kehampaan dan kesempurnaan, ada seorang siswa SMP yang hidup dengan perlahan menuju masa depan yang tidak diketahui,"hm, dunia lain?hahaha , Hmm bagaimana kalau membangun sebuah organisasi sendiri, sepertinya menarik, namanya... TCG?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mult Azham, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
810
Haj adalah Penyeimbang
"Penyeimbang? Kenapa dia disebut Penyeimbang?"
Karena Haj akan semakin kuat dengan 3 prinsip manusia.
"3 prinsip? Apa saja?"
3 prinsip itu adalah... kepercayaan, tekad, kerja keras.
...----------------...
Kalender Arcana, Tahun 578 — Hari Pertama Solis
Kota Kerajaan Zevarion — Istana Kerajaan
Sore itu, Putri ketiga Kerajaan Zevarion berjalan perlahan di sepanjang taman istana, di bawah cahaya lembut matahari yang mulai meredup. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga taman, menambah ketenangan di sekelilingnya.
Di sisi sang putri, seorang pelayan wanita berpakaian serba hitam mengikuti dengan langkah ringan.
"Tuan Putri, apa Anda yakin dengan keputusan ini?" tanya sang pelayan dengan suara pelan.
Putri ketiga menoleh sedikit, matanya memancarkan keteguhan.
"Keputusanku sudah bulat. Aku akan merekrut jenius itu untuk membantuku," jawabnya tegas.
"Sesuai perintah, Tuan Putri," sahut sang pelayan, menundukkan kepala dalam-dalam.
...----------------...
Tahun 578 — Hari Kedua Lunis
Di taman istana, berdiri sebuah gazebo sederhana yang dikelilingi bunga-bunga bermekaran.
Seorang pelayan wanita berbicara dengan hati-hati, "Mereka menolak tawaran kita, Tuan Putri."
Putri ketiga mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Mereka takut terikat oleh aturan kerajaan, Putri. Mereka khawatir tidak bisa kembali ke desa mereka," jawab sang pelayan dengan kepala sedikit menunduk.
Putri ketiga mengusap dagunya, merenung sejenak. "Hmm... Dari desa mana mereka berasal?"
"Desa Verdhollow, Tuan Putri."
Putri ketiga tersenyum tipis. "Kalau begitu, kita gunakan desa itu sebagai kunci."
Pelayan itu mengangkat wajahnya, sedikit bingung. "Apakah maksud Tuan Putri...?"
"Ya. Kita tawarkan keuntungan pada desa mereka. Mereka sangat menyayangi tempat asal mereka, bukan?"
Pelayan itu tampak ragu. "Maaf, Tuan Putri... bukankah itu terlalu besar? Raja mungkin tidak akan menyetujui rencana sebesar ini hanya demi dua orang."
Putri ketiga mengernyit, berpikir sejenak. "Lalu, menurutmu apa yang sebaiknya kita lakukan?"
Pelayan itu menunduk lebih dalam sebelum menjawab dengan hati-hati, "Jika tujuan Putri hanya untuk menarik laki-laki itu, kita cukup memanjakan keluarganya. Memberikan dukungan pada mereka akan lebih sederhana... dan lebih sulit ditolak."
Putri ketiga membuka matanya dengan tenang, senyum tipis terukir di wajahnya. "Baiklah. Kita lakukan seperti itu."
Pelayan itu membungkuk dalam. "Siap melaksanakan perintah, Putri Seraphine Alvarya Zevarion."
...****************...
Tahun 577, Kalender Arcana
"Apa yang membuatmu sedih selama hidupmu, Zam?" tanya Valeria, berdiri di belakang Azam yang sedang berbaring di atas rerumputan hijau.
Azam tetap menatap langit biru yang cerah di pagi itu.
"Apa yang membuatku sedih selama hidupku..." gumamnya pelan.
Sejenak hening, sebelum Azam melanjutkan, "Aku tidak bisa menyayangi seseorang."
Valeria membelalakkan mata, terkejut.
"Tidak bisa menyayangi seseorang? Lalu, bagaimana dengan Nenek Latifa?"
Azam diam sejenak.
"Aku... tidak merasakan apa-apa, selain rasa tanggung jawab untuk membalas budi... dan keinginan untuk melindunginya."
Valeria tersenyum lembut. "Berarti rasa peduli itu adalah bentuk kasih sayangmu. Usahamu untuk melindunginya, untuk membalas budinya... semua itu bagian dari kasih sayang," kata Valeria dengan suara lembut.
Ia berjongkok di samping Azam yang masih berbaring di atas rumput, lalu menyentuh pelan keningnya.
