~Karya Original~
[Kolaborasi dari dua Author/BigMan and BaldMan]
[Update setiap hari]
Sebuah ramalan kuno mulai berbisik di antara mereka yang masih berani berharap. Ramalan yang menyebutkan bahwa di masa depan, akan lahir seorang pendekar dengan kekuatan yang tak pernah ada sebelumnya—seseorang yang mampu melampaui batas ketiga klan, menyatukan kekuatan mereka, dan mengakhiri kekuasaan Anzai Sang Tirani.
Anzai, yang tidak mengabaikan firasat buruk sekecil apa pun, mengerahkan pasukannya untuk memburu setiap anak berbakat, memastikan ramalan itu tak pernah menjadi kenyataan. Desa-desa terbakar, keluarga-keluarga hancur, dan darah terus mengalir di tanah yang telah lama ternodai oleh peperangan.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki terlahir dengan kemampuan yang unik. Ia tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran, tanpa mengetahui takdir besar yang menantinya. Namun, saat dunia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan, ia harus memilih: tetap bersembunyi/melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 32 - Abirama vs Kelompok Bayaran: Fakta Pahit yang Terkuak
Delapan orang mengepung Abirama dari segala arah. Formasi mereka ketat, jelas dilatih untuk bertarung dalam kelompok.
Masing-masing memegang senjata berbahaya—tombak panjang, belati melengkung, hingga rantai besi dengan ujung duri.
Namun Abirama hanya berdiri diam, satu tangan menggenggam pedang pendeknya yang berbilah hitam. Matanya menatap tajam ke arah Raito yang mundur perlahan.
"Bawa Tsumaki pergi dari sini!" Perintahnya, kepada Yori, salah seorang kepercayaannya.
Salah satu dari delapan menyerbu lebih dulu—seorang pria bertubuh kecil namun gesit, menyerang dari samping dengan belati beracun.
“Matilah!”
BRRAAAAK!
Serangan itu tak pernah menyentuh Abirama.
Dalam sekejap mata, Abirama mengayunkan sikunya ke arah leher lawan, mematahkan tulangnya dalam satu gerakan. Tubuh sang penyerang terpental dan menghantam pohon, tidak bergerak lagi.
Tiga lainnya langsung melompat bersamaan dari arah berbeda. Satu menyerang dari atas, satu dari belakang, dan satu lagi dari sisi kanan.
Namun, sebelum mereka sempat mendekat—
“Hmph…”
Suara napas Abirama terdengar pelan… dan dunia seolah melambat.
ZRAKK!
Ia berputar di tempat dengan kecepatan yang tak bisa ditangkap mata biasa. Pedangnya melesat tiga kali dalam satu gerakan. Setiap bilah musuh terpental, dan ketiga penyerang itu roboh bersamaan.
“A—Argh—!”
Seorang dari mereka mencoba mundur, tapi Abirama sudah ada di belakangnya. Ia mengangkat tangan kirinya dan meninju udara—namun udara itu sendiri bergetar. Pukulan itu tak mengenai tubuh lawan, tetapi tekanan dari hantaman tersebut menghancurkan organ dalamnya.
“Ghhk—!!”
Darah muncrat dari mulutnya sebelum tubuhnya ambruk.
Sisa pasukan Raito mulai goyah. Yang tersisa dari mereka bukan hanya takut… mereka ngeri.
Salah satunya, seorang wanita berpakaian hitam dengan dua senjata rantai, mencambukkan senjatanya dari dua arah. Udara berdesing karena kekuatan ayunannya. Jika terkena, bisa mematahkan tulang siapa pun.
Tapi Abirama dapat dengan mudah menghindarinya...
“Kalian datang… ketempat yang tidak seharusnya.”
Dalam sekejap, ia membenamkan pedangnya ke tanah dan membuka kedua tangannya.
Aura hitam samar mulai memancar dari tubuhnya, seolah tanah di sekitarnya ikut merespons.
Dari balik tubuhnya, samar terlihat siluet hitam seperti bayangan naga yang mengaum tanpa suara.
Seketika—
DUARR!!
Ledakan energi meledak dari pusat tubuh Abirama, menciptakan tekanan udara luar biasa hingga daun-daun berterbangan liar. Tanah terbelah, dan para penyerang yang tersisa terhempas ke belakang seperti boneka-boneka ringan.
“Ini kekuatan... garis utama darah Klan Spaide.” Gumam Raito, dengan ekspresi yang menunjukkan keterkejutannya.
Abirama mengangkat kembali pedangnya, kali ini aura hitam pekat menyelimuti bilahnya. Tatapannya tajam menembus semua yang hidup di sekelilingnya.
Mereka… tidak sedang menghadapi pendekar biasa.
Mereka sedang menghadapi sang warisan darah utama—keturunan pahlawan terakhir dari zaman lama.
Takashi, yang belum pernah melihat kekuatan itu sebelumnya, hanya berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena takut, tetapi karena rasa ngeri.
Namun Abirama tidak berbicara lagi.
Satu-satunya yang berbicara adalah angin, yang membawa bau darah dan ketegangan mendalam di antara pepohonan.
Tinggal tiga dari delapan anggota Raito… dan mereka saling pandang. Tidak ada yang berani maju duluan.
Lalu, Abirama melangkah.
Setiap langkahnya menciptakan tekanan. Daun-daun berjatuhan, burung-burung di atas beterbangan panik—seolah alam pun tahu, pertarungan ini bukan milik manusia biasa.
Dan bayangan naga di belakang Abirama… perlahan membuka mulutnya—bersiap menerkam.
Miura.
Salah satu anggota yang tersisa—pengguna cambuk rantai, mencoba melemparkan jarum beracun, tapi—
CLING!
