Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan Keadilan Untuk Lembah Utara
Fajar baru saja mengangkat tirai kabut tipis di atas tanah lembah.
Udara masih menggigit,
tapi suara kerumunan mulai memenuhi lapangan kecil di depan balai cadangan.
Tiga papan pengumuman raksasa dipasang sepanjang gerbang:
surat perjanjian yang memuat rencana pengkhianatan,
tanda tangan komplotan lokal,
dan—yang paling menggemparkan—
copian surat dari negeri Hui Hui,
dengan stempel merah darah dan kaligrafi asing.
Semua terpajang.
Semua bisa dibaca rakyat.
Di depan papan itu,
sembilan orang berlutut,
tangan mereka diikat ke belakang.
Mulut mereka dibekap kain kasar.
Di antaranya—
ada wajah-wajah yang dikenal:
ketua pasar, bekas kepala juru ukur, pejabat pajak lokal.
"Mereka yang kalian percaya,"
suara Lian He bergema tegas di atas panggung kayu kecil,
"...ternyata ingin menjual tanah ini ke negeri asing,
untuk emas dan kedudukan."
Desah panjang melewati kerumunan.
Wajah-wajah buruh yang kemarin tertawa kini memucat marah.
Beberapa perempuan mulai menangis.
Lelaki tua mengatupkan tinju mereka.
Lian He kembali berbicara.
"Semalam, pengkhianatan dibongkar."
"Utusan asing dari negeri Hui Hui juga telah ditangkap.
Ia membawa surat asli kesepakatan untuk menjual tanah ini."
"Semua bukti kini ada di tangan Pangeran Keempat."
Lalu dari sisi panggung,
Tuan Kepala Desa Zhang muncul.
Langkahnya tertatih,
tapi kepalanya tegak.
Tubuhnya dibungkus jubah sederhana yang diberikan Pangeran Keempat.
Dengan suara sedikit bergetar, ia berbicara:
"Aku... bersaksi bahwa mereka mencoba membeliku.
Memberiku emas untuk membujuk rakyat.
Menjanjikan kekuasaan di bawah negeri Hui Hui."
"Kalau bukan karena Pangeran Keempat dan para penjaga bayangannya..."
"...mungkin aku sudah mati malam itu."
Mata banyak orang memerah.
Utusan Hui Hui pun diseret keluar.
Kepalanya menunduk, mulut dibungkam.
Ia hanya bisa gemetar
saat rakyat melempari tanah ke arahnya.
Salah satu buruh tua meludah ke tanah.
"Mau jual kami seperti sapi?!"
"Tidak akan pernah!"
Saat itu juga—
kerumunan meledak.
Teriakan marah membelah udara:
"Pengkhianat!"
"Penjual negeri!"
"Bunuh saja dia di sini!"
Sebuah batu dilempar dari barisan depan.
Mengenai bahu si utusan, membuatnya tersungkur.
Lalu lemparan lain mengikuti:
ketela busuk, gumpalan tanah, kerikil tajam.
Beberapa lelaki muda maju ke depan.
Mereka menyeret balok kayu,
siap memukul utusan itu hingga remuk.
Seorang perempuan tua, matanya bengkak karena air mata,
mengangkat sendok kayu berat—
ingin menghabisi pengkhianat yang hampir menjual cucu-cucunya menjadi budak.
SRET!
Tiba-tiba, dua penjaga bayangan Jing Rui muncul dari sisi panggung.
Dalam gerakan cepat dan tegas,
mereka membentuk barikade manusia.
Salah satu penjaga mengangkat tangan dan berteriak:
"Berhenti!"
"Hidup pengkhianat ini...
adalah bukti untuk keadilan kita!"
"Kalau dia mati di sini—
siapa yang akan bersaksi di pengadilan pusat?"
Kerumunan terdiam.
Napas berat, dada bergemuruh.
Tangan-tangan yang mengepal mulai melemah.
Kayu dilempar ke tanah.
Batu-batu jatuh dari genggaman.
Lian He maju ke tepi panggung.
Suara tegasnya membelah keheningan:
"Jangan cemari kemurnian perjuangan kalian
dengan darah yang sia-sia."
"Biarkan hukum kerajaan yang berbicara."
"Biarkan dunia melihat...
bahwa rakyat Lembah Utara adalah rakyat yang bermartabat!"
Seruan perlahan menguat.
Satu, dua,
lalu seluruh kerumunan berseru serentak:
"Hidup keadilan!"
"Hidup tanah kami!"
"Hidup Pangeran Keempat!"
Utusan Hui Hui dan kesembilan komplotan hanya bisa meringkuk ketakutan di tanah—
diselamatkan oleh hukum yang adil, bukan belas kasihan.
Ia tahu…
Hidupnya hari ini—
bukan lagi miliknya.
Dari balkon kecil,
Jing Rui menghela napas panjang.
Bukan karena ketakutan.
Bukan karena ancaman.
Tapi karena melihat—
di tengah kemiskinan dan keputusasaan…
rakyat ini masih memilih kehormatan.
Dan itu…
adalah pondasi kerajaan yang sebenarnya
Lian He membacakan titah:
"Tanah ini tetap milik Kekaisaran Rong."
"Pengkhianat akan dibawa ke ibukota untuk diadili oleh Kaisar sendiri."
"Dan semua yang menolak menyerah—
semua yang tetap setia—
akan dihormati sebagai pelindung tanah ini."
Teriakan "Hidup Pangeran Keempat!"
dan "Hidup Kekaisaran Rong!"
kembali bergema berkali-kali sampai memantul ke perbukitan.
