NOTE!
-Mengandung beberapa cerita dewasa/adult romance. Mohon bijak!
-Kalau cerita mulai tidak jelas dan dirasa berbelit-belit, sebaiknya tinggalkan. (Jangan ada komentar buruk di antara kita ya) Hiks!
Pantaskah seorang pria dewasa atau terbilang sudah matang, jatuh cinta dengan gadis di bawah umur?
Dia Arga, saat ini usianya sudah menginjak 26 tahun. Dia pria tampan, penuh kharisma dan sudah mapan. siapa sangka, pria sekeras Arga bisa jatuh cinta dengan seorang gadis yang masih berumur 15 tahun?
simak kelucuan dan kemesraan mereka!
Writer : Motifasi_senja
Mohon maaf jika ada kesamaan beberapa nama tokoh yang sama. 🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Motifasi_senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andi dan Fani
“Cepat lah! Kau lama sekali!” Di dalam mobil Arga masih terus mengomel. Sementara dari jarak sepuluh meter Mona masih berdiri merapikan baju seragamnya yang belum beres.
Teriakan Arga tadi pagi sungguh membuat nya gugup dan terburu buru. Mandinya pun cuma sebatas tersiram air saja. Gedoran pintu yang berasal dari kedua tangan Arga semakin membuat Mona tidak fokus menyiapkan perlengkapan sekolah. Pada akhirnya Mona keluar dengan rambut yang belum di sisir rapi dan kemeja seragamnya pun belum sempat Ia masukkan kedalam rok.
Mona mendengus beberapa kali ketika teriakan Arga menerpa gendang telinganya. Tas selempangnya pun tergeletak begitu saja di lantai halaman rumah. Sementara kedua tangannya masih sibuk menyelipkan seragamnya untuk bersembunyi di balik rok.
“Cepat lah!” teriak Arga lagi.
“Iya tunggu sebentar.”
Dia itu kenapa? Semalam mencium ku tanpa ijin. Dan sekarang marah-marah.
“Kau ini lama sekali.” Omelnya lagi ketika Mona baru saja membuka pintu mobil.
Mona tidak menjawab. Hanya isyarat bibirnya yang mengerucut menandakan rasa jengkel. Setelah menyampirkan tas selempang nya di pundak, Mona langsung masuk dan duduk tanpa menoleh ke Arah Arga.
“Kau tidak punya cermin?”
“Ha, Apa?” Mona ternganga. Lalu mengatup setelah Arga menepuk pelan bibir tipisnya.
“Kau tidak punya sisir? Di tanya malah melongo.”
“Punya... Ada di kamar ku.”
“Kalau begitu kenapa rambut mu berantakan?”
“Ck! Kalau bukan karena di teriaki Kakak juga Aku pasti dandan yang cantik dulu.” Gumam Mona lirih. Wajahnya masih terlihat jengkel.
“Kau bilang apa? Aku dengar lho.”
“Tidak. Aku tidak bilang Apa-apa.” Mona menyisir rambutnya dengan kelima jarinya.
Sepertinya tidak akan ada pembahasan yang lebih lanjut tentang kejadian semalam. Mona sekilas menoleh Arga lalu berpaling lagi ke arah lain. Di lihat dari raut wajahnya, Arga berhasil membuat Mona bingung. Pagi ini Arga bersikap seperti biasanya, terlihat dari wajahnya yang datar dan cuek. Ah! Mungkin Dia memang suka bercanda.
“Hai Mona!” Sapa Fani pada Mona yang baru saja turun dari Mobil.
“Hai...” Mona langsung menggandeng lengan Fani.
“Tunggu! Kemari.” Panggil Arga. Kaca mobil terbuka. Dari dalam Arga menyuruh Mona mendekat dengan kode jari telunjuknya. Mona sudah membungkuk. Mendekatkan kepalanya masuk lewat jendela mobil.
“Mungkin nanti Aku telat menjemput mu. Kau tunggu saja disini.”
Mona mengangguk, mengeluarkan kembali kepalanya dan berbalik menggandeng Fani lagi.
“Hei kalian!”
Seseorang tengah berdiri dengan tangan terlipat di depan dada menghadang mereka berdua. Wajahnya yang angkuh seperti ingin menantang Mona untuk berkelahi lagi.
Mona dan Fani acuh, Mereka memilih tak meladeni Tika. “Dasar orang gila.” Celoteh Fani.
“Hei! Beraninya ya kau!” Tika menarik pundak Fani. “Jangan kira Aku tak berani pada mu! Dasar wanita jadi-jadian.” Hardik Tika sambil mengarahkan jari telunjuk di wajah Fani.
“Kau ini kenapa?” Mona langsung menampis tangan Tika. “Pagi-pagi sudah mengganggu orang, Kau tidak punya pekerjaan lain?”
Bell sudah berbunyi. Niatan untuk menjambak rambut Mona langsung tertunda. Tika mendengus kesal dengan hentakkan kaki.
“Awas Kau!” Ancam Tika sebelum pergi.
“Bisa-bisanya ada manusia seperti Dia.”
