**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. WIRATAMA
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Lorong itu sepi, hanya diterangi cahaya remang dari lampu gantung kristal di atas. Hawa dingin menyusup pelan, tapi suasana terasa panas, mendidih oleh emosi menggelegak.
Nayaka berdiri di tengah, tubuhnya setegap baja. Tangan kanannya mencengkeram pergelangan tangan Nadra, yang tampak kesakitan. Nadra berusaha memberontak, namun kekuatan Nayaka jauh lebih besar.
"Lepaskan aku, Nayaka, tolong!" desis Nadra, suaranya gemetar tapi mencoba tegas. Gelang emas tipis di pergelangannya berkilau, kontras dengan kulitnya yang mulai memerah akibat genggaman Nayaka.
Agra melangkah mendekat, tenang namun penuh tekanan. "Nay, lepaskan tangannya. Jangan buat semuanya lebih buruk."
"Tidak." Nayaka menggeleng keras. Matanya merah, bibirnya tertarik dalam garis penuh amarah dan ketakutan. "Dia nggak pantas buat kamu, Bang. Dia hanya pantas untukku."
Agra terdiam, untuk sesaat. Matanya bergerak pelan, menatap genggaman adiknya yang begitu keras hingga ruas jari Nadra tampak pucat. Lalu, tatapannya naik ke wajah Nadra. Wajah itu memucat, tapi masih mencoba berdiri tegak. "Lihat dia," suara Agra rendah, "kau menyakitinya, Nay. Itu bukan cinta."
"Kau tahu aku mencintainya lebih dulu. Kau tahu semuanya," ucap Nayaka dengan suara serak. "Kenapa harus kamu? Kenapa Abang yang dia pilih?!"
Agra menarik napas dalam-dalam. "Karena aku menghormatinya." Suaranya tegas tapi tenang. "Karena aku tak pernah menyakitinya. Karena aku ingin melindunginya bukan memilikinya."
Nadra menunduk, air matanya jatuh tanpa suara. Ia menggigit bibir, mencoba menahan isak. Hatinya terombang-ambing. Semuanya terasa salah. Dan sekarang, dia bahkan di tengah badai dua bersaudara yang sama-sama menginginkannya dengan cara berbeda.
"Nayaka," suara Agra melembut, "jika kau benar mencintainya, lepaskan dia. Jangan buat dia takut padamu."
Tapi Nayaka tak bergeming. Matanya kini penuh luka dan keputusasaan. Dan tiba-tiba langkah berat terdengar dari ujung lorong. "Cukup."
Satu kata itu menghentikan segalanya. Sosok Wiratama Nugroho muncul di ambang lorong. Matanya seperti bara, wajahnya keras, dingin, tanpa ekspresi. Aura otoritas memancar begitu kuat hingga membuat udara terasa berat.
"Papa," ujar Nayaka dan Agra bersamaan.
Nadra spontan melangkah mundur, tubuhnya refleks berlindung di balik punggung Nayaka. Kakinya bergetar, tapi ia mencoba tegak. Napasnya tersengal pelan.
Mata Wiratama menajam, menatap langsung ke arah Nadra. Tatapan itu membuat bulu kuduk Nadra berdiri. Itu bukan sekadar tatapan kecewa, melainkan penolakan mutlak. Tatapan seorang penguasa yang tak Sudi pewarisnya ternoda oleh darah 'biasa'."
"Lepaskan dia, Nayaka," perintah Wiratama, datar namun penuh tekanan.
Nayaka menoleh, menggeleng lemah. "Papa, dia bukan orang biasa. Nadra, dia berbeda. Aku mengenalnya sejak lama. Bahkan sebelum Abang tahu dia ada."
Wiratama melangkah lebih dekat. Setiap langkahnya membuat degup jantung semakin cepat. Matanya terus menatap gadis itu, seolah hendak menguliti lapis demi lapis identitasnya. "Aku bilang lepaskan, Nayaka," ucapnya lebih keras. "Kau membuat keluargamu tampak seperti badut. Di malam penting seperti ini."
Agra berdiri di samping adiknya, menatap Papanya. "Papa, ini semua salahku. Aku yang membawa Nadra malam ini."
"Jangan bodoh, Agra," Wiratama memotong. "Aku tahu apa yang kalian lakukan. Kau berdua mempermalukan keluargamu sendiri, hanya karena perempuan?"
Nadra menggigit bibirnya. Ia menunduk, merasa ingin menghilang dari tempat itu. Tapi tubuhnya tak mampu bergerak. Suara Wiratama mengguncang batinnya lebih dalam daripada teriakan siapapun.
