Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Dihadapan Melisa Dirgantara 1.
Seminggu setelah pernikahan, akhirnya tante Melisa mengetahui bahwa selama ini Dewa tidur di kamar yang berbeda denganku. Pagi itu, tanpa diduga, tante Melisa datang ke rumah. Tanpa menyapa, tanpa senyuman, dia langsung berjalan masuk dan menerobos ruang tamu, mengabaikanku yang sedang duduk menonton TV.
Melihat wajah tante Melisa yang tegang dan marah, aku refleks berdiri dan mengikuti langkahnya menaiki tangga. Aku baru sadar, bukan hanya aku yang mengikutinya dari belakang. Ada dua orang lagi: seorang wanita muda—yang sepertinya asisten rumah tangga—dan Mbak Yuni.
Tanpa sepatah kata pun, tante Melisa membuka pintu kamar utama. Sekilas dia mengamati isi kamar yang kosong, lalu matanya menajam.
“Di mana dia, Yun?” suaranya terdengar menahan amarah.
“Di sebelah sini, Nyonya,” jawab Mbak Yuni sambil menuntun kami menuju kamar tamu.
“Ada apa, Bu?” tanyaku akhirnya, memberanikan diri. Tentu saja aku memanggilnya “ibu”—bagaimanapun, dia adalah ibu mertuaku. Mungkin.
“Anak ini benar-benar membuat aku marah,” gumamnya. Ia langsung membuka pintu kamar tamu, dan di sana terlihat Dewa yang tertidur pulas mengenakan baju hitam. Wajahnya terlihat tampan sekaligus lelah. Entah kenapa, ada sebersit iba dalam hatiku saat melihatnya begitu.
Tante Melisa masuk dengan langkah cepat, lalu menarik selimut Dewa hingga pria itu terbangun. Dewa langsung duduk, wajahnya masih setengah sadar, menatap ibunya yang berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam.
“Ibu? Kapan sampai ke sini? Kenapa ibu tidak memberitahu terlebih dahulu?” tanya Dewa, mencoba berdiri dan merapikan tempat tidurnya. Tapi aku tahu, jauh di dalam dirinya, dia sadar sedang berada di ujung tanduk.
“Sejak kapan kamu tidur di sini?” tanya tante Melisa, dingin.
Gerakan tangan Dewa terhenti. Dia menunduk, mengusap tengkuknya, seolah sedang mencari jawaban yang tepat.
"JAWAB,DEWA!"
Suara tante Melisa menggema keras di ruangan. Aku terkejut. Dewa juga. Kulirik semua orang di ruangan itu—semuanya menundukkan kepala, tiba tiba aku pun ikut menunduk, jantung ku berdetak kencang, menunggu jawaban apa yang akan Dewa berikan.
“Maaf, Bu.”
Jawaban singkat itu meluncur pelan dari bibir Dewa. Tapi aku bisa merasakan betapa beratnya kata itu diucapkan. Tentu saja, itu bukan jawaban yang ingin tante Melisa dengar.
Dengan gerakan kesal, tante Melisa melempar tas tangannya ke atas kasur. Aku sempat melirik tas itu—barang mewah yang jelas bukan sembarang tas. Tapi untuk seorang Melisa Dirgantara, soal harga bukan masalah. Yang penting adalah citra. Validasi.
Dia menatap Dewa tajam.
“Kalian pikir pernikahan itu mainan? Hanya karena sudah sah di atas kertas, lalu kalian bebas mempermalukan keluarga ini?”
Dewa diam. Aku juga. Rasanya seperti ada batu besar menekan dadaku.
“Kalau memang tak ada cinta, minimal ada hormat. Tapi kalau keduanya pun tak ada… apa yang tersisa, Dewa?”
Hening, tak ada jawaban.Tante Melisa memutar badannya dan berjalan meninggalkan ruangan, menyisakan kami yang masih menunduk, pada saat itu aku tidak tau apa yang harus aku lakukan.
"Bawa tas ku kebawah" perintah tante Melisa kepada asistennya.
Dengan cepat wanita itu berjalan dan mengambil tas yang tergeletak di hadapan Dewa.
"Kalian berdua, aku ingin bicara" terdengar dingin, tapi bagiku itu terdengar seperti kekecewaan.
Dewa melihat ke arahku, tatapannya seperti ingin mengatakan bahwa kita berada dalam masalah kali ini, Dewa berjalan melewatiku, lalu aku menyusul di belakangnya. Kami mengikuti tante Melisa yang menuruni anak tangga dengan langkah cepat dan penuh dengan amarah. Tak ada yang berani bicara, bahkan langkah kami pun terdengar seperti bergema diantara ketegangan ini. Aku dan Dewa mengikutinya seperti anak kecil yang tertangkap basah melakukan kesalahan.
Di ruang tamu, tante Melisa duduk dengan anggun tapi tegas diatas sofa besar berwarna abu abu gelap. Kedua tangannya disilangkan didepan dada. Wajahnya dingin. Tidak ada senyum, tidak ada ampun.
Aku melihat Dewa yang tiba tiba duduk dilantai karpet,tepat dihadapannya. Melihat itu aku langsung ikut duduk disebelah Dewa, menunduk, mataku tertuju pada jemariku yang saling mengenggam. Tapi diantara kami berdua Dewa terlihat seolah hal ini bukankah pertama kali baginya. Mungkin beginilah cara Dewa dibesarkan, dengan disiplin dan juga hormat yang tinggi kepada orang tua. Bahkan dihadapan Melisa Dirgantara, Dewa tidak ada apa apanya.
"Apakah kalian sadar betapa memalukannya ini?" akhirnya suara tante Melisa terdengar, pelan tapi penuh tekanan.
"Seminggu, baru seminggu kalian menikah. Dan aku bahkan tidak mencium sedikitpun rasa hormat diantara kalian"
Aku menelan ludah, Dewa sedikitpun tidak bergerak.
"Apa kalian berpikir semua ini hanya formalitas? hanya acara besar,berfoto keluarga, lalu selesai?" Nada nya sudah mulai naik.
"Dewa, kamu pikir dengan tidur diruang tamu kamu sedang menghukun siapa? Dia?" tante Melisa menunjukku sejenak. "Atau kamu sedang menyelamatkan dirimu sendiri dari sesuatu yang entah apa itu? Katakan kepadaku Dewa, Apa yang ada dipikiranmu sehingga kau melakukan hal yang tidak bermartabat ini?"
Dewa hanya diam, masih menunduk tidak menjawab, entah itu dia tidak berani menjawab atau tidak memiliki jawaban. Tapi yang pasti dia tetap diam.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu