Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH TIGA
Deburan ombak yang ganas melahap tubuh Caca tanpa ampun, menggulungnya ke dalam pusaran air yang mencekam. Dengan nafas tercekat, Faza berlari sekuat tenaga, mencapai tangan Caca. Setiap detik begitu krusial, setiap tarikan napas terasa berat. Dengan segala kekuatan yang tersisa, Faza menarik tubuh Caca kembali ke daratan, menentang ganasnya ombak yang tak kenal belas kasihan.
"Apa kamu kehilangan akal sehatmu...?" tanya Faza, dengan suara yang tertahan dan mata yang menyorot tajam. Dengan cepat dia meraih tubuh Caca dan membawanya ke dalam pelukan.
Namun Caca, hatinya telah hancur menjadi ribuan keping, membiarkan air mata menetes tak terkendali membasahi kedua pipinya, tiap tetes menyimpan cerita duka yang lebih pahit dari asinnya air laut.
"Lepaskan...!" seru Caca, suaranya bergetar dengan emosi yang tak terbendung. Tenaga yang sebelumnya terpendam, kini memuncak dan mendorong tubuh Faza dengan kekuatan yang tak terduga. Rasa sakitnya terungkap dalam satu desakan.
Faza merasa remuk. Dalam bisikan yang sarat dengan penyesalan, dia menggumam,
"Maaf... jika perkataanku menyayat hatimu, seharusnya aku tak pernah mengucapkan hal semacam itu." Dia mencoba untuk mendekap kepala Caca, berharap bisa sedikit mengobati luka yang telah terlanjur merasuk dalah hatinya.
Tanpa meminta persetujuan Caca, Faza membopong menjauh dari bibir pantai, dan membawa Caca pulang. Faza tak ingin mengambil resiko, Faza tahu saat ini Caca tengah terguncang. Sepanjang perjalanan pulang Caca hanya diam. Tatapan matanya nanar menatap arah jalan.
Sesampainya di rumah, Faza menggiring Caca ke kamar mandi, lembut menghapus sisa-sisa air laut dari tubuhnya. Mengguyur tubuh Caca dengan air hangat. Selesai mandi, Faza membawa Caca ke kamar. Tubuh Caca kaku seperti patung,diam tanpa ekspresi.
"Apa yang ada dalam benakmu, Ca? Bagaimana bisa kau bertindak sembrono seperti ini?" Faza tak menyangka bahwa pikiran Caca begitu sempitnya, mungkin karena rasa bersalahnya pada Felin.
"Kamu kira dengan mengakhiri hidup, masalahmu akan terpecahkan? Tidak, Ca, dunia tak sesimpel itu." ujar Faza, berusaha menenangkan situasi. Caca menatap Faza dengan pandangan yang tajam, bibirnya membentuk senyum sinis yang mampu merobek jantung Faza.
"Apa Pak Faza kira, dari awal aku menginginkan ini semua...? Tidak! Jika tahu begini akhirnya, lebih baik aku mati kedinginan malam itu daripada menyakiti banyak orang. Ini sungguh membuatku hampir gila..." Suara Caca getir, dipenuhi penyesalan.
"Apa Pak Faza lupa? Jika Bapak, yang menawarkanku kenyamanan, Bapak yang menjebakku dalam situasi rumit ini. Bukankah aku telah memohonmu untuk menceraikanku sejak awal...? Dan sekarang, kau menuduhku merencanakan semua ini? Apa kamu tahu betapa sakitnya jadi aku?" Air mata Caca berderai, membasahi pipinya, seiring tumpahnya kesakitan yang selama ini terpendam dalam dadanya.
Mendengar perkataan Caca rasa bersalah merasuk ke dalam jiwanya. Faza lalu menarik tangan Caca membawanya duduk, dan memeluk Caca dengan perasaan campur aduk.
"Jangan katakan hal itu lagi, ini semua salahku, karena ketidak mampuanku menjaga perasaanmu, maaf..." kata kata itu meluncur getir di bibir Faza.
Caca terdiam dalam dekapan tangan Faza, meski punggungnya masih bergetar karena tangisnya, namun tangis itu perlahan reda. Sifat lemah lembut dan ketegasan Faza selalu saja berhasil mebuat hati Caca yang keras menjadi lunak.l
Caca menghela nafas panjang, matanya berkaca-kaca saat dia mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.
