Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 32
Wira terbatuk, hampir tersedak daging steak saat netra biru miliknya menangkap sesosok laki-laki muda, duduk di atas kursi memegang gitar dan memetik alunan nada indah di atas panggung. Tentu dia mengenali jelas, meski jarak memisahkan lebih dari sepuluh meter. Raut wajah sederhana itu masih membekas di ingatan.
“Tria yang sama.” Wira membatin.
Gengaman erat pada pisau dan garpu stainless itu terlepas saat Naina menariknya ke depan tanpa menunggu steak sisa di piring itu habis.
“Nai, Mas mau dibawa kemana?” Wira protes dengan manjanya. Meski hati kecilnya tahu jelas, ke arah mana kakinya melangkah.
“Nai mau mengenalkan Mas dengan Kak Tria.” Naina berkata dengan penuh semangat.
Keduanya sudah berdiri di depan panggung, dengan Naina melempar senyum tak henti pada Tria. Laki-laki dengan gitar di tangan di sorot lampu menguning benar-benar mengingatkannya akan dirinya dulu, dirinya di masa lalu.
Rindu itu datang, seiring lagu yang sampai di pertengahan dan membuat Naina tanpa sengaja ikut menyenandungkan kidung cinta itu bersamaan. Tria mengulas senyuman tipisnya, tetapi senyum itu perlahan memudar saat sorot matanya terarah pada Wira.
Sebaliknya, Tria pun mengenali, laki-laki yang menjadi atasan sekaligus pemilik perusahaan tempatnya mengais rezeki. Selebihnya, lelaki itu menyimpan gugup dan tanyanya dalam hati, memilih fokus pada petikan gitar ala fingerstlye yang belum lama dikuasainya.
Alunan lagu indah karya salah satu band ternama Indonesia itu mengalun lembut dan enak didengar. Tria mengemasnya dengan apik lewat petikan gitar dan suaranya. Kolaborasi dengan kontrol suara yang mumpuni.
Naina tersenyum sumringah dan bertepuk tangan paling kencang saat penampilan itu ditutup Tria dengan manis. Wira? Jangan ditanya bagaiamana gugup dan ketar-ketirnya laki-laki itu. Benar-benar seperti menunggu dieksekusi mati.
“Kak Tria!” panggil Naina dari bawah panggung sembari melambaikan tangan. Gaun sutra sederhana dengan renda keemasan di leher yang dikenakannya bergoyang tertiup angin malam, mengikuti pergerakan feminimnya.
“Ya, Angie.” Tria terpaksa turun.
Gugup itu sebenarnya bukan hanya milik Wira, Tria pun dilanda rasa yang sama saat ini. Keduanya menelan saliva hampir bersamaan saat Naina berkata pelan.
“Mas ... ini Kak Tria, teman senasib sepenanggunganku sewaktu di jalanan dulu.” Naina membuka acara perkenalan itu dengan manis.
“Kak Tria ... tentu masih ingat suamiku. Ini Mas Wira suamiku satu-satunya,” canda Naina.
Kedua laki-laki itu saling bersalaman dan berusaha membuang rasa kikuk yang tercipta. Tria tidak berani menatap, menyimpan tanya dan keanehannya seorang diri. Dia tentu masih mengingat jelas, apa yang didengarnya di depan pintu ruang direktur beberapa minggu yang lalu. Ada istri dan anak kecil ikut di dalam percakapan direktur dan sekretarisnya, yang Tria yakini memiliki hubungan dekat.
“Kasihan Naina, kalau benar itu yang terjadi di belakanganya, tetapi aku tidak bisa mengatakan padanya kalau aku sendiri tidak yakin. Yang ada hanya menganggu hubungan keduanya dan jadi fitnah kalau semua dugaanku salah.” Tria membatin.
“Kak Tria masih mengingat wajah suamiku, kan?” tanya Naina lagi.
“Aku mulai lupa, tetapi sekarang aku mengingatnya jelas.” Tria berkata tegas, memberanikan diri menatap Wira, seolah memberitahu kalau dia mengetahui sesuatu.
Wira menelan ludahnya, menyimpan kegugupan besar di dalam hati. “Aku ingat, kalau Mas Tria ini sempat masuk ke ruanganku saat aku dan Stevi sedang berdebat masalah Nola, putrinya Stevi. Kamu tahu sendiri, kan? Bagaimana Stevi meninggalkan anaknya yang sakit demi pekerjaan, Nai. Sebagai sahabat baik, tentu aku tidak suka,” jelas Wira tanpa diminta.
Tanpa Naina sadari, sebenarnya sang suami sedang meluruskan pada sahabatnya tentang apa yang terjadi di ruangan direktur beberapa minggu yang lalu.
Perkenalan singkat itu di akhiri dengan lambaian perpisahan, Wira dan Naina tidak bisa berlama-lama mengobrol, Tria masih harus bekerja. Secuil cemburu yang sebelumnya bersemayam di hati Wira, perlahan menghilang seiring sikap Naina yang terbuka padanya.