"Ingat, Zam... kasih sayang itu tidak selalu berarti kita harus menyukai seseorang," lanjutnya.
Azam terdiam sejenak, membiarkan sentuhan itu.
Setelah beberapa detik, ia berkata pelan, "Jangan sentuh aku."
Valeria tetap tersenyum santai. Ia lalu bergeser, duduk di atas tumit sambil menumpukan sikunya di paha, lalu menopang kedua pipinya dengan kedua tangan.
"Kenapa memangnya?" tanyanya dengan nada iseng.
Azam tetap memandang langit, suaranya datar. "Karena kita belum menikah."
Mendengar itu, Valeria tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi kecilnya dengan ekspresi jahil.
"Kalau kita menikah..." gumamnya dengan suara menggoda, "apa aku boleh memegangmu sepuas hatiku?"
Tanpa sedikit pun ragu, Azam menjawab, "Iya."
Wajah Valeria seketika memerah. Ia tersipu malu, buru-buru menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil mengeluarkan suara cempreng,
"Emmmmmm~"
Bahunya sedikit terangkat, tubuhnya menggeliat kecil seperti menahan rasa malu yang meledak-ledak. Ujung-ujung jari yang menutupi wajahnya pun gemetar, dan dari sela-sela itu, matanya melirik ke arah Azam — yang masih saja berbaring santai, memandang langit dengan wajah datar, seolah tak terjadi apa-apa.
Valeria mendesah kesal, pipinya masih merah, lalu bergumam dengan suara setengah malu, "Azam bodoh..."
Mendengar gerutuan itu, Azam menoleh sedikit ke samping dan melirik Valeria. Dengan nada santai, ia bertanya, "Apa yang kau pikirkan?"
...----------------...
Tahun 578, Kalender Arcana
Sistem tiba-tiba muncul di belakang Azam, tubuh mungilnya melayang santai di Udara.
"Tuan, aku kembali," serunya riang.
Sedangkan Azam sedang menyapu lantai rumah yang terbuat dari kayu kasar. Ia tidak berhenti, hanya melirik sekilas ke arah Sistem. "Kamu sendiri? Di mana yang lain?"
"Mereka akan segera menyusul, Tuan" jawab Sistem dengan nada ceria.
"Jangan panggil aku 'Tuan' lagi," ucap Azam tenang.
Sistem berputar di udara, tubuh mungilnya berkilau lembut. "Jadi, apa yang seharusnya aku panggil terhadap Tuan?"
Azam terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada tenang, "Panggil saja aku... Abah."
Sistem langsung berseru dengan semangat.
"Baik! Aku akan panggil Abah!"
Setelah beberapa saat, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang — nenek Latifa datang mendekat.
"Apa yang kamu lakukan, Azam? Biar Nenek saja yang kerjakan," katanya, sambil dengan lembut mengambil barang-barang dari tangan Azam.
"Kamu harus sering-sering bermain dengan temanmu, selama masih bisa," tambahnya, suaranya mengandung kehangatan sekaligus kekhawatiran.
Azam terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis.
"Tidak apa-apa, Nek. Aku bisa main nanti setelah beres-beres."
Nenek Latifa menghela napas panjang, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung melakukannya. Saat ia hendak bicara lagi, pandangannya tiba-tiba tertuju pada sesuatu — sosok kecil yang melayang di samping Azam.
Meski penglihatannya sudah kabur karena usia, ia yakin dengan kehadiran makhluk itu.
Azam menyadari perubahan tatapan Nenek, "Oh, Nenek melihatnya, ya? Ini... peliharaanku."
Nenek tertawa pelan, suaranya dalam dan hangat. "Hoho, sejak kapan kamu memiliki peliharaan, Azam? Jaga dia baik-baik, ya."
"Baik, Nek," jawab Azam sambil tersenyum.
Ia melirik ke arah Sistem yang masih melayang santai.
"Kenapa kamu tidak bersembunyi?" tanya Azam berbisik.
Sistem menjawab polos, suaranya ringan, "Karena Abah tidak menyuruhku."
Azam menghela napas panjang, pasrah.
Saat Nenek Latifa hendak pergi dan baru saja membalikkan badan, ia berbalik lagi ke arah Azam.
"Ngomong-ngomong, siapa nama peliharaanmu?"
Azam menoleh santai. "Oh, itu..." Ia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Namanya Azam."
Nenek Latifa tertawa lagi. "Hohoho, kamu memberikan nama yang mirip dengan namamu. Baguslah kalau kamu sangat menyayanginya."
Kemudian nenek Latifa berjalan keluar.. Namun sebelum pintu terbuka sepenuhnya, ia berhenti sejenak dan menoleh sedikit.
