Sebuah novel romansa fantasi, tentang seorang gadis dari golongan rakyat biasa yang memiliki kemampuan suci, setelahnya menjadi seorang Saintes dan menjadi Ratu Kekaisaran.
Novel itu sangat terkenal karena sifat licik dan tangguhnya sang protagonis menghadapi lawan-lawannya. Namun, siapa sangka, Alice, seorang aktris papan atas di dunia modern, meninggal dunia setelah kecelakaan yang menimpanya.
Dan kini Alice hidup kembali dalam dunia novel. Dia bernama Alice di sana dan menjadi sandera sebagai tawanan perang. Dia adalah pemeran sampingan yang akan dibunuh oleh sang protagonis.
Gila saja, ceritanya sudah ditentukan, dan kini Alice harus menentang takdirnya. Daripada jadi selir raja dan berakhir mati mengenaskan, lebih baik dia menggoda sang duke yang lebih kejam dari singa gurun itu. Akankah nasibnya berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Berpisah
Pada akhirnya Alice dan rombongannya pulang ke kediaman Corvin, siapa sangka di kediaman Corvin, Alexa tampak begitu serius menatap bagaimana kepulangan putrinya.
"Dia tidak berbuat ulah, bukan?" tanya Alexa khawatir, anak semata wayangnya itu memang sering kali membuatnya waswas saat ditinggalkan tanpa pengawasan.
"Anda jangan terlalu cemas, Duchess, Lady Zisilus amat pandai dalam bergaul. Beliau sangat luar biasa berpengaruh," ucap Alice memuji gadis yang tampak sudah biasa itu.
"Duchess Corvin, saya rasa saat sampai di sana saya ingin muntah. Bayangkan saja, bagaimana bisa pernikahan senorak itu dikatakan pernikahan mewah?" gerutu Elicia karena aroma tidak enak dari pesta itu menempel di pakaiannya.
"Setidaknya, kamu sudah memberikan peringatan, Elicia. Besok kita akan pulang, dan saya harap Duchess dan Duke Corvin bekerja sama dalam urusan batu sihir, dan untuk Pangeran Argares, biar saya yang menjaganya," ucap Duchess Zisilus, Alice tersenyum.
"Tentu saja, Duchess, dan sepertinya Lady Zisilus amat tertarik dengan bijih besi yang ada di kediaman ini, ya?" Alice menatap Elicia yang masih bergidik-gidik akibat aroma menyengat dari tubuhnya.
"Iya, itu kualitas super. Bila boleh, saya ingin membawanya," ucap Elicia, Duke Corvin terkekeh dengan percakapan para wanita itu.
"Saya akan menyiapkannya, Lady. Berapa banyak yang Anda inginkan?" tanya Lucian, Elicia tampak berbinar mendengarnya.
"Benarkah, Tuan Duke? Baiklah, saya akan meminta sangat banyak bila begitu." Elicia tanpa tahu malu dan langkah besar sambil bersiul-siul masuk ke dalam kediaman Corvin.
"Saya rasa panglima perang yang Anda ceritakan itu juga akan bergabung bersama kalian, mungkin mereka akan pergi ke wilayah Corvin. Besok sebelum fajar mereka akan datang ke sini untuk mengukuhkan persatuan kita," Alexa menerangkan, Alice terdiam sejenak.
"Terima kasih, Duchess, Anda sungguh mengagumkan," puji Alice, Alexa hanya tersenyum dan mengikuti langkah putrinya masuk ke dalam kediaman itu.
"Haa, nampaknya semua orang senang. Tapi aku kali ini merasa begitu berat, istriku." Lucian memeluk Alice dari belakang, Alice tertegun dan mengusap tangan suaminya.
"Apa Anda membuat sesuatu, hem?" bisik Alice. Selama ada tamu, memang Alice dan Lucian memilih mengurangi jadwal malam mereka.
"Malam ini saja," bisik Lucian. Alice terkekeh dan tercekat kaget saat tubuhnya melayang dalam dekapan suaminya.
"Ayo, istriku. Aku akan pelan-pelan," godanya. Alice hanya tertawa mendengar godaan suami tampannya itu.
---
(lanjutan)
Alice terbangun dengan ribut super berantakan. Di sampingnya, Lucian tampak masih terlelap tanpa sehelai benang pun. Tubuh Lucian yang seperti lukisan itu membuat dada Alice kembali bergemuruh.
'Astaga, sejak kapan otakku jadi sekotor ini,' gumam Alice turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi.
Ayam belum berkokok pagi itu, namun Alice sudah memilih untuk turun dari kamarnya bersama Lucian. Wajah keduanya tampak lelah dan kantong mata terlihat jelas di bawah mata mereka.
"Apa kalian tidak tidur?" tegur Alexa terkekeh sendiri. Alice hanya menunduk malu dengan wajah merona merah.
"Wah, sepertinya tebakan saya benar," Alexa kembali terkekeh dan sebuah rombongan kuda datang dari belakang kediaman Corvin.
Satu orang turun di bagian paling depan, wajahnya yang tampak ditutupi oleh jubah dan tubuhnya yang terlihat kuat itu tampak melangkah.
