CARA YANG SALAH

CARA YANG SALAH

01. PAGI YANG BURUK

Di sebuah rumah kecil yang mulai kusam dimakan usia, di salah satu sudut kota metropolitan yang tak pernah benar-benar tidur, tinggal keluarga sederhana, ayah, ibu, dan seorang putri berusia tujuh belas tahun.

Pagi itu mendung menggantung rendah, seolah langit pun enggan membuka harinya. Di teras rumah yang catnya mulai mengelupas, duduk seorang pria berusia 45 tahun dengan kaus dalam lusuh dan celana pendek yang warnanya sudah pudar. Di tangannya, sebuah ponsel tua berlayar retak terus-menerus ditekan, digeser, lalu digertakkan lagi.

"Astaga! Bodoh!" makinya, keras dan kasar, hingga burung-burung di atas kabel listrik beterbangan.

Ia memukul pahanya sendiri, geram. Suara dari ponsel berbunyi nyaring, pertanda kekalahan. Lagi.

Istrinya yang sejak tadi mencuci piring di dapur langsung menghentikan aktivitasnya. Ia memejamkan mata sejenak, mengatur napas.

"Pak, sudah pagi. Tolong jangan berteriak, anak kita baru tidur jam tiga tadi," ujarnya dari balik jendela yang terbuka setengah.

Pria itu tak menjawab. Hanya mendengus dan membanting ponselnya ke atas meja kayu kecil di samping kursi. Ponsel itu berguling pelan dan berhenti tepat di tepi, nyaris jatuh.

Terdengar derit pelan dari pintu. Seorang gadis dengan rambut acak-acakan dan mata masih setengah tertutup melangkah ke luar. Bajunya kaus lusuh kebesaran dengan tulisan band asing yang sudah pudar, dan celana pendek yang terlalu panjang untuk ukuran tubuhnya.

"Ayah main judi lagi?" tanyanya pelan, tanpa basa-basi.

Pria itu menoleh, tatapannya tajam namun kehilangan taring. Ia menatap anak perempuannya, mata yang dulu bersinar bangga kini hanya menyisakan bayangan ketakutan dan cemas.

"Urus saja dirimu sendiri, Nadra," jawabnya pendek.

Nadra menghela napas. "Aku cuma bilang, Ayah. Bukan marah. Tapi Ibu capek, dan aku juga."

"Apa? Kamu juga mulai ceramah sekarang?" bentaknya, suaranya naik lagi.

Ibu keluar, tergesa. "Pak, sudah! Jangan ke anak sendiri!"

Nadra menunduk, tak ingin membalas. Tapi luka di hatinya makin dalam tiap kali suara ayahnya meledak. Ia berbalik, kembali masuk ke dalam rumah. Pintu kamar ditutupnya pelan, tapi cukup tegas.

Pria itu masih duduk diam, matanya kosong. Sekali lagi ia mengambil ponsel, menyalakannya, dan membuka aplikasi yang sama.

Sang istri hanya bisa berdiri mematung. Ingin berkata, ingin menjerit, tapi lidahnya kelu. Ia hanya menatap suaminya yang makin hari makin tenggelam, dan anak perempuannya yang semakin jauh dari pelukan yang dulu hangat.

Tak sabar, suara ibu berganti dengan suara yang mulai meninggi.

"Main terus dari pagi! Kerja, Pak! Kerja!" serunya, suara tinggi namun terdengar lebih sebagai ratapan ketimbang amarah.

"Nadra aja, anak kita, baru lulus udah banting tulang kerja di kafe. Masa ayahnya cuma duduk, main judi, berharap menang mimpi kosong terus?"

Pria itu, duduk membisu sejak kalah tadi, mendadak bangkit berdiri. Kursi reyot di teras berderit keras, hampir roboh. Langkahnya berat dan cepat, mendekati istrinya yang berada di ambang pintu.

Dengan satu jari telunjuk yang gemetar karena emosi, ia menunjuk wajah perempuan yang telah menemaninya lebih dari dua puluh tahun.

