Penolakan Aster Zila Altair terhadap perjodohan antara dirinya dengan Leander membuat kedua pihak keluarga kaget. Pasalnya semua orang terutama di dunia bisnis mereka sudah tahu kalau keluarga Altair dan Ganendra akan menjalin ikatan pernikahan.
Untuk menghindari pandangan buruk dan rasa malu, Jedan Altair memaksa anak bungsunya untuk menggantikan sang kakak.
Liona Belrose terpaksa menyerahkan diri pada Leander Ganendra sebagai pengantin pengganti.
"Saya tidak menginginkan pernikahan ini, begitu juga dengan kamu, Liona. Jadi, jaga batasan kita dan saya mengharamkan cinta dalam pernikahan ini."_Leander Arsalan Ganendra.
"Saya tidak meminta hal ini, tapi saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih sepanjang hidup saya."_Liona Belrose Altair.
_ISTRI KANDUNG_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 : Karena Makanan Pedas
Leander memacu mobilnya, membelah jalanan yang kini mulai padat oleh kendaraan lain.
“Mau makan dulu?” tanya Leander sambil mengusap kepala Liona.
“Boleh. Kamu udah makan?” Leander menggeleng.
Mana sempat dia makan hari ini, sepulangnya dari tempat penyiksaan tadi, Leander langsung menemui beberapa partner bisnisnya dan setelah itu bergegas ke kampus Liona agar tidak telat menjemput.
“Ya udah, kita makan dulu. Aku lapar banget, soalnya dari tadi aku belum makan.” Leander segera menoleh pada Liona dengan mata sedikit melotot.
“Kamu belum makan dari tadi? Memang di kampus itu tidak ada kantinnya?”
Liona mengangguk pelan, lalu menatap Leander dengan mata bulat berbinar, seolah sedang merajuk. Pipinya mengembung manis, bibirnya mengerucut tipis seperti anak kecil yang sedang mengadu. Ia menyandarkan kepalanya ke jok kursi, sedikit miring, sambil sesekali melirik pada Leander dengan tatapan yang sengaja dibuat memelas.
“Aku lapar banget, tau,” ucapnya dengan suara manja, nyaris seperti bisikan rengekan. “Tadi tuh beneran nggak sempat makan… di kantin rame banget. Lagian, aku kan udah keburu kepikiran kamu mau jemput, jadi aku buru-buru pulang kelas.”
Ia menekuk alisnya tipis, lalu menambahkan dengan nada menggelitik, “Kamu nggak kasihan sama aku?”
Leander melirik sekilas, dan wajahnya menegang sejenak. Liona justru menambah drama dengan meraih lengan jasnya, mencubit pelan sambil meringis manis. “Habis ini, kamu harus traktir aku yang enak, ya. Jangan protes, pokoknya harus.”
Tawa Leander langsung pecah melihat rengekan manja dari istrinya itu. Memang, tak ada hal lain yang bisa membuat dia tertawa selepas dan seceria itu selain melihat istrinya bertingkah manja dan menggemaskan.
“Oke, Sayang. Makan dan belilah apa pun yang kamu inginkan.” Liona menegakkan tubuhnya dan menatap Leander dengan semangat, senyum seketika menghiasi wajahnya yang imut.
“Bener ya, apa pun itu.”
“Selama makanan yang kamu inginkan sehat, aman, dan bergizi. Beli dan makan sepuasnya.” Liona mengangguk lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Leander.
Leander lalu menggeleng mantap yang membuat Liona merungut tipis lalu menyandarkan punggungnya kembali ke sandaran kursi. Kedua tangan dia lipat ke dada dengan satu kaki dia tindihkan ke kaki yang lain.
Leander melengos sedikit ke arah istrinya lalu kembali fokus menatap jalanan. “Itu makanan pedas, kamu dapat rekomendasi dari mana makanan begitu?” tanya Leander dengan nada lembut mendayu.
“Ya udah, ga usah.” Leander menghela napas dan mengusap kepala Liona.
“Oke oke, ayo kita makan di sana. Kalau sekiranya kamu sudah tidak kuat lagi dengan rasa pedasnya, atau perut kamu sakit, segera beritahu aku. Sakit jangan pernah ditahan sendiri, mengerti.” Liona langsung mengangguk dengan semangat, sorot matanya juga berubah dari dingin ke tatapan ceria.
Leander paling tidak bisa melihat istrinya bersedih dan merungut begitu, karena point awal dari rumah tangganya adalah kebahagiaan Liona.
...***...
Baru saja sampai di dalam kamarnya, Liona berlari ke toilet karena perutnya terasa sangat sakit. Makanan tadi sangat pedas dan Liona justru suka hingga nambah satu porsi lagi.
