Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu ranjang dua wanita
Malam ketiga, Azam selesai melakukan video call dari hotel tempat ia menginap.Azam bersiap untuk pulang malam itu juga setelah selesai acara. Rasa rindunya pada kedua istrinya membawanya ingin cepat sanpai rumah.
Azam baru saja keluar dari kamar dengan menggeret kopernya.Pria itu tak sengaja bertemu seorang rekan dosennya, Pak Fathur—teman lama sekaligus sahabat diskusi Azam di bidang pemikiran Islam—menghampirinya di lorong hotel.
“Zam, tunggu dong, udah mau pulang aja,"
Azam menoleh sambil tersenyum. “Iya Fath, kangen istri” sahut Azam dengan muka lempengnya.Fatur mendekat.
"Ada apa Fat..?"
"Ada yang mau kutanyain…,” ucap Pak Fathur sambil menepuk ringan bahu Azam.
Pak Fathur menatapnya serius, tapi dengan nada canda, “Ini serius, ya. Kamu beneran poligami? Maksudku… dua-duanya istri sah? Dan... mereka akur?”
Azam tersenyum samar, namun penuh makna. “Ya, bener, Fat. Masak bohong. Aku punya dua istri, Nayla dan Humairah. Dan ya, mereka tinggal terpisah tapi saling mengunjungi. Kadang belanja bareng,masak bareng, kadang saling bantu kalau ada yang sakit.”
Pak Fathur mendengus kagum. “MasyaAllah… ini bukan kisah fiksi, ya? Kalian kayak kisah para ulama zaman dulu. Tapi, serius, bagaimana kamu bisa adil, dan bagaimana kamu menyatukan dua hati wanita untuk saling menerima?”
Azam terdiam sejenak. Matanya menatap jauh, seolah mengenang jalan panjang dan pahit manis yang telah mereka lewati.
“Gak mudah, Fat. Banyak air mata, banyak luka hati yang kami sembuhkan secara bersama-sama. Aku gak pernah pakai dalil untuk membenarkan keputusanku, tapi aku belajar mencintai mereka dengan cara berbeda. Nayla dengan kesabaran dan kelapangan hatinya, Humairah dengan ketaatan dan kelembutannya. Mereka wanita luar biasa.”
Pak Fathur menepuk pundak Azam. “Zam… kamu harus tulis ini. Bukan untuk membanggakan, tapi biar orang paham, kalau poligami bukan cuma soal izin, tapi tentang kesiapan batin, adab, dan cinta yang adil.”
Azam tersenyum tipis. “Mungkin nanti, kalau waktunya sudah tepat.”
Pak Fathur sempat bertanya,lagi sebelum mereka masuk mobil mading masing, “Tapi… pasti ada konflik, kan?”
Azam mengangguk. “Banyak. Tapi kami belajar menyelesaikannya bukan dengan suara tinggi, tapi dengan doa dan pelukan. Itu yang paling ampuh. Karena saat cinta disandarkan pada Allah, ego akan dikalahkan oleh kasih sayang.”
Azam lalu menatap Pak Fatur dalam.
"Apa Pak Fatur mau nyusul...?" Fatur mendelik.
"Bisa disunat saya Zam...?" Azam terkekeh menatap teman sejawatnya itu.
Tepat waktu subuh. Fajar belum lagi menyingsing. Cahaya matahari masih malu-malu untuk menyelinap lewat celah jendela kamar tamu rumah Nayla. Di atas ranjang berukuran sedang itu, dua wanita tertidur lelap dalam satu selimut. Humairah memeluk lengan Nayla, wajahnya damai. Nayla tertidur dengan posisi miring, seperti melindungi Humairah dalam pelukan kakak pada adiknya.
Suara pelan pintu depan dibuka. Azam, yang baru saja kembali dari dinas luar kota, meletakkan kopernya di dekat ruang tamu. Ia tahu kedua istrinya ada di rumah utama—dan rasa rindunya membuncah hanya dengan membayangkan wajah mereka.
Azam berjalan ke kamar Nayla.Tapi kamar utama itu kosong melompong. Keningnya berkerut.
"Kok nggak ada?" batinya. Azam berjalan ke arah kamar tamu. Langkahnya pelan mendekati kamar tamu. Saat pintu yang tak tertutup rapat itu sedikit terbuka, ia terpaku.
Pandangan itu membuat dadanya sesak—bukan karena sedih, tapi karena haru. Kedua wanita yang ia cintai, yang ia takutkan tak bisa bersatu, kini tidur dalam damai, berdampingan, dalam satu pelukan penuh cinta dan pengertian.
Azam berdiri cukup lama di ambang pintu, menahan napas. Air mata bening jatuh perlahan dari sudut matanya. “Ya Allah…,” bisiknya lirih, “terima kasih… Engkau beri aku rahmat yang berlipat ganda, dan cinta yang tak aku minta, tapi Kau percayakan padaku untuk menjaga.”
Ia melangkah pelan, lalu duduk di kursi dekat ranjang. Tangannya meraih selimut, membetulkan agar tak ada yang kedinginan. Lalu dengan lembut, ia membelai kepala Nayla, lalu kepala Humairah.
Tak ingin membangunkan mereka, Azam menunduk dan mengecup kening keduanya satu per satu. Hati Azam penuh. Penuh syukur. Penuh cinta.
Sesaat kemudian, mata Nayla perlahan membuka. Ia terkejut melihat suaminya duduk di dekat ranjang. “Mas…?” bisiknya, masih setengah sadar.
Azam tersenyum, “Iya, Mas pulang…”
Humairah pun menggeliat kecil, lalu membuka mata. “Mas Azam?” suaranya lirih, matanya masih sayu.
Azam mengangguk. Ia membuka tangannya, dan tanpa banyak kata, kedua wanita itu bangkit dan memeluknya bersamaan. Dalam dekapan hangat itu, tak ada lagi rasa saling memiliki yang kaku. Yang tersisa hanya ketulusan: bahwa cinta, ketika dipilih dengan iman dan dijaga dengan sabar, akan menemukan bentuknya yang paling indah.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan