Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Sejak kepulangan raisa,sikap iwan menjadi berubah. Tidak ada kehangatan lagi .
Raisa yang memang sedang mengandung,ia menjadi sangat sensitif.
"Mas...kenapa akhir-akhir ini kamu berubah? " tanya raisa,terlihat nada kesal di sana. Iwan menoleh,menatap dingin ke arah raisa.
"Aku sedang mengandung loh mas! Ini anak mu." sambung nya,dengan tangan yang menunjuk ke arah perut nya.
Iwan terdiam,ia ingin menanyakan sesuatu yang memang sudah menganjal di hati nya . Tapi ,ia takut jika sang istri menjadi tersinggung,dan marah padanya.
Perkataan sang ibu ,pada minggu kemarin benar-benar terngiang di kepalanya. Dan itu jelas sangat menganggu.
"Kenapa kamu diam saja mas?! " bentak raisa ,ia sudah tidak tahan dengan berubah nya sikap iwan.
"Sayang...jangan teriak-teriak,kasihan nanti anak mu di dalam perut." jawab iwan pelan.
Raia mengerutkan dahi nya,ia menatap suaminya dengan heran."Apa maksud mu anak ku? Bukannya ini anak kita?" kesal nya pada iwan.
Iwan kembali diam,kini ia menundukan kepalanya,pertanyaan itu sudah siap ia tanyakan pada sang istri.
"Apa...benar ia anakku?" tanya nya dengan terbata-bata.
Pertanyaan itu,sontak saja membuat dada raisa sangat sesak. Matanya membulat,terbelalak kaget dan rasa sakit bercampur.
"Apa maksud mu mas?" tanya nya pelan,hampir tak terdengar. Ia mundur perlahan,tangannya memegang dada ,jelas terasa sesak di sana, bagaikan di timpa ribuan batu besar .
"Kau sama saja seperti ibumu, Mas! Jahat... begitu tega!" teriaknya membabi buta, matanya merah, penuh luka dan kemarahan.
"Kalian pikir, hanya karena aku diantar pulang oleh seorang pria, aku langsung tidur dengannya? Lalu kalian menuduh anak yang kukandung ini bukan anakmu?"
Suara tangisnya pecah, napasnya tersengal menahan emosi.
"Biadab kamu, Mas! Tega sekali kamu menuduhku seperti itu!"
Ia benar-benar frustrasi, hatinya hancur oleh tuduhan keji dari orang yang seharusnya paling percaya padanya suaminya sendiri.
Irah dan roni yang memang sedang berada di rumah pun,saling pandang saat mendengar tangis dan teriakan dari putri nya.
"Pak..ada apa pak?" tanya irah panik, dengan tergopoh-gopoh irah dan roni berlari ke arah kamar raisa.
Bertapa kaget nya mereka,saat melihat raisa yang sudah terduduk di lantai,sementara iwan berdiri tepat di hadapan putri nya.
"Hei apa yang kau lakukan pada putri dan cucuku?!" teriak roni dengan lantang,sementara irah langsung menghampiri raisa.
"Bu...dia meragukan anakku,dia sama seperti ibu nya." isak nya dengan tangan yang menunjuk ke arah iwan. Mendengar itu,irah langsung memeluk nya,berusaha menenangkan.
"Jangan menangis,kamu masih punya kedua orang tua mu sayang." lirih nya berusaha menahan tangis nya.
Melihat itu, hati roni sangat tercubit. Putri bungsu dan istrinya menangis tersimpuh di bawah.
Pandangan nya beralih pada iwan,memantu yang selama ini dia sayangi dan segani. Sementara iwan hanya diam mematung,dengan kepala yang menunduk.
roni menatap penuh amarah,tatapan mata yang berkilat marah,siap untuk membunuh iwan kapan saja.
"Ceraikan saja putri ku!" ucap roni dingin ,namun tegas.
Iwan spontan mendongak,menggeleng dengan cepat."Jangan pak...aku...aku menyayangi nya." jawab nya cepat.
raisa yang menangis di pelukan irah,menggeleng pelan,menurut nya perkataan iwan barusan adalah kebohongan.
"Sudah...sudah, lebih baik kamu pulang saja dulu wan. " kali ini irah yang membuka suara,tangan nya bergetar menahan amarah.
"Kenapa ibu berkata seperti itu? Apa ibu juga menyuruhku untuk berpisah dengan raisa?" tanya iwan memberanikan diri,ia sedikit tersinggung saat mendengar kedua mertuanya seolah ingin memisahkan nya.
Irah mengerutkan dahi, merasa heran dengan perubahan menantu nya itu. "Apa yang membuatmu berubah nak? " tanya irah pelan.
"Harusnya kamu senang saat ini istri mu mengandung. Tapi kenapa saat waktunya tiba,kamu malah meragukan anak mu sendiri?" sambung nya kali ini nada nya sangat lembut,berusaha menenangkan iwan yang memang sudah terlihat emosi.
"Apa karena ucapan ibu mu?" tanya roni membuka suara.
Iwan lagi-lagi tertunduk,membenarkan perkataan mertuanya itu. ia seharusnya tidak mendengarkan apa yang ibu nya katakan.
Iwan kembali memandang sang istri. Raisa yang merasa di tatap oleh iwan,langsung memalingkan pandangan ke arah lain.
Melihat itu roni maupun irah menghela nafas panjang,mereka melihat jika rumah tangga anak nya sedang benar-benar dapat ujian.
"Selaikan secara baik-baik. Bapak harap kamu bisa cepat menyelesaikan masalah,dan ingat. Jangan pernah dengarkan kata orang lain!" bisik roni pada menantu nya itu,berusaha memberi nasihat.
Setelah mengatakan itu,roni menggenggam tangan irah,dan menarik nya pergi keluar.
"Pak...raisa!"ucap irah cepat,ia merasa khawatir dengan putrinya. "Beri mereka waktu." jawab roni cepat,tanpa menoleh ke arah sang istri.
Mau tidak mau irah menurut perkataan suami nya itu. Sementara raisa,menatap nanar ke arah kedua orang tuanya yang sudah hilang di balik pintu.
"Sa..." panggil iwan dengan lembut,Raisa menoleh ke arah asal suara. Raisa tidak menjawab,dengan cepat memalingkan kembali pandangan nya.
"Maaf." sambung nya pelan,ia melangkah mendekat ke arah raisa yang masih terduduk di sudut ruangan.
Semakin dekat jarak mereka,raisa semakin enggan untuk menatap suaminya.
"Aku...aku terbawa suasana sa,aku terlalu cemburu,hingga aku takut ..." ucap nya lagi, menjeda perkataan nya,seolah tak sanggup meneruskan nya lagi.
Raisa masih terdiam, tak berniat menanggapi perkataan sang suami.
"Aku kira kamu suami yang baik, Mas. Aku kira kamu tidak akan seperti ibumu," gumamnya dalam hati kata-kata yang hanya berani ia simpan dalam diam.
Saat ia tenggelam dalam pikiran nya sendiri,tangan nya terasa hangat. Spontan ia melihat ke arah tangan nya.
Ternyata iwan,suami nya sedang menggenggam tangan nya. "Lepas mas!" ucap raisa membuka suara. Iwan menggeleng pelan.
"Pergilah, Mas... Untuk apa kita bertahan, jika kepercayaan di antara kita sudah hilang?" ucap Raisa lirih, menahan gemuruh di dadanya yang nyaris pecah oleh luka.
"Tidak... tidak, jangan katakan itu," suara sang suami bergetar, matanya mulai memerah. "Aku benar-benar salah paham. Aku... aku menyayangimu. Jangan berkata seperti itu, Raisa. Ingatlah, di dalam perutmu... ada anak kita."
Raisa tertegun. Dadanya sesak oleh gejolak perasaan yang tak bisa ia bendung. Ucapan itu tentang anak yang sedang ia kandung membuat hatinya bergetar, tapi luka yang ditorehkan suaminya terlalu dalam untuk disembuhkan hanya dengan kata maaf.
Air mata jatuh tanpa ia sadari, membasahi pipinya yang pucat.
"Kenapa harus seperti ini? Bukankah kita dulu saling berjanji untuk saling percaya?" batinnya merintih dalam diam.
Ia menatap wajah suaminya, yang kini dipenuhi penyesalan. Namun, hatinya masih terlalu remuk untuk menerima pelukan, terlalu hancur untuk percaya kembali.
"Aku lelah..." bisiknya nyaris tak terdengar. "Aku lelah jadi satu-satunya yang berjuang menjaga keutuhan ini."