Saat emosi rakyat mulai tenang,
dan utusan Hui Hui bersama para pengkhianat sudah diamankan,
Lian He naik kembali ke panggung kayu.
Di belakangnya, para penjaga membentuk barisan rapi,
seragam mereka berkilat di bawah sinar pagi.
Suara Lian He lantang, penuh wibawa:
"Atas nama Pangeran Keempat Jing Rui,
hari ini dinyatakan sebagai Hari Kemenangan Rakyat Lembah Utara."
Sorak-sorai meledak di seluruh lapangan.
Beberapa orang berpelukan,
beberapa menjatuhkan diri berlutut syukur.
Lian He melanjutkan:
"Sebagai bentuk penghargaan,
semua pekerja dan rakyat bebas beristirahat hari ini."
"Upah penuh akan tetap dibayarkan."
"Gunakanlah hari ini untuk mengenang—
bukan dendam,
tetapi kebenaran yang telah ditegakkan."
Jing Rui, yang berdiri di atas balkon sederhana, akhirnya ikut berbicara:
Suara rendahnya menggema hingga ke seluruh alun-alun:
"Bebaskan pikiran kalian hari ini."
"Bebaskan hati kalian dari ketakutan."
"Besok... aku dan para saksi akan berangkat ke Ibukota untuk menghadiri pengadilan kekaisaran."
"Aku berjanji—
setelah kebenaran ditegakkan di pusat,
kami akan kembali."
"Dan kita... akan melanjutkan pembangunan ini bersama-sama."
Rakyat yang dipenuhi emosi dan rasa kagum kembali menyorakkan nama Jing Rui. Tanpa tahu pangeran pertama pun sebenarnya menempatkan mata mata. Mungkin baru akan melapor saat sampai di ibukota atas apa saja yang telah terjadi di sana.
Setelah pertunjukkan kejahatan berakhir,
dan rakyat mulai membubarkan diri dalam suasana haru,
Lian He berbalik ke arah Pangeran Keempat.
Ia menyerahkan sebuah gulungan tipis.
"Ini laporan dari tim bayangan, Yang Mulia," bisik Lian He.
"Selama ini... mereka diam-diam mengawasi."
Jing Rui membuka gulungan itu perlahan.
Di dalamnya—
tercatat nama-nama pekerja dan warga,
yang dalam masa sulit ini tetap jujur, bekerja keras,
dan tidak sekali pun tergoda bujukan komplotan.
Beberapa nama yang muncul adalah:
Zhao De, tukang batu dari desa kecil utara.
Li Yun, juru masak dapur umum yang membagikan makanan tanpa pilih kasih.
Guo Lan, buruh angkut yang menolak sogokan untuk mencuri bahan bangunan.
Jing Rui mengangguk pelan.
"Merekalah akar kekuatan negeri ini," gumamnya.
Tanpa ragu, ia menunjuk mereka menjadi mandor sementara:
"Selama aku pergi ke Ibukota,
pembangunan tidak boleh berhenti."
"Serahkan tongkat estafet ini pada mereka—
karena dalam kejujuran, kerja keras, dan keberanian...
tak ada darah biru ataupun rakyat kecil."
Sebelum malam benar-benar larut,
di balai kediaman cadangan,
Jing Rui memanggil tiga orang terpilih—
Zhao De, Li Yun, dan Guo Lan—
masing-masing ditemani beberapa pekerja setia mereka.
Di hadapan orang orang yang dipanggil,
Lian He membacakan titah Pangeran:
"Selama ketidakhadiran Pangeran Keempat,
pembangunan tetap berjalan."
"Tiga saudara ini akan bertugas sebagai mandor utama,
dengan pengawasan ketat dari mandor-mandor senior dari Ibukota yang telah ditinggalkan untuk membimbing."
Ya, Jing Rui tidak meninggalkan mereka sendirian.
Dua mandor resmi bawaan dari Ibukota—
Mandor Han (ahli logistik)
Mandor Pei (ahli teknik bangunan)
tetap tinggal di lembah.
Tugas mereka:
Mengajari para mandor lokal cara mengelola proyek.
Mencatat pengeluaran dan stok bahan bangunan.
Melaporkan setiap penyimpangan sekecil apa pun ke kantor administrasi darurat di kediaman cadangan.
Terblokir oleh mata mata pangeran ke empat.
Pertemuan akan meredakan rindu di antara dua pemilik hati
Mungkin para pemangsa berkedok wakil rakyat,pejabat korup,pemangku kebijakan yg pilih pilih..
Mereka akan berfikir ulang untuk berbuat semaunya
mungkin....
Biar tambah semangat
🙂🙂🙂🙂🙂
sukses selalu untuk karyamu
🤫🤫🤫🤫🤫🤫🤫🤫
Jadi inget seseorang...
Mirip sosok gubernur yg lagi viral
walau beda kondisi
🤭🤭🤭🤭🤭🤭
Manusia idealis sepwrti kepala desa..
Pada akhirnya akan di singkirkan tanpa perlindungan.
Benar benar gambaran sempurna negwriku tercinta
ish
ish...
Kaisar mau kasih adek buat pangwran ke 4...
🤭🤭🤭🤭🤭
Yang hingga kini masih terjadi.
Mengorbankan si lemah yg tak mampu berbuat apa,bahkan atas nama nyawa
semangat ya cerita nya bagus kok ❤️❤️❤️
Masih trauma dengan kesalahan diri
Sudah pencet bintang 5 untuk seorang author
Begitu muncul hanya 3.
Dan akhirnya kena block.
Berasa berdosa sama sang author
Vote terimakasih untukmu
Sekalipun cara yg di tempuh salah.