"Tidak, harusnya saya yang minta maaf, karena saya telah menghancurkan hati Pak Faza dan kak Felin bersamaan," bisiknya dengan suara yang serak, berusaha keras menahan sesak yang mendesak di dadanya.
Air mata kembali menetes di pipinya, dia menggigit bibir, berusaha keras untuk tetap kuat. "Andai waktu itu Pak Faza tak menolongku dan membiarkanku, mungkin tak akan jadi begini jadinya, lihatlah sekarang karena kebodohanku, dan keegoisanku, Kak Felin jadi..."
"Husss..." Suara Faza berbisik lembut, jemarinya yang halus menyentuh bibir Caca, menutupnya sebelum kata-kata lain sempat terucap.
"Berhenti menyalahkan takdir, Ca. Ingatlah, setiap manusia, bahkan yang paling beriman sekalipun, pasti akan diuji dalam kehidupannya." Matanya menatap dalam ke arah Caca, mencari pemahaman dalam kedalaman iris matanya yang berkaca-kaca.
"Dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 155, Allah berfirman bahwa Dia menguji kita dengan ketakutan, kelaparan, kehilangan harta, bahkan kehilangan orang yang kita cintai. Aku tahu ini sulit, tapi percayalah, ini semua adalah bagian dari skenario Ilahi." Suaranya bergetar, penuh dengan emosi yang terjalin dalam setiap kata, memohon pada Caca untuk menemukan kekuatan dalam kepasrahan.
Caca semakin terisak, menerima perlakuan Faza yang begitu sabarnya dan begitu tenangnya menghadapi sikap labilnya.
"Coba resapi dalam hatimu sifat qanaah, sehingga kamu dapat merasa puas dan bersyukur atas setiap takdir yang Allah gariskan. Orang yang berjiwa qanaah tidak akan mempersalahkan atau meragukan siapapun—terlebih lagi Allah—atas segala cobaan yang menerpa. Ingatlah, jangan sekali-kali kehilangan harapan atas Rahmat Allah. Kamu harus tahu, bahwa tidak ada yang mampu mendatangkan ujian maupun menghapusnya selain Allah. Seperti yang termaktub dalam surah al-An'am ayat 17. Mereka yang benar-benar beriman dan berqanaah memahami bahwa segala nikmat yang dirasakan adalah karunia dari Allah, dan ketika musibah atau ujian menjelang, hanya kepada-Nya lah tempat meminta pertolongan."
Caca tertunduk, merasakan setiap kata yang Faza lontarkan menggema di dalam benaknya. "Apa kamu tahu, Ca...? Orang yang imannya lemah, mereka akan mengeluh dan menyalahkan Allah, saat dihadapkan pada ujian. Itu adalah tanda keingkaran pada takdir yang telah Allah gariskan. Islam mengajarkan kita untuk tidak berlebihan dalam meratap ketika tertimpa musibah, karena itu mengarah pada ketidak relaan menerima takdir yang sudah tertulis. Memercayai qadha dan qadar-Nya adalah bagian esensial dari rukun Iman."
Dengan nada penuh kepasrahan, Faza melanjutkan, "Jadi, jika ada yang berprasangka buruk terhadap Allah atau bahkan menyalahkan-Nya, itu pertanda kelemahan iman, dan keadaan batin yang perlu diperbaiki. Demi Allah, Ca, aku telah ikhlas menerima takdir ini, dan aku ikhlas menjadi suamimu, tidak ada keraguan sedikit pun di hatiku. Aku telah ikhlas melepas Felin, dan ikhlas menjalani hidup dengamu"
Dalam diam, Caca mengolah kata-kata Faza dalam hatinya, merasakan beratnya makna di baliknya. Di antara keraguan dan keimanan, dia menimbang setiap kata Faza. Jantungnya berdegup kencang, menyentuh titik rawan dari ketakutan terdalamnya: "apakah aku juga, seperti mereka yang kurang iman?" batin Caca getir.
Faza mengelus lembut kepala Caca, mendekapnya lebih erat.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri soal Felin, Ca," ujar Faza dengan tenang, namun tegas.
"Yang terpenting kini adalah kita harus mengerti bahwa jika takdir tak menghendaki kami bersama, seabad pun lamanya saya mengejar Felin,tak akan membuahkan hasil. Jika Allah telah berkehendak. Namun, Allah menggariskan jalan yang lain, Dia mengirimkanmu padaku sebagai jodoh yang telah Dia persiapkan untukku. Bukankah itu cukup untuk membuktikan bahwa kamu adalah takdir yang terbaik untukku?"
