Meminta Jodoh Di Jabal Rahmah?
Bertemu Jodoh Di Kota Jakarta?
Ahtar Fauzan Atmajaya tidak menyangka jika ia akan jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya ia temui di dalam mimpinya saja.
“Saya tidak hanya sekedar memberi alasan, melainkan kenyataan. Hati saya merasa yakin jika Anda tak lain adalah jodoh saya.”
“Atas dasar apa hati Anda merasa yakin, Tuan? Sedangkan kita baru saja bertemu. Bahkan kita pun berbeda... jauh berbeda. Islam Agama Anda dan Kristen agama saya.”
Ahtar tersenyum, lalu...
“Biarkan takdir yang menjalankan perannya. Biarkan do'a yang berperang di langit. Dan jika nama saya bersanding dengan nama Anda di lauhul mahfudz-Nya, lantas kita bisa apa?”
Seketika perempuan itu tak menyangka dengan jawaban Ahtar. Tapi, kira-kira apa yang membuat Ahtar benar-benar merasa yakin? Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah mereka bisa bersatu?
#1Dokter
#1goodboy
#hijrah
#Religi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfianita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rindu
...*...
...Tempat terbaik untuk mengadu itu hanya kepada Allah. Dan sebaik-baiknya menengadahkan tangan untuk meminta sesuatu itu tetap kepada... Allah. ...
🌹🌹🌹🌹
"Hidup itu sudah pasti akan terus berjalan. Dan roda itupun akan terus berputar, kecuali waktu itu tiba... Kematian." Abi Yulian menatap sang istri begitu dalam. "Hubby ini semakin hari semakin tua. Entah di usia berapa kita tidak pernah tahu kapan kematian itu tiba. Dan sebagai orang tua kita harus bisa membuat Akhtar menjadi laki-laki yang lebih kuat. Neng tahu kan, maksud Hubby? Jangan terlalu memanjakannya."
"Neng tidak berniat memanjakannya, tapi dia juga butuh support dari kita, terutama sosok ibu yang pasti dirindukannya." Bunda Khadijah menghela napas berat, merasa dalam pilihan yang sulit.
"Kita bicarakan hal itu nanti malam bersama ketiganya. Hafizha juga harus bisa menentukan tujuan hidupnya setelah lulus dari asrama."
Deg.
Seketika kakinya terasa berat untuk melangkah. Ia menyadap percakapan itu, berharap menemukan alasan untuk pergi, namun dalam hatinya tetap ingin tahu obrolan apa lagi yang akan menjadi topik di ruangan itu sebelum makan siang berlangsung.
'Apa... itu keputusan yang tidak bisa diubah? Haruskah aku memikirkan apa tujuan hidupku? Berpisah dengan Abi, sanggupkah aku?' tanya Hafizha dalam hati.
Ia menyandarkan tubuhnya di dinding putih itu, sejenak ia menarik napas dalam—menetralisir hatinya yang mendadak terasa sakit, napasnya terasa berat dan sesak. Ia menatap langit-langit sambil mengerjap beberapa kali agar air matanya tak jatuh saat itu juga.
Hafizha menggeleng keras, "Nggak. Aku nggak boleh nangis, karena aku wanita kuat seperti kak Zuena. Aku akan mengikuti jejaknya." Hafizha menghela napas dalam, lalu mengambil langkah cepat dan kembali ke kamarnya.
🌹🌹🌹🌹
"Wow! Amazing. Ini... rumah Dokter Akhtar?" tanya suster Talia dengan mata terbelalak lebar.
Suster Talia menatap takjub rumah megah di depannya itu. Rasanya tak pernah menyangka jika dirinya akan masuk ke dalam dan menikmati sensasi rumah bak istana, begitu luas.
"Bukan, ini rumah orang tua saya." Akhtar merasa tak seharusnya terlalu membanggakan dan menyombongkan diri tentang apa yang tidak ia punya.
"Sama saja itu namanya, Dok." Suster Talia memutar bola matanya jengah.
"Tidak sama, suster Talia. Pemilik rumah ini memang atas nama Abi saya, tapi anaknya kan, ada empat. Saya tak memiliki hak berkuasa sendirian di sana. Dan... itu jelas beda," jelas Akhtar diakhiri senyuman. "Ayo masuk! Jangan terlalu lama berdiri di bawah sinar matahari, itu bisa membuat kita kekurangan cairan karena dehidrasi."
Suster Talia mengangkat tangannya menutup mulut. 'Suami idaman banget.' Pipi suster Talia seketika memerah, tapi ia segera menggelengkan kepalanya, menyadarkan pikirannya yang mulai runyam—tidak jelas.
Suster Talia mengekori Akhtar dari belakang yang langsung menuju ke ruang tengah. Karena tak ada yang menjawab salam setelah tadi ia membuka pintu.
Di ruang tengah Akhtar menemukan keberadaan Arjuna, kebetulan siang itu juga sengaja pulang untuk sekedar makan siang.
"Kok sepi sih, Bang, kemana?" sapanya setelah mengedarkan pandangan ke sekitar.
"Ada kok, Bunda di dapur sama Cahaya. Abi tadi ke kamar sebentar, dan Hafizha... ada di kamar mungkin."
"Oh..."
Akhtar mengambil duduk di depan Arjuna. Tak lupa juga ia meminta suster Talia untuk ikut duduk di sana.
"Ehm." Arjuna berdehem, ia merasa heran dengan Akhtar yang membawa perempuan asing ke rumah.
"Kenapa, Bang? Batuk? Butuh minum?" Akhtar mengernyitkan keningnya.
"Tidak. Abang merasa—"
"Jangan salah paham! Suster Talia hanya ingin bertemu sama Bunda karena gaun pengantinnya dibawa Bunda. So, aku akan panggil Bunda saja," papar Akhtar, lalu beranjak dari duduknya.
🌹🌹🌹🌹
Akhtar berdiri di sisi Bunda Khadijah yang sedang sibuk mengaduk sayur di atas kompor. Ditatapnya wajah Bundanya dengan lekat, nyaris tak terlewatkan. Akhtar selalu memidai setiap gerakan sang Bunda yang cekatan, meskipun memakai gamis panjang tapi tidak membuat Bunda Khadijah merasa terhalangi ataupun risih.
"Biar Akhtar bantu, Bun."
Akhtar mendekati Bunda Khadijah, lalu meminta Bunda Khadijah untuk minggir agar ia bisa mengangkat panci dari atas kompor. Namun...
"Aww!" rintihnya pelan.
Akhtar seketika menarik kedua tangannya dari panci itu. Karena lupa tidak memakai kain, jelas tangannya terasa panas. Bunda Khadijah yang melihat seketika menarik tangan Akhtar, lalu meniup telapak tangan Akhtar yang mulai memerah.
"Makanya kalau angkat panci panas itu pakai kain, jadi merah gini kan." Bunda Khadijah meniup kedua telapak tangan Akhtar.
"Bun," panggilnya lirih.
"Kenapa, Nak? Apa terasa sakit?" tanya Bunda Khadijah sambil terus meniup telapak tangan Akhtar.
"Bukan itu. Tapi lucu... Bunda pakai cadar. Jadi, tiupan Bunda tidak terasa," ujar Akhtar sambil menahan tawa.
"Oh, iya." Bunda Khadijah menepuk pelan kepalanya. "Maaf, Bunda refleks begitu saja. Karena Bunda khawatir tangan kamu akan melepuh."
"Jangan minta maaf!" Akhtar menggeleng pelan. "Akhtar yang seharusnya berterima kasih, karena Akhtar bisa kembali merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan Akhtar... sangat merindukan itu."
Air mata tidak mampu membohongi segala rasa yang tiba-tiba membuat dada Akhtar sesak, rasa rindu, sedih, dan bahagia seakan berbaur menjadi satu. Hingga air mata itu jatuh begitu saja, karena rasa rindu itu semakin kuat, meskipun tidak ada duanya ibu yang melahirkannya, tetapi Akhtar bisa merasakan kasih sayang tulus dari Bunda Khadijah, meskipun hanya ibu sambung.
"Don't cry, my son. Because your Mom in here," ucap Bunda Khadijah sambil mengusap air mata Akhtar yang membasahi pipinya.
'Ya Allah, jika Akhtar merindukan Aisyah begitu dalam. Lantas, keputusan apa yang harus aku ambil?' batin Bunda khadijah.
🌹🌹🌹🌹
Makan siang pun tengah berlangsung. Dan suster Talia juga ikut makan siang bersama keluarga itu. Setelah usai makan, Bunda khadijah mengajak suster Talia untuk ikut ke ruangannya. Sedangkan yang lain, mereka kembali me lanjutkan aktivitas mereka.
Akhtar sengaja ke kamar Hafizha lebih dulu, karena ia merasa jika sikap Hafizha sedikit berbeda siang itu. Namun, Akhtar tak tau pasti apa yang menjadi alasannya.
“Dek, bang Akhtar boleh masuk?” tanya Akhtar sambil mengetuk pintu pelan.
“Hm,” Hafizha hanya berdehem.
Akhtar membuka pintu secara pelan, lalu masuk dan mengambil duduk di bibir ranjang. Di perhatikannya Hafizha yang sedang menatap layar laptopnya tanpa berkedip.
“Serius amat. Sampai-sampai... Abang merasa diabaikan.” Akhtar sengaja mengucapkan sindiran, karena semenjak ia masuk Hafizha hanya diam saja.
“Bukan begitu, hanya saja Izha bingung mau milih kuliah di mana dan jurusan apa.”
“Memang minatnya kamu di bidang apa, Dek? Kedokteran seperti dua abangmu, atau mau jurusan yang lain. Bukankah Abi tidak akan memaksa?”
“Entahlah!” Hafizha mengedikkan bahunya. “Izha tidak yakin. Karena sebenarnya Izha mau kuliah di Jhon Jay dan mengambil jurusan... IT, Kriminologi dan juga Peradilan Pidana.”
Otak jenius Akhtar seketika mampu menangkap ke mana arah tujuan Hafizha.
“Itu terlalu beresiko untukmu, Dek. Jika ketiganya kamu jalankan, apa kau berniat untuk bekerja menjadi... detektif?” tebak Akhtar tapi masih tidak yakin dengan apa yang ada dibalik keinginan Hafizha.
Hafizha mengangguk antusias. “Iya. Jenius, bang Akhtar bisa langsung menebak tanpa bertanya terlalu panjang padaku.” Hafizha tersenyum sambil menjentikkan jarinya. “Tapi... kira-kira Abi dan Bunda setuju atau tidak ya, Bang?”
“Meskipun Abi atau pun Bunda setuju, tapi bang Akhtar tidak. Bang Akhtar akan menolaknya, karena itu terlalu beresiko. Kau itu... perempuan.”
“Tapi kak Zuena mengambil jurusan IT di Jhon Jay. Masa aku tak boleh mengikuti jejaknya. Bang Akhtar juga sama, mengambil jurusan IT sekaligus Dokter bedah di Korea.” Hafizha seketika mengerucutkan bibirnya.
Akhtar mengatupkan mulutnya, menahan tawa yang hampir pecah. Bukan ingin mentertawakan Hafizha dengan bibir sedikit monyong, tapi Akhtar tahu adu argument dengan Hafizha jelas akan kalah.
“Bagaimana? Nanti malam jadi balap?” tanya Akhtar mengalihkan topik pembicaraan.
Namun... gagal.
“Tidak jadi. Kalau mau balap balap sendiri saja sana,” ketus Hafizha tanpa menoleh.
“Kalau sendirian bukan balap namanya. Disangka bang Akhtar gila nanti, kurang kerjaan—”
“Ya sudah, tinggal saja di rumah. Nanti malam ada pertemuan juga kan, sama Abi. Kalau telat pasti kena jewer,” alibi Hafizha.
Dalam hati ia ingin ikut balapan, karena jarang ia melakukan hal gila bersama Akhtar. Namun, tujuan hidupnya setelah lulus dari asrama membuat nya harus berpikir lebih keras. Karena hal itu akan dipertanyakan malam ini juga.
Akhtar menghela napas panjang. Rasanya ia menyerah saja berdebat dengan Hafizha yang lagi marah. Karena itu akan percuma saja.
“Ok. Kalau begitu bang Akhtar akan tinggal di rumah saja.” Akhtar menutup pintu, tapi sebelum itu ia melirik ke arah Hafizha, berharap Hafizha akan mencegahnya untuk pergi.
Namun, kenyataannya tidak. Hafizha masoh saja memasang wajah cemberut, menghadap ke tembok dan itu membelakangi Akhtar. Dan mau tidak mau Akhtar pergi dari kamar itu.
🌹🌹🌹🌹
Waktu seakan berjalan begitu cepat. Siang sudah beranjak sore, Akhtar masih merebahkan tubuhnya di kasur. Setelah siang itu ia tidak kembali ke rumah sakit, karena masih dalam masa pemulihan. Dan rencananya ia akan kembali ke rumah sakit setelah mengobrol dengan Abinya.
Akulah sang Arjuna... Yang mencari cinta...
Handphone nya berdering, memaksa Akhtar untuk membuka mata. “Siapa ya? Ganggu banget,” dengusnya karena kesal.
“Halo!” sapanya dengan suara serak.
“Halo. Dokter Akhtar, Tuan Arman sudah sadar dan sekarang beliau ingin bertemu dengan Anda.” Terdengar suara dari seberang menjelaskan kondisi Tuan Arman.
“Oh iya, tunggu dua puluh menit lagi saya akan sampai di rumah sakit.” Seketika mata Akhtar terbuka lebar.
Obrolan terhenti. Akhtar menatap jam weker digitalnya yang ada di atas nakas.
“Astaghfirullah... Kenapa hampir terlewat shalat asharnya,” rutuk Akhtar karena kelalainnya.
Akhtar segera beranjak dari kasur dan langsung menyambar handuk yang digantung tidak jaih dari pintu kamar mandi.
Lima belas menit pun sudah membuat Akhtar puas berada di dalam ruangan persegi empat itu. Lalu, Akhtar menyambar asal baju koko dan sarungnya dari lemari.
Tidak lama kemudian sajadah ia bentangkan, takbir pun telah diucapkan. Hingga akhirnya bertemu dengan gerakan terakhir, salam.
“Ya Allah... hamba kembali mengadu dan meminta kepada Engkau. Tempat terbaik untuk mengadu itu hanya kepada-Mu, ya Allah. Dan sebaik-baiknya menengadahkan tangan untuk meminta sesuatu itu tetap kepada-Mu... ya Allah.”
Sejenak Akhtar memejamkan mata.
Bersambung...