NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menenggelamkan Jelangkung

“Gara-gara kamu kecapean aja, kan?” Kevin menyela ucapan Vani, wajahnya dipenuhi intimidasi. Vani seketika terdiam. Hampir saja ia menyinggung bahwa semalam mereka sempat bermain jelangkung bersama Kevin dan yang lain.

Tentunya pengakuan itu akan berakibat buruk. Menyalahkan Kevin tak akan menolong, justru dirinya sendiri yang bisa kena getahnya. Akhirnya, Vani hanya mengangguk pelan.

“Iya… gue kayaknya halu karena capek.” Setelah itu, Kevin tetap memasang wajah dingin. Ia memang selalu bisa mengendalikan suasana, meski pegal di pundaknya tak kunjung hilang.

Vani dibantu masuk ke dalam tenda. Ia disuruh berbaring saja, sementara anak-anak lain dikumpulkan untuk menentukan pemenang permainan mengumpulkan bendera siang itu.

Selagi acara berlangsung, Vani menggigil sendirian. Ia menoleh ke segala arah, bayangan mimpi semalam terus menghantui pikirannya. Perlahan, Vani yakin apa yang dialaminya adalah buntut dari permainan jelangkung di gua itu.

“Ini kan ide Kevin. Harusnya dia aja yang diganggu. Kenapa malah gue?” gumam Vani, suaranya gemetar.

Tiba-tiba, Ratna masuk ke tenda. Vani tersentak kaget.

“Lu bisa nggak sih, permisi-permisi kalau mau masuk?” bentaknya, panik dan kesal.

“Maaf, Van. Aku cuma mau ambil jaket,” jawab Ratna lembut.

Dengan kasar, Vani meraih jaket hijau army dari sisinya, lalu melemparkannya ke Ratna. Tak lupa, ia mengusir gadis itu dengan kasar.

“Tapi… kamu beneran nggak mau ditemenin?” tanya Ratna hati-hati.

“Lu tuh keseringan kesurupan. Kalau ditemenin sama lu, yang ada gue dideketin setan,” hardik Vani.

Ratna tak berkata apa-apa, mundur perlahan ke kerumunan siswa lain. “Padahal niatku baik…” gumamnya. Namun, matanya sempat menangkap sekilas sosok perempuan berambut acak-acakan mengintip dari belakang kepala Vani. Sekejap, sosok itu lenyap lagi. Ratna berpikir, jika Vani dibiarkan sendirian, ia bisa pingsan lagi.

Acara hari itu ditutup dengan pesan dan kesan seluruh anggota camp. Pak Agus memberikan sedikit sambutan, menyebut acara kemah berlangsung lancar meski banyak peserta kelelahan—seperti Vani—yang dianggap sebagai ujian mental.

“Bapak harap, setelah pulang besok, kesan-kesan dan pelajaran dari camp ini menjadi bekal kalian ke depan. Terima kasih. Partisipasi kalian sangat hebat!”

Tepuk tangan menggema, menutup perkumpulan sore itu. Para panitia mengingatkan agar tidak ada yang berkeliaran sampai besok, semua harus menjaga kesehatan dan persiapan sebelum pulang.

Beberapa peserta pergi ke sumber air untuk membersihkan badan, ada pula yang memasak mie instan karena lapar. Semua sibuk sendiri-sendiri.

Di tengah kesibukan itu, Kevin dan teman-temannya masuk ke tenda Vani dengan alasan menengok keadaannya. Vani langsung mengutarakan keresahannya.

“Gue beneran gak halu. Tadi gue liat pohon itu ngeluarin darah. Badan gue penuh, jijik banget sampai mau muntah. Kalian nggak ngerasa ini gara-gara ulah kita semalam?” katanya, panik dan meyakinkan.

“Lu mungkin terlalu kepikiran mimpi lu, Van,” bantah Bobi, mencoba menenangkan.

“Emang mimpi apaan sih? Ketemu setan?” tanya Kevin dengan nada meremehkan.

“Terserah kalian, deh. Gue gak mau kalau kejadian yang gue alami bener-bener gara-gara kita main jelangkung,” tegas Vani.