Air mata Caca jatuh tanpa terkendali, membasahi pipinya yang pucat. Di tengah kekacauan emosi yang menghujam, fikirannya berkecamuk dengan segala kewarasannya.
"Dengarkan aku, Ca," lanjut Faza, memandang matanya yang berkaca-kaca. "Tetaplah di sisiku. Apa pun yang terjadi, apa pun ceritanya. Soal Felin, biar aku yang menyelesaikan, kita akan hadapi bersama begitu situasinya membaik. Sekarang, legakan hatimu, buang jauh-jauh rasa bersalahmu itu. Kamu harus tahu, rasa bersalah itu terkadang hadir bukan dari hati kita, tapi bisikan setan yang ingin meretakkan keutuhan jiwa. Aku di sini, denganmu. Kita kuat bersama."
Dengan lembut, Faza menyentuh kepala Caca, memberi ketenangan lewat sentuhannya yang hangat, berusaha menyapu rasa takut dan keraguan yang mungkin menghantui hatinya.
Di tengah pelukan hangat Faza yang mencoba memberikan kekuatan, hatinya justru terasa retak berkeping-keping.
Lampu kamar yang remang-remang seakan turut berduka, memperjelas bayangan kesedihannya di wajah yang pucat pasi.
"Ya Tuhan, rasanya aku tak pantas mendampingi suami sesoleh dia, dengan keadaanku yang banyak kekurangannya," gumamnya dalam hati, suara hatinya bergetar lemah tak terdengar oleh siapapun selain dirinya sendiri.
Air mata mulai menitik lembut dari sudut matanya yang sayu, menetes satu per satu, seirama dengan detak jantung yang semakin tidak karuan.
Caca menundukkan kepala, merasakan bobot dunia di pundaknya, sembari berusaha keras menyembunyikan rasa tidak layak yang menggelayuti jiwa. Faza, yang memeluknya erat, hanya bisa merasakan getaran halus dari tubuh istrinya, tidak menyadari badai yang sedang berkecamuk di dalam hati Caca.
"Sudah, tak perlu larut dalam kesedihan ini," ujar Faza dengan suara yang lembut namun pasti. "Mari, bersiaplah. Kita harus ke rumah sakit sekarang. Kamu adiknya, memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk berada di samping kakakmu, memberikan dukungan dan doa agar ia segera sembuh," bisiknya, suaranya dipenuhi dengan kebijaksanaan.
Caca hanya mengangguk, matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha untuk tetap kuat. Faza, dengan kelembutan yang telah lama menjadi ciri khasnya, dengan sabar membantu Caca memilih pakaian, seraya mengenakannya ke tubuh yang kini terasa begitu rapuh dan lemah oleh beratnya keadaan.
Dalam hati yang tersembunyi, Faza menahan rasa sakit yang tak kalah mendalam, tapi dia pilih untuk bersembunyi di balik topeng ketabahan, demi menjaga hati istri yang sudah terluka itu, agar tidak semakin terpuruk dalam rasa bersalah dan keputusasaan. Dalam hening yang mendesak, langkah mereka seirama menghadapi apa yang akan terjadi.
Sungguh, Faza adalah suami yang luar biasa. Meski diliputi kemarahan, dia mampu meredam gejolak emosinya, sebuah sifat mulia yang mungkin dipelajarinya dari perilaku Rasulullah ketika menghadapi amarah para istri.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah mengalami insiden dengan Aisyah RA, yang kerap dibayangi rasa cemburu terhadap Khadijah RA, istri pertama Rasulullah yang telah meninggal. Meski dalam kemarahan, Rasulullah menghadapi situasi dengan ketenangan dan kelembutan. "Pejamkan lah matamu," ujar beliau, mendekat dan memeluk Aisyah sambil berkata, "Ya Khumairaku, rasa marah telah hilang saat aku memelukmu." (HR Muslim)
Terinspirasi dari hadis tersebut, Faza bersikap lembut pada Caca, menenangkan badai di hati istrinya dengan keteguhan dan kasih sayang yang ia tunjukkan. Ini adalah sikap seorang pria yang menunjukkan kekuatannya dan kesabaran dalam meredan konflik rumah tangga
Sebenarnya Caca sungguh betuntung memiliki pria seperti Faza, dapat menjaga dan melindunginya dengan baik.