Abirama menangkapnya di udara dengan dua jari.
"Senjata Acellian? Kau mencuri teknik yang bukan milikmu."
Abirama melempar balik jarum itu dengan kekuatan kecil… namun tajam dan mematikan. Jarum itu menusuk tepat ke tenggorokan Miura. Jarum itu memegangi lehernya, berlutut, dan tumbang.
"Menarik..."
Raito melangkah pelan dari balik reruntuhan pohon yang tumbang. Wajahnya masih tenang, tapi sorot matanya mulai tajam, menilai setiap inci tubuh Abirama yang kini dikelilingi aura hitam pekat.
"Aku kira hanya pendekar kuat biasa… ternyata ada yang lebih dalam," Ia memutar pedang kembarnya dengan satu tangan, lalu berhenti sekitar lima meter di depan Abirama.
Abirama tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pria asing itu—wajahnya asing, sikapnya arogan. Jelas bukan sekadar bandit.
“Auramu bukan dari klan manapun yang kukenal.”
Suara Abirama berat, tenang seperti batu karang. “Apa tujuanmu ke sini?”
“Heh,” Raito terkekeh ringan. “Namaku Raito. Utusan dari Kaisar Anzai, penguasa baru tanah ini.” Ia menunduk sebentar, seolah memberi hormat, tapi dari gaya tubuhnya, jelas hanya ejekan.
“Kami menyapu bersih banyak wilayah, merampok dan membunuh setiap anak yang memiliki bakat tak biasa… Tapi aku harus akui, aku tak mengira akan bertemu seseorang sepertimu di tempat sunyi begini.
Terlebih lagi… seseorang dengan darah utama Klan Spaide.”
Abirama menegang. Matanya menyipit.
“Kau mengetahui tentang Klan Spaide?”
Raito tertawa pelan. “Oh, aku tidak hanya mengetahuinya… aku menyaksikan kejatuhannya.”
Ia mulai berjalan pelan ke samping, mengitari Abirama seperti serigala lapar.
“Tidak ada perlawanan, tidak ada pertempuran epik seperti dongeng tua. Hanya perwakilan lemah yang datang ke hadapan Kaisar kami… dan berlutut.”
“Omong kosong.”
Raito mendekat satu langkah. Senyumnya melebar.
“Tidak. Aku menyaksikan mereka menyerahkan lambang klan mereka… di hadapan ribuan pasukan. Mereka bahkan tidak mengangkat senjata. Klan Spaide... memilih hidup sebagai budak, daripada mati sebagai pendekar.”
“…Kau berbohong.”
“Benarkah?” Raito mencondongkan badan sedikit, seolah berbicara langsung ke jiwa Abirama.
“Kalau kau memang bagian dari mereka… katakan padaku, di mana rekan-rekanmu sekarang? Mengapa kau sendiri di tempat ini? Atau jangan-jangan, kau juga telah ditinggalkan... seperti harga diri mereka yang hancur.”
Suasana menjadi hening.
Namun bukan keheningan biasa—melainkan keheningan yang datang sesaat sebelum badai.
"Jangan berbicara seolah kau tahu semuanya!"
WUUUUUSHH!!!
Ledakan aura hitam tiba-tiba meledak dari tubuh Abirama, menciptakan lingkaran tekanan udara yang menumbangkan dedaunan, mengangkat kerikil dari tanah, dan menggetarkan pepohonan.
Raito terdorong ke belakang beberapa langkah. Tatapannya berubah lebih serius.
"Takashi pergilah!" Teriak Raito.
"Tapi—"
"Pergi! Ini perintah!" Tegur Raito.
Takashi mengangguk, ia perlahan mundur dan menghilang.
Di sisi lain, mata Abirama menatap Raito dengan tatapan yang tajam—penuh rasa amarah namun terkendali.
“Aku tak peduli siapa kau…”
Suara Abirama bergema, namun rendah, seperti bisikan maut.
“Kalau benar mereka menyerah… maka aku akan menanggung aib itu. Tapi jika kau menertawakan darahku, klanku… maka aku akan menebus kehormatan yang hilang…”
Ia mengangkat pedangnya tinggi. Aura naga di belakangnya kini tumbuh makin besar—matanya menyala, dan cakar bayangannya menggores tanah.
“…Dengan membunuhmu di tempat ini.”
Raito mengangkat pedangnya, aura ungu pekat mulai membungkus tubuhnya. “Bagus. Setidaknya kau masih punya taring.”
Dan dalam sekejap—
ZRAAAKK!!
Tubuh mereka berdua melesat, bertabrakan di tengah dengan kekuatan di luar nalar.
Dentuman, kilatan, dan bayangan bertabrakan di antara pepohonan.
Pertarungan baru dimulai—bukan sekadar duel, tapi tentang ketahanan, kekuatan, tentang saling menguji, menentukan siapa yang pantas bertahan… dan siapa yang akan menjadi abu.
ʂҽɾυ ɳιԋ
ʂҽɱσɠα ʂҽɱαƙιɳ ʂҽɾυ
ʂҽԋαƚ ʂҽʅαʅυ
ʂҽɱαɳɠαƚ Ⴆҽɾƙαɾყα
Ⴆαɾυ Ⴆαƈα ρɾσʅσɠ ʂαʝα υԃαԋ ʂҽɾυ ɳιԋ..
ʂҽɱαɳɠαƚ Ⴆҽɾƙαɾყα ƚԋσɾ ʂҽԋαƚ ʂҽʅαʅυ Ⴆιαɾ Ⴆιʂα υρ ƚιαρ ԋαɾι
jangan kayak novel lain
di gantung tanpa kepastian