"Latihan pedang di pagi hari nampaknya seru juga, ya?" sambutan itu akhirnya keluar dari bibir Alexa.
"Saya tidak berani, Duchess," ucapnya menunduk dengan begitu hormat layaknya kesatria yang akan mengambil sumpah.
"Bangun, kalian semua turun!" perintah Alexa. Semua bawahan panglima perang akhirnya turun satu per satu dari kuda mereka.
"Saya akan menjalin kerja sama dengan Duchess Corvin. Kalian sebaiknya jangan tinggal lagi di wilayah terbuang dan ikutlah dengan mereka ke wilayah Corvin. Aku akan pastikan keselamatan kalian atas namaku sendiri," ucap Alexa tegas, namun tetap terdengar wibawanya.
"Baik, Duchess," jawab panglima perang menunduk patuh.
"Paman?" Argares berlari saat sampai di halaman belakang. Dia langsung menerjang tubuh sang panglima perang dan memeluknya erat.
"Sudah, Pangeran. Sekarang Anda tidak perlu takut lagi. Ambillah hak Anda saat Anda kembali," ucap panglima perang mengusap punggung remaja itu penuh sayang.
"Saya pasti akan kembali, Paman," ucap Argares dengan tegas dan penuh rasa percaya diri.
"Saya akan menantikannya, Pangeran," mereka akhirnya berpamitan. Dua rombongan besar kini meninggalkan Ibu Kota Kerajaan Vincent.
Satu rombongan menuju ke wilayah Corvin dan satu lagi menuju ke wilayah Kekaisaran Harferd. Melihat iring-iringan itu, bagaikan api disiram minyak.
Api yang malam tadi sengaja dinyalakan Elicia kini menyala hebat akibat Alexa yang menampakkan diri di pagi hari di jalanan Ibu Kota Kerajaan.
Keakraban yang ditunjukkan Duchess Zisilus dan Duchess Corvin seperti sosok sahabat lama yang bertemu kembali. Keduanya saling berpamitan dan akhirnya pergi pada jalan mereka masing-masing.
Surat kabar pagi itu mengabarkan mengenai kehadiran suksesor Duchess Zisilus, yaitu Lady Elicia Zisilus, pada pesta pernikahan Raja.
Setiap ucapan yang dilontarkan oleh Elicia menjadi sorotan surat kabar pagi itu. Bukan hanya itu, sikap dewasa dan sudut pandang Elicia juga mencerminkan contoh bangsawan kelas atas yang sesungguhnya.
Empat hari kemudian:
Sebuah kastel Corvin tampak masih sama seperti saat ditinggalkan, namun ada sedikit perbedaan dari masyarakatnya yang menyambut kedatangan pemimpin mereka.
"Hidup Corvin!" teriak para warga. Mereka membawa kelopak bunga dan bersorak bahagia.
Alice yang tak ingin kehilangan momen itu membuka jendela kereta kudanya dan melambai pada rakyatnya. Senyum terukir di bibirnya membuat para warga juga ikut bahagia.
"Tuan, benarkah ini wilayah Corvin?" bisik salah satu bawahan panglima perang, hampir tak percaya dengan kondisi di wilayah Corvin.
"Berdasarkan letaknya, memang di sinilah wilayah Corvin. Namun, melihat kondisinya, ini sangat jauh dari wilayah Corvin yang aku kenal," ucap sang panglima perang ikut menggerutu.
Wilayah Corvin setiap harinya pasti ditutupi salju tebal, dan turun salju hampir setiap malam. Selain itu, wilayah Corvin juga tidak sebesar sekarang.
Kini rakyat di wilayah Corvin tampak berkecukupan, pertanian dan perdagangannya bahkan bisa mengalahkan ibu kota Kerajaan Vincent.
Taman besar, tempat bermain, dan bahkan sekolah dibangun dengan begitu strategis. Tata letak kota yang begitu sempurna dan pembangunan yang tampak begitu menawan, seolah memang sudah dirancang dengan sangat matang begitu memanjakan mata.
"Berganti!" perintah Lucian pada kusir kuda yang mengendarai kereta kudanya. Kereta kuda itu sontak berhenti.
"Ayo turun, istriku," bisik Lucian mengulurkan tangannya saat mereka sampai di alun-alun kota.
Alice terkekeh dan menggapai tangan Lucian. Mereka keluar yang disambut oleh warga mereka. Lucian menatap para warganya yang seketika berubah sunyi.
"Saya di sini ingin memperkenalkan pada kalian semua, mereka adalah warga Corvin sama seperti kalian. Mereka juga akan tinggal bersama kalian. Semoga kalian dapat bersama dan merangkul satu sama lain. Selain itu, saya juga ingin menyampaikan sebuah pengumuman penting." Lucian tampak tersenyum mengusap perut istrinya dan menatap kembali ke depan, di mana rakyatnya tampak siap mendengarkan.
"Saat ini, istri saya tengah mengandung."
Duar!
Duar!
Suara meriah terdengar setelahnya. Kelopak bunga menghiasi jalanan. Semua orang bahagia mendengarnya dan mereka amat berterima kasih pada Alice.