Mereka berdua tertawa sepanjang menuju kelasnya di lantai dua. Rasanya senang bisa menertawakannya, ada kepuasan tersendiri di dalam hati. Kalau ingat dulu, mana berani Mona menertawakannya, menatapnya saja itu terlihat sangat menakutkan. Sekarang sudah berbeda, walaupun terkadang terbesit sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
“Pagi...” Sapa Andi saat berdiri di samping meja Fani. Fani melengos lalu menggeser Andi untuk menyingkir.
“Pagi Andi...” Mona tersenyum sambil menyikut lengan Fani. Sepertinya Andi memang menyukai Fani. Terkadang sifat benci yang di tunjukkannya mungkin karena menyembunyikan rasa suka nya. Begitu pikir Mona.
Andi masih berdiri di tempatnya menunggu respon dari Fani. Ini seperti terlihat bukan Andi. Rasanya canggung, tapi kalau terus-terusan meledek Fani tak akan ada habisnya permusuhan ini. Berapa tahun sudah mereka saling tegur tapi dengan ejekan dan amarah dari mulut masing-masing, itu sangat melelahkan.
“Duduklah sana! Sebentar lagi pelajaran di mulai.” Ucap Fani tanpa menoleh.
Mona mendongak. Memberi isyarat dengan kepalanya untuk menyuruh Andi segera pergi. Harusnya Andi bisa paham maksud Mona, Kalau di rayu terus bisa-bisa suara harimaunya akan keluar.
“Sekarang Aku akan baik pada mu.” Batin Andi ketika sudah menempatkan pantatnya di kursi belakang.
Enam tahun lalu waktu yang sangat melelahkan. Lelah terus-terusan menjahilinya, lelah bertengkar dengar nya. Kalau saja dulu bisa lebih baik lagi, mungkin saat ini sudah ada waktu untuk saling bicara tanpa ada debat tak berarti.
09.30 WIB
“Aku ke toilet sebentar...” Mona berbelok ke arah lain sebelum sampai di kantin.
Mona sudah tak terlihat. Sesampainya di kantin Fani langsung mencari kursi yang kosong. Sepertinya semua kursi disana sudah terisi, hanya ada 3 kursi kosong di sudut ruangan. Disana sudah ada satu orang yang sedang duduk dengan satu mangkok bakso di atas meja. Di amati dari postur tubuh bagian belakang sepertinya bukanlah orang asing.
Karena memang itu kursi yang tersisa, Fani berjalan mendekat. Tiga meter sebelum sampai, Fani mendesah berat. Ia hendak berbalik tapi Mona keburu datang.
“Hei! Kenapa masih berdiri?” Tanya Mona. Setelah menatap Fani, pandangan Mona beralih pada seseorang yang duduk sendirian di hadapannya.
“Andi, Boleh kami duduk?” Mona menarik lengan Fani hingga terduduk.
“Silahkan...”
“Kita cari tempat lain.” Fani hendak berdiri tapi langsung di tarik cepat oleh Mona.
“Duduklah. Kursi yang lain penuh.”
“Aku pesan makanan dulu.”
Sesaat Mona memesan makanan, disitu keduanya hanya diam. Mata nya tak ada yang berani menatap satu sama lain. Rasanya jadi canggung. Andi biasanya paling usil kalau sudah berada di dekat Fani, dan Fani pun terlihat aneh, Ia terlihat tak judes seperti biasanya. Kali ini Ia hanya terdiam dengan raut wajah yang tak bisa di tebak situasinya.
“Tumben kau diam?”
Heh! Dia bertanya pada ku?
Andi menjatuhkan sendok yang sedang di pegang hingga membentur lantai. Bukannya langsung mengambil, Andi justru terdiam mencubit lengannya sendiri. Ucapan Fani barusan seperti sesuatu yang menyengat telinganya. Andi melirik Fani, ternyata Fani tak bergeming, Ia justru sedang bermain ponsel.
Mungkin Aku salah dengar.
“Kau budeg ya?” Timpal Fani lagi. Kali ini Andi benar-benar yakin bahwa Fani memang berkata pada nya.
“Kau bicara pada ku?”
“Kau kira Aku bicara dengan siapa? Angin?” cepat dan sangat pakem. Itu memang jelas Fani.
“Biasanya kau tak mau bicara dengan ku?”
“Memang Kau pernah mengajak ku bicara?”
Cletak! Seperti ada yang menghantam kepalanya. Pintar sekali Fani, Andi sampai kebingungan harus jawab apalagi. Kalau di jawab bingung tidak di jawab, ini kan kesempatan berbicara dengan Fani.
Sabar... Kau harus sabar Andi.
“Hei kalian sedang ngobrol apa?” Mona datang membawa nampan berisi 2 mangkok bakso dan 2 gelas es teh. Setelah duduk di tempatnya, Mona menatap Fani dan Andi bergantian.
“Apa Aku mengganggu kalian?”
“Tidak.” Jawab keduanya.
Mona jadi bingung sendiri. Sebenarnya mereka berdua ini kenapa? Sepertinya ada yang terlewatkan. Mona angkat bahu lalu beralih pada mangkuk bakso yang sedari tadi belum tersentuh.
***