Selesai buang hajat, Liona merasa perutnya kembali mules dan balik lagi ke dalam toilet. Sudah sekitar lima kali sejak pulang tadi Liona bolak balik ke toilet dan tentunya membuat Leander cemas bukan main.
Leander mengambil obat diare di dalam kotak obat dan memberikannya pada Liona. Lalu memberikan susu full cream agar perut Liona sedikit lebih baik.
Liona terkulai lemas di atas kasur, wajahnya sudah pucat dan tangannya sangat dingin terasa. Leander tahu bahwa ini adalah efek dari makanan tadi, tapi dia tidak memarahi atau menasehati Liona. Melainkan hanya mengusap telapak tangan Liona dengan duduk di samping istrinya.
“Masih sakit?” tanya Leander dengan sangat lembut.
“Perutku udah gak terlalu, hanya saja tubuhku lemas banget.” Liona mengeluh dengan suara yang nyaris tak terdengar, hingga Leander harus mendekatkan telinganya ke bibir sang istri.
“Dokter sedang jalan ke sini, aku sudah hubungi saat bikin susu untuk kamu tadi. Lain kali, batasi makan pedas ya. Perut kamu sangat sensitif dan kalau kamu sakit begini, aku tidak bisa mencumbumu.” Liona menatap suaminya sambil tersenyum.
Ia balas genggaman tangan Leander yang saat ini mengusap telapak tangannya.
“Maaf ya.”
“Kali ini dimaafkan, lain kali lebih dibatasi.” Liona mengangguk kecil sambil mengerjapkan matanya pelan.
“Aku boleh tidur?” Leander mengusap lembut kepala Liona.
“Iya, tidur saja.” Liona memejamkan matanya dan tak lama tertidur pulas.
Leander kemudian keluar kamar menunggu dokter keluarga Ganendra datang. Di tangga, dia berpapasan dengan Karina yang akan naik ke lantai atas.
“Gimana Liona?” tanyanya penasaran.
“Sudah lebih baik, sekarang dia sedang tidur.”
“Aku perlu bicara denganmu, Leander. Apa ada waktu?”
“Nanti saja setelah dokter memeriksa kondisi Liona.” Karina mengangguk dan berlalu ke kamarnya sendiri.
Selang dua puluh menit, akhirnya dokter sampai dan memeriksa kondisi Liona. Masih dengan energi yang hanya lima belas persen itu, Liona menjawab pertanyaan dokter.
Liona diberikan obat dan juga disarankan untuk tidak mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan lagi. Liona menganggu paham dan kembali memejamkan matanya.
Karena tadi, dia memang terpaksa bangun saat dokter datang. Leander mengantarkan dokter perempuan itu keluar mansion lalu menghubungi Karina untuk bicara berdua.
Mereka memilih bicara di ruangan santai lantai dua dan Leander langsung menuju ke sana.
Leander duduk di hadapan Karina sambil membakar cerutunya. Rasanya bicara tanpa merokok bukan hal yang nyaman bagi Leander.
“Mama memintaku untuk membujukmu agar tidak membawa Liona pindah dari mansion ini. Aku lihat, mama sangat sayang pada Liona dan aku merasa bahwa dia menyayangi Liona. Bukan karena dia ingin mengatur hidup kalian berdua.” Leander diam sejenak lalu menghembuskan asap rokok perlahan melalui mulut dan hidungnya.
“Aku paham dengan apa yang mama rasakan pada Liona. Tapi, dengan menuruti keinginan beliau terus, akan membuat mama susah sembuh dan masih akan bertindak semaunya. Mama harus diberi pengertian bahwa tidak semua hal harus diikuti. Lagian rumahku tidak jauh juga dari mansion ini, kami masih bisa menemui mama setiap hari.” Karina paham sekali dengan prinsip hidup Leander.
Pria itu sangat tidak suka diatur dan dikekang oleh siapa pun termasuk orang tuanya sendiri. Leander lebih suka memimpin sesuatu ketimbang menjadi bawahan yang harus dipimpin.
“Apa yang harus aku jawab nanti?” Karina meminta solusi dari Leander.
“Bilang saja, kalau aku akan menemui mama disaat mama sudah bisa lebih baik menerima keputusanku.” Karina mengangguk dan menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” Leander mengangguk sebagai jawaban ‘iya’ dari pertanyaan Karina.
“Apa hubunganmu dengan Luciana sudah benar-benar berakhir?” tanya Karina dengan tatapan mengintimidasi.
Leander menunjukkan raut wajah tidak suka dengan pertanyaan dari Karina barusan. Memperlihatkan ekspresi jijik sekaligus enggan membahas hal yang ditanyakan oleh Karina.