"Bermainlah di luar, tapi ingat — kalau sudah waktunya pulang, kamu harus pulang," ujarnya. Setelah itu, ia kembali bertanya, "Siapa nama peliharaanmu tadi?"
"Azam," jawab Azam langsung.
"Iya... itu Azam, jaga dia baik-baik," ujar Nenek Latifa, lalu melangkah pergi.
Suara pintu kayu tertutup perlahan. Thump.
Azam810
...----------------...
Di atas bukit kecil — tempat biasa Azam menghabiskan waktu — tiba-tiba terdengar suara dari arah belakangnya.
"Tuan Azam, kami kembali," ucap Vincent sambil membungkuk dalam pose hormat ksatria.
Di sampingnya, Laila mengikuti gerakan Vincent dengan ekspresi datarnya seperti biasa.
Tanpa berkata apa-apa, Laila mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang tersampir di pundaknya — Sebuah bola bercahaya, memancarkan kilau hangat yang membuat udara di sekitarnya bergetar halus..
Saat Azam menatap bola tersebut, ia bisa merasakan riak energi yang khas — energi Haj yang murni.
Langkah Azam tenang saat ia mendekati Laila, matanya melirik sekilas ke arah Vincent.
"Dari mana kalian mendapatkan ini?" tanyanya datar.
Vincent, masih dalam posisi hormatnya, menjawab tegas,
"Kami menemukannya di wilayah Skarnvale, Tuan."
Azam menatap Vincent, lalu berkata singkat, "Bola ini... simpan saja untuk kalian."
Vincent kemudian bertanya, "Kenapa, Tuan?"
Namun begitu pandangan Vincent dan Azam saling bertemu, dengan Azam tetap diam tanpa ekspresi, Vincent langsung merasa telah bertindak kurang sopan.
Vincent buru-buru menundukkan kepala lagi, lalu berkata dengan suara pelan,
"M-maksud saya... siap, Tuan."
Azam menggelengkan kepala pelan, senyum tipis mengembang di wajahnya. "Mulai sekarang, kalian bertiga resmi menjadi keluargaku."
Vincent dan Laila sama-sama terkejut, mata mereka berdua membelalak.
"Panggil saja aku Abah mulai sekarang," lanjut Azam, suaranya tetap tenang, tapi ada kehangatan yang tidak biasa.
Vincent tetap menunduk menatap ke bawah, lalu berkata dengan suara pelan,
"Tapi... ini terlalu berlebihan, Abah. Kalau soal panggilan, kami tidak masalah. Tapi... menganggap kami sebagai keluarga, itu..."
Belum sempat Vincent menyelesaikan kalimatnya, Azam memotongnya dengan tenang.
"TCG," ucap Azam, singkat.
Mereka berdua langsung menoleh ke arah Azam.
"Nama keluarga kita... TCG," lanjutnya.
Mereka serempak menundukkan kepala dalam-dalam.
"Kami—" Vincent baru saja hendak bicara, tapi Azam memotongnya lagi.
"Sudah, berdirilah," ujarnya.
Vincent dan Laila segera berdiri serempak, tubuh mereka tegak, menatap Azam dengan penuh rasa hormat.
Azam melangkah mendekati mereka berdua.
"Kalau kalian ingin menghormatiku, cukup berdiri tegap seperti ini," ucapnya dengan tenang, namun dengan nada yang tegas.
"Baik, Abah," jawab Vincent cepat.
Ia sempat ragu sejenak, lalu bertanya,
"Emm... Abah, aku penasaran, siapa yang ketiga?"
Azam menoleh sedikit ke samping.
"Tentu saja, Azam810."
Vincent dan Laila sama-sama menoleh ke arah Sistem yang melayang di udara, "Azam810?" gumam Vincent, lalu mereka saling berpandangan sejenak.
Sistem melayang mendekati mereka berdua. "Iya! Kalian bisa panggil aku 810," serunya dengan suara ceria.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di atas sebuah gunung, dua sosok berjubah hitam berdiri mengawasi dari kejauhan.
Di bawah sana, di tengah hutan lebat, berdiri Desa Verdhollow
"itu desanya? Apa kita tidak salah tempat?" tanya salah satu dari mereka, suaranya terdengar ragu.
"Aku tidak salah lihat. Ini benar-benar desa yang dimaksud," jawab yang satunya dengan yakin.
"Aku masih sulit percaya... dua jenius itu berasal dari tempat seperti ini."
"I—"
Percakapan mereka terpotong oleh suara tiba-tiba dari arah belakang.
"Halo! Ngapain kalian di sini?"
Refleks, keduanya langsung menoleh dan mundur selangkah.
Seorang gadis kecil berdiri di sana.