"Jangan sok ngatur, ya!" desisnya tajam. Nafasnya berat, wajahnya memerah. "Kalau aku menang, kalau aku menang nanti! Kamu gak perlu lagi capek-capek jadi babu orang! Ngerti?!"

Istrinya terdiam, meski tubuhnya tampak menggigil. Tapi matanya tak berkedip, tak ada air mata. Hanya sepasang bola mata yang sudah terlalu sering melihat kekalahan dan janji-janji kosong yang sama.

Belum puas, pria itu melangkah mundur, kini suaranya lebih lantang mengarah ke kamar anak mereka.

"Dan Nadra! Jangan sok suci kamu, ya! Baru juga kerja jadi pelayan kafe, uda belagak! Hah?! Mentang-mentang bisa bawa duit sendiri, kamu jadi ngerasa lebih hebat dari ayahmu?!"

Di balik dinding tipis kamar, suara itu menembus masuk seperti peluru yang menampar udara tenang.

Nadra menutup telinganya dengan bantal, menekan sekuat mungkin agar suaranya meredam. Matanya yang berat masih menyisakan kantuk dan rasa lelah dari shift malam yang baru selesai dini hari tadi.

Tubuhnya ingin istirahat, tapi pikirannya berisik. Rasa ingin marah, menangis, dan kabur bercampur menjadi satu. Tapi ia tahu, tak ada gunanya bicara. Suara Ayah selalu menang. Selalu paling keras. Selalu paling benar menurutnya sendiri.

Ia menghembus napas panjang, mencoba menarik diri dari kenyataan yang terasa semakin pengap.

"Aku cuma mau tidur, tolonglah," bisiknya lirih, entah pada siapa. Mungkin pada langit, mungkin pada dirinya sendiri.

Pelan-pelan, matanya terpejam, membiarkan kepenatan menenggelamkannya dalam keheningan palsu. Dalam mimpi, ia berharap ada rumah yang lebih tenang, lebih hangat. Rumah yang tak retak oleh suara teriakan.

Di luar kamar, pria itu masih menggerutu. Tapi kini lebih pelan, suaranya kehilangan kekuatan. Istrinya masuk ke dapur, kembali mencuci piring dengan air dingin dan tangan gemetar.

***

Langkah kakinya menghentak aspal jalan kecil yang berdebu. Pria itu, ayah berjalan dengan sorot mata penuh amarah dan bibir yang tak henti menggerutu.

"Sok pintar semua, dasar anak kurang ajar, istri cerewet," gumamnya, seraya menyepak batu kecil yang tergeletak di jalan.

Batu itu meluncur, mengenai kaleng kosong menimbulkan dentingan yang memantul ke sekeliling. Ia tak peduli.

Langkahnya terus membawanya ke arah warung kopi di pojokan kampung, tak jauh dari gang sempit tempat ia tinggal. Warung itu sederhana, berdinding triplek dan atap seng yang berderak diterpa angin, tapi selalu ramai. Terutama oleh mereka yang tak punya cukup alasan untuk pulang cepat.

Di balik meja kayu panjang yang dilapisi taplak plastik bermotif bunga pudar, berdiri seorang wanita bertubuh gemuk, tapi seksi, pemilik warung. Janda. Bibirnya tak banyak tersenyum, tapi matanya selalu sigap membaca gelagat pelanggan.

"Datang juga, Pak Sugeng," sapa si pemilik warung, suaranya datar, tapi cukup ramah.

"Bikin kopi. Yang pahit. Seperti nasib," balasnya, separuh bercanda, separuh menyindir hidupnya sendiri.

Di warung itu sudah berkumpul beberapa pria. Ada yang bermain game di ponsel dengan suara musik berdentum dari speaker mini, ada pula yang matanya fokus di layar, jari-jarinya lincah bertaruh chip demi chip.

***

Matahari belum tinggi, dan udara masih mengandung sisa dingin malam. Di dapur rumah kecil itu, aroma bawang tumis mulai menguar. Nadra dan ibunya sibuk menyiapkan sarapan seadanya: nasi sisa semalam, telur yang dibagi dua, dan teh hangat yang lebih banyak air daripada gula.