***
Keesokan harinya.
Naina sedang menyajikan semangkok besar nasi goreng ke tengah meja makan. Disusul sepiring telur goreng di sebelahnya. Masih dengan celemek bunga mengikat di tubuh mungilnya, Naina kembali lagi dengan secangkir teh panas, yang disajikan di atas cangkir keramik motif bunga mawar merah merekah.
“Mas, sarapanmu,” sapa Naina saat melihat sang suami berjalan mendekat dengan setelah rapinya. Laki-laki itu mengecup pipi Naina dengan mesranya tanpa peduli dengan Mbok Sumi yang mengulum senyuman melihat kemesraan kedua majikannya.
“Mbok, jangan suka mengintip!” goda Wira.
“Ayo tutup mata! Aku sedang ingin mencium bibir istriku,” lanjut Wira yang terlihat segar pagi ini.
“Mas, jangan menggoda Mbok Sumi!” omel Naina, dengan alunan manis manjanya.
Terkekeh pelan, Wira menjatuhkan bokongnya di kursi makan. “Telur kesukaanku?” tanya Wira, menatap telur mata sapi dengan sedikit lelehan kekuningan di bagian tengahnya.
“Ya, Mas, telur mata sapi dengan bagian kuningnya setengah matang.” Naina sudah mengisi piring dengan nasi goreng dan menghadiahkannya telur goreng di bagian atasnya,
“Makan sekarang, nanti Mas terlambat ke kantor.” Naina bersuara.
“Kamu tidak makan, Nai?” tanya Wira, menarik tangan istrinya mendekat tiba-tiba.
“Nanti sa ....” Sepotong kalimat Naina tidak terselesaikan, Wira sudah menyuapinya dengan sesendok penuh nasi goreng.
“Mas ....”
“Hmmm,” gumam Wira, kembali fokus dengan piring nasi gorengnya.
“Nanti siang Nai akan membawakan makan siang, sekalian mau bertemu Stevi, Mas.”
“Ya, kamu ke butik hari ini?” tanya Wira, sembari memasukan nasi goreng ke dalam mulutnya.
“Pergi sebentar, ada janji bertemu dengan costumer nanti jam sepuluh. Setelah itu aku langsung ke kantormu, Mas.”
Wira melepas cepat sendok dan garpu di tangannya, perhatiannya beralih pada sang istri. “Laki-laki atau perempuan?” tanya Wira dengan cemburunya.
“Mas, Nai itu bekerja bukannya pacaran di luar sana,” protes Naina, saat Wira menarik pinggang berdiri mendekat lagi pada sang suami.
“Ya, Mas tahu.” Wira tersenyum.
“Habiskan sarapanmu, Mas. Bukankah katanya hari ini ada rapat pagi-pagi sekali,” ucap Naina, mengingatkan.
“Ya ...”
***
Mobil Wira sudah tiba di pelataran kantor. Pagi ini dia tiba lebih cepat dari biasanya. Akan ada rapat untuk perombakan posisi beberapa karyawan sesuai dengan kinerja masing-masing. Pertemuannya dengan Tria semalam, membuat Wira harus mengambil langkah ini. Rencana yang sebelumnya sempat menjadi wacana di otaknya tetapi belum sempat terealisasi karena bertepatan dengan acara bulan madunya.
Sampai di depan ruangan, Wira melihat Stevi sedang bersiap dengan tas make-up di atas meja. “Tumben datangnya cepat, Stev!” ucap Wira tanpa menoleh ke sekretarisnya. Menyindir halus wanita yang sudah merecoki hidup dan rumah tangganya selama dua tahun ini.
Tentu saja Stevi terperanjat, ternyata bukan hanya dia yang datang kepagian, sang suami siri pun demikian.
“Mas ... tunggu! Kita harus bicara.” Stevi buru-buru menyusul masuk ke ruangan. Membuka lebar pintu itu tanpa permisi.
“Ada apa?” tanya Wira datar. Laki-laki itu sedang berdiri di depan jendela kaca, menatap pemandangan kota Jakarta yang disorot semburat cahaya pagi.
“Nola merindukanmu. Bisakah sore ini mengunjunginya?” tanya Nola, memberanikan diri mendekat.
“Aku lihat dulu, Stev. Aku belum bisa menjawab.”
“Mas ... sejak kembali dari Eropa, Mas belum mengunjungi Nola. Apa tidak merasa, ini tidak adil untuknya?” tanya Stevi, berlemah lembut. Kedua tangannya dengan lancang menyelinap disisi kiri dan kanan pinggang Wira. Membelit erat dan mengunci di perut rata laki-laki tampan, atasan sekaligus suaminya.
“Lepas Stev!” Wira berbalik, setelah menghempas kasar tangan Stevi.
Mata memerah menahan amarah dan kesal itu berubah panik saat menyadari seseorang sedang berdiri di dekat pintu ruangan yang terbuka lebar dengan kain lap dan cairan pembersih kaca.
***
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.