“Ssstt! Bisa nggak jangan disebutin itu?” sela Agam, menatap Kevin.

“Soal bonekanya itu gimana?” tanya Bobi, menujuk Kevin, raut wajahnya setengah serius, setengah tegang.

"Boneka apa?" selidik Tari dan Kaila bersamaan.

“Boneka apa?” selidik Vani dan Kila bersamaan.

“Boneka batok kelapanya tiba-tiba ada di tas gue,” bisik Bobi pelan.

“Tuh, kan! Pasti ada yang aneh,” sambar Vani, matanya membelalak.

“Apaan sih? Dibilangin pasti itu ulah Ratna,” bantah Kevin dengan nada meremehkan.

“Ya udah, terserah kalau memang Ratna yang melakukannya. Yang jelas, boneka itu harus segera dibuang. Nanti malam, pas semua tidur, kita buang ke sungai,” putus Agam. Semua setuju, lalu bubar agar tidak dicurigai.

Beberapa saat kemudian, Pak Agus yang sedang membuat kopi melihat kedatangan Ki Wangsit ke area perkemahan. Ia segera menyambut, menuntun lelaki tua itu duduk.

“Mau saya seduhkan kopi, Ki?” tawar Pak Agus.

“Ah, tidak usah. Tadi saya sudah ngopi di rumah,” jawab Ki Wangsit sopan. Sejak datang, pandangannya tak pernah diam, mengamati setiap sudut perkemahan. Namun, semuanya tampak normal, seakan-akan entitas gaib yang berkeliaran di hutan mampu menutupi jejaknya.

“Gimana kegiatan di sini, Pak? Ada kendala? Besok semua pulang, ya?” tanya Ki Wangsit.

“Iya, Ki. Alhamdulillah lancar. Meski ada yang pingsan karena kelelahan… ya anak kota mah fisiknya kurang ditempa,” jawab Pak Agus sambil tersenyum dan menertawakan dirinya sendiri pelan.

Ki Wangsit tersenyum tipis, mengangguk-angguk. “Ya sudah, Pak. Selamat istirahat malam nanti. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan datang ke rumah,” ucapnya.

“Oh, iya. Tentu, Ki. Terima kasih.”

“Saya pamit. Mangga…” Bah Wangsit beranjak pergi. Kesederhanaan tingkahnya saat bertamu justru membuat Pak Agus mengernyit. Terlihat jelas, Ki Wangsit datang untuk memastikan sesuatu—tetapi apa tepatnya, Pak Agus tak ingin memikirkannya.

Petang pun tiba. Siswa-siswa perlahan mengemas barang agar besok pagi tidak repot. Mereka memasak, makan malam bersama, lalu masuk ke tenda masing-masing untuk tidur cepat.

Dari kejauhan, Ki Wangsit berdiri mengamati sampai tenda-tenda benar-benar senyap. Hampir tiga jam ia memperhatikan, sebelum akhirnya memutuskan pulang. “Apa tadi pagi cuma kebetulan… sepertinya mereka tak melakukan hal aneh,” gumamnya pelan.

Lima belas menit setelah Ki Wangsit pergi, Bobi dan Kevin keluar dari tenda, diikuti Agam yang memantau keadaan. Mereka bergerak mengendap-endap, menyembunyikan sesuatu di balik jaket. Menuju sungai, mereka mengurai boneka dari ranting itu. Batok kelapa dilepas, kemudian semua dilempar ke arus sungai, timbul tenggelam dibawa derasnya air.

Kevin, Bobi, dan Agam merasa lega. Mereka berjalan santai kembali ke tenda, yakin sudah menyingkirkan sial. Tapi mereka tidak menyadari… di tengah sungai, ada sosok yang berdiri. Tubuhnya tenggelam hingga pinggang, rambutnya panjang, kusut, menjuntai di permukaan air.

“wong yen peteng mripat kabeh bisa ing tindakake. arep menyang ndi anak -anak manis.” Tawa serak keluar, memperlihatkan deretan gigi hitam, runcing, mengerikan.

“ayok, awake dhewe mangan wengi Dhisik...” [Ayok, kita makan malam dulu]

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!