Tiba-tiba, terdengar suara berat memanggil dari luar pagar.

"Pak Sugeng! Keluar lo! Jangan pura-pura tidur!"

Nadra dan ibunya saling berpandangan. Wajah ibu Nadra langsung pucat. Sementara Nadra mengerutkan alis, merasa suara itu asing, dan ancaman yang terselip di dalamnya membuat bulu kuduknya berdiri.

Mereka segera melangkah ke ruang depan. Nadra membuka pintu, dan saat itulah napasnya tertahan.

Tiga pria bertubuh besar berdiri di depan pagar. Salah satunya memegang buku besar lusuh, tampak seperti catatan utang. Wajah mereka keras, tak tersenyum, dan tak ada keraguan dalam tatapan tajam mereka.

"Ibu?" bisik Nadra, nyaris tak terdengar.

Ibu Nadra melangkah maju, berdiri di depan putrinya. Suaranya bergetar saat bertanya, "Ada perlu apa ya, Pak?"

Pria bertubuh paling besar mendekat. "Kami anak buahnya Pak Herman. Pak Sugeng, punya hutang sama kami. Tiga juta. Sudah sebulan gak dibayar. Kami capek sabar, Bu."

Nadra menoleh cepat, matanya membelalak. "Tiga juta?!"

Ibunya membeku. "Maaf, kami, kami nggak tahu. Dan kami juga belum punya uang."

"Tahu atau enggak, urusan belakangan," sahut pria yang lain. "Kami nggak dibayar buat dengerin alasan. Kami dibayar buat ngambil jaminan."

Tanpa menunggu izin, dua pria langsung menerobos masuk rumah.

"Eh! Jangan! Jangan main masuk begitu aja! Ini rumah kami!" seru Nadra, mencoba menghalangi.

Tapi dorongan pelan dari salah satu pria itu cukup membuat Nadra terhuyung.

"Nadra!" teriak ibunya, memegang lengan putrinya.

Pria bertubuh kekar menunjuk barang-barang dalam rumah. "Ambil kulkas, sofa, TV itu sepeda listrik juga, angkut aja. Lumayan."

"Jangan! Tolong, jangan ambil itu! Kami butuh itu buat hidup!" suara ibu Nadra nyaris menangis.

Tapi mereka tak peduli. Dengan cepat, kulkas ditarik keluar, sofa diseret meski membuat lantai keramik retak, dan televisi yang dibungkus kain pun dibawa serta. Sepeda listrik ibunya diangkat tanpa ampun.

Nadra mencoba merebut sepeda, "Itu milik Ibu! Jangan bawa itu!"

Namun salah satu dari mereka menggerakkan bahu dan mendorongnya keras ke belakang.

"NADRA!" jerit ibunya lagi, menahan tubuh anaknya yang hampir jatuh.

Mereka tak berkata apa-apa lagi. Setelah semua barang terkumpul, ketiganya keluar begitu saja. Tak ada permintaan maaf. Tak ada penjelasan tambahan. Hanya sisa aroma keringat dan amarah yang menggantung di udara.

Pintu rumah dibiarkan terbuka, menyisakan ruang kosong yang dulu menjadi tempat berkumpul, kini tinggal dinding dingin dan karpet tipis tanpa makna.

Nadra terduduk di lantai. Matanya memerah, dadaknya sesak. Tangannya masih gemetar saat menyentuh lantai tempat sepeda ibunya tadi berdiri.

Ibunya berdiri di sampingnya, wajahnya hampa. Matanya menatap ke arah pintu yang terbuka lebar, seolah tak percaya rumah mereka kini terasa asing.

...Bersambung......

...Hai, aku kembali membawa cerita baru. Mohon dukungannya, jangan lupa berikan bunga mawar, iklan, untuk menghiasi hari-hariku menulis....

Terpopuler

Comments

NurAzizah504

NurAzizah504

aku mampir, thor, bawa bunga. lanjut

2025-06-16

3

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

like plus subscribe plus iklan 👍🥰

2025-06-16

1

R 💤

R 💤

hadir Thor, sudah ku subscribe juga /Ok/

2025-06-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!