Wiratama menoleh pelan. Pandangannya tajam menelusup ke mata anak sulungnya, lalu menyipitkan mata seperti sedang mengatur seberapa jauh keberanian Agra. "Kau pikir aku tidak tahu?" ucapnya dengan nada datar tapi menekan. "Perusahaan kecilmu itu, yang kau bangun diam-diam. Kau pikir aku tidak tahu?"
Agra terdiam, rahangnya mengeras.
"Aku terjun ke dunia bisnis lebih dulu daripada kau bisa bicara lancar," Wiratama melanjutkan. "Setiap gerakmu, setiap keputusanmu, setiap rekrutmen, aku tahu semua, Agra. Tapi aku diam." Ia menatap tajam. "Bukan karena aku lemah. Tapi karena aku ingin melihat sejauh mana kau berani melawan darahmu sendiri."
Lalu perlahan, Wiratama berbalik. Ia berjalan beberapa langkah menjauh, sebelum sedikit menoleh, tatapannya kini jatuh kepada Nadra, yang masih berdiri terpaku di balik tubuh Nayaka. "Singkirkan gadis itu malam ini." Suaranya dingin, tapi mematikan.
Namun baru saja ia berbalik hendak melanjutkan langkah. "Tidak!" Satu kata itu menggema, terdengar serentak dari kedua putranya. Nayaka menggenggam tangan Nadra, lalu dengan gerakan cepat menarik gadis itu. "Ikut aku, Nadra! Sekarang!"
"Nayaka!" Agra berteriak.
Nayaka tak menggubris. Ia membawa Nadra menyusuri lorong, melewati para pelayan yang membeku di tempat, menuju pintu belakang dekat pagar tempat mobilnya terparkir.
Agra mengepalkan tangan. Ia menoleh cepat ke arah Papanya, lalu berkata lantang sebelum mengejar adiknya. "Papa, mulai malam ini, aku memilih jalanku sendiri. Dan aku siap menanggung semua akibatnya!"
Tanpa menunggu reaksi sang Papa, Agra berbalik dan berlari mengejar adiknya yang sudah membawa Nadra ke mobil. Dari jauh terdengar suara deru mesin dinyalakan. Ban mobil berdecit saat meninggalkan halaman rumah mewah milik keluarga Wiratama.
Wiratama hanya diam. Matanya menatap kosong ke arah gerbang yang mulai menutup kembali perlahan. Wajahnya tak berubah, tapi matanya menyimpan badai yang belum reda.
❌❌
Wiratama menarik napas panjang sebelum kembali melangkah ke dalam ruang pesta. Kedua tangannya menggenggam erat di samping tubuh, namun saat melewati ambang pintu, ia mengangkat satu bibir, membentuk senyum ramah yang dipaksakan.
Para tamu masih berdiri dengan tatapan penuh tanya. Musik sempat terhenti. Pak Adiprana, pria tambun dengan kumis tebal dan suara berat, langsung menghampirinya. "Pak Wiratama," ucapnya tegas. "Ini sudah keterlaluan. Putra Anda pergi di saat seperti ini. Saya rasa, lebih baik pertunangan ini dibatalkan."
Wiratama tertawa kecil, seperti mendengar lelucon, lalu merangkul bahu pria itu. "Ahm jangan seperti itu, Pak Adiprana. Nayaka hanya mengantar pulang gadis yang datang bersama Agra. Tak ada yang serius. Ini hanya kebetulan yang tak diinginkan."
Ia menatap tamu-tamu lain yang memandang dengan penasaran, lalu melanjutkan dengan suara yang dibuat serakah mungkin, "Sebentar lagi dia juga pasti kembali. Nayaka selalu tepat waktu, bukan?"
Ayana dan Mamanya, Indira, saling pandang. Tatapan sang Mama tampak tak percaya, namun Wiratama tetap menjaga senyum di wajahnya. Di sampingnya, Marlina melangkah cepat menghampiri.
"Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini," ucap Marlina sopan sambil menunduk kepada para tamu. "Silahkan duduk kembali, nikmati hidangan yang sudah kami siapkan. Ini hanya kesalahpahaman kecil."
Beberapa pelayan mulai bergerak, menyajikan minuman dan menyalakan kembali musik. Suasana pesta dipaksakan hidup lagi meskipun aroma tegang masih membekas di udara.
Marlina, sorot matanya sesekali memandang pintu rumah yang masih terbuka lebar. Dengan senyuman ramah, dan gestur tubuh yang anggun, ia menutupi kekhawatirannya.
...Bersambung ...