikit terluka.
Saat Dika mengayuh sepedanya menjauh, angin sore menerpa wajahnya, membawa serta perasaan campur aduk di hatinya. Ia tahu bahwa perjalanan pulang ini terasa berbeda—ada rasa lega karena sudah mengungkapkan perasaannya, tapi juga ada sedikit perih yang ia coba abaikan.
Di dalam rumahnya, Tina berdiri di dekat jendela, mengintip sekilas ke arah jalan. Ia menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah karena tidak bisa membalas perasaan Dika. Namun, ia juga bersyukur karena Dika bisa menerima semuanya dengan dewasa.
Sementara itu, di perjalanan pulang, Dika menghela napas panjang dan menatap langit yang mulai berubah warna. "Setidaknya, gue udah ngomong," gumamnya pelan, sebelum akhirnya tersenyum kecil.
Sesampainya di rumah, ia disambut oleh teman-temannya—Danan, Hanan, dan Choki—yang sudah menunggu dengan kejutan kecil di markas mereka.
"WOY, KETUA OSIS BARUUU!" seru Choki sambil melempar bantal ke arah Dika.
Dika tertawa sambil menangkisnya. "Apaan sih, norak banget."
Danan melipat tangan di dada sambil menaikkan alis. "Jadi gimana? Udah bilang ke Tina?"
Dika melemparkan tubuhnya ke sofa dan mengangguk. "Udah. Dan jawabannya... ya gitu deh."
Hanan menepuk bahu Dika dengan penuh pengertian. "Gak apa-apa, bro. Yang penting lo udah jujur."
Dika mengangguk, lalu tersenyum. "Iya, paling nggak gue nggak nyesel."
Mereka semua tertawa kecil, lalu mengalihkan pembicaraan ke hal-hal lain. Meski hatinya masih sedikit berat, Dika tahu bahwa hidup terus berjalan. Dan selama masih ada teman-temannya, ia yakin semuanya akan baik-baik saja.
Setelah itu mereka juga harus pulang ke rumah masing-masing juga.
Sedangkan Tina yang selesai mandi melihat notifikasi dari handphonenya dari Dika.
Dika : Tina, gue mau bilang makasih sama Lo karena mau dukung gue sampai jadi ketua OSIS hehe. Dan jadi sahabat gue juga dan gue juga lega karena bisa bilang perasaan gue ke Lo Tina.
Terus satu lagi ini tentang Romeo, kalau memang Lo suka sama dia, gue dukung banget Lo sama dia.
Tina : Sama-sama Dika.
Jangan bawa Romeo juga kalik 😭
Dika : masa gue harus jelasin lagi sih Tina
Dia, itu baik banget sama Lo, jadi ya gak apa-apa banget Lo sama dia aja. 🙏😹
Tina membaca pesan dari Dika sambil tersenyum kecil, tapi juga menghela napas panjang. Ia tahu Dika mencoba bersikap santai, tapi tetap saja, perasaan seperti ini pasti gak mudah buatnya.
Tina : Udahlah, Dika. Gak usah bahas Romeo. Gue juga gak tahu perasaan gue sendiri. 😭
Dika : Ya udah deh, terserah Lo. Tapi kalau suatu hari Lo suka sama dia, jangan lupa traktir gue ya. 😆
Tina : Ih, gak nyambung banget. 😂
Dika : Pokoknya gue seneng udah ngomong ke Lo, dan gue tetep sahabat Lo, Tin. Jangan berubah ya.
Tina : Gue gak akan berubah, Dik. Lo tetep Dika yang gue kenal.
Dika membaca pesan itu dan tersenyum kecil. Meskipun hatinya masih sedikit berat, ia tahu bahwa persahabatannya dengan Tina tetap utuh. Dan untuk saat ini, itu sudah lebih dari cukup.
Sementara itu, Tina menatap layar handphonenya cukup lama, sebelum akhirnya mengunci layarnya dan merebahkan diri di kasur. Ia merasa sedikit aneh dengan perasaannya sendiri, terutama soal Romeo.