"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."
"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."
"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.
"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.
Yumna tersenyum sinis.
"Jadi, aku sedang diancam?"
"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,
Dan itu terlihat sangat menyebalkan.
Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Receiving Gift--Love Language
Dalam momen ultah Diandra, di antara Zian dan Aira tak terlihat penampakan love language yang ke-empat, yaitu Receiving Gift--menerima hadiah. Tapi, yang diketahui dengan jelas oleh Kinara, adalah saat Zian memperkenalkan Aira kepadanya, dan meminta Kakak ipar-nya itu untuk membantu Aira menerbitkan novel--hal mana itu sudah menjadi keinginan gadis ayu tersebut sejak lama.
Itu adalah Receiving Gift Zian yang menurut Aira luar biasa, dan ia begitu bahagia karenanya.
Hadiah-hadiah yang lain untuk Aira--entah dengan bentuk yang lebih besar, atau yang lebih kecil nilainya--pasti juga sudah diberikan oleh Zian pada gadis itu. Nilai hadian bukan pada bentuk barang apa yang diberikan, tapi makna dan perhatian di balik hadiah yang dianggap sebagai simbol kasih sayang.
Acts Of Service--Love Language
----------'xxxx-------------------------------
Bagian ini bentuk nyata yang pasti sudah disadari oleh pembaca (pembaca yang jumlahnya seupil)
Acts of service adalah tindakan pelayanan, merupakan bagian dari bahasa cinta. Sudah banyak momen dalam beberapa bab yang menunjukkan hal ini. Tapi, untuk lebih mengingatnya, kita hadirkan lagi satu momen yang menunjukkan Acts of service Zian untuk Aira.
Momen ini terjadi sesaat sebelum Aira sampai ke lokasi ultah Diandra.
"Ini Yumna kirim sher lock." Aira menunjukkan ponselnya pada Zian.
Lelaki itu sesaat memerhatikan, kemudian mengangguk. "Gue tau tempat itu."
Mobil memasuki halaman sebuah rumah yang berdesain minimalis dengan pagar yang tak terlalu tinggi. Dari luar sudah tampak kemeriahan di dalam.
"Ini tempatnya?" tanya Aira.
"Iya."
"Aku turun di sini saja. Kamu langsung jemput Yumna. Biar dia gak terlalu lama nunggu."
"Sebentar, Kak." Zian masih mencari lokasi yang paling tepat untuk menghentikan mobilnya, dan itu tak jauh dari pintu depan rumah yang terbuka lebar. Terlihat mobil Dira menyusul, dan berhenti tak jauh dari mereka.
"Gue antar, Lu masuk, biar gak tersesat."
Ucapan Zian bagi Aira itu terdengar bercanda. "Tinggal ke dalam aja, kan? Gak akan tersesat. Apalagi itu ada Dira juga."
"Jangan bantah, Kak. Gue hanya ingin mastiin kenyamanan lu aja."
Aira pun terdiam. Rupanya kali ini Zian benar-benar tidak mau menerima penolakan. "Tunggu bentar." Lelaki itu keluar dari mobil lebih dulu.
Seperti biasa Acts Of Service Zian memang luar biasa. Ia tak pernah membiarkan Aira membuka sendiri pintu mobil untuk masuk ataupun keluar. Zian selalu melakukan tindakan pelayanan untuk kenyamanan, dan keamanan Aira.
Apa Aira tak pernah mencegahnya?
Pernah. Pembaca saksinya. Tapi, Zian tetap dengan kebiasaannya. Seolah memberikan pelayanan pada Aira--walaupun hanya dengan membuka, dan menutupkan pintu mobil adalah wajib 'ain yang tak boleh ditinggalkan.
Aira keluar dari mobil seraya menyampirkan tas ke bahu. Terlupa kalau risleting tas belum dipasang. Ada beberapa kertas yang terburai jatuh, di antaranya adalah format untuk Zian tentang Darul-Fata.
"Gugup ya?" tanya Zian. Mungkin saja gadis itu merasa sedikit grogi untuk menghadiri sebuah acara yang melibatkan banyak orang. Bagaimana pun Aira seorang introvert, yang lebih suka hening dalam sendirian. Atau pun berteman tapi hanya dengan yang benar-benar sejalan, seperti Yumna, dan Dira.
"Gak sih. Capek aja," sahut Aira seraya hendak berjongkok untuk mengambil sebagian isi tas yang teronggok di atas paving halaman itu.
Zian mencegah dengan tangannya sambil berkata, "kalau elu lelah, biarkan gue jadi jeda-nya."
"Zian. Kondisikan kalimatmu, jaga juga keamanan hatiku," protes Aira.
Zian hanya tersenyum, dan teruskan niatnya untuk memungut beberapa kertas punya Aira itu.
Pembaca:
Tas Aira kok isinya kertas. Bukan ponsel, dompet, dan alat makeup.
Autor:
Ponsel, dan dompet ada, tapi tidak ikut terjun dari tas. Kalau alat makeup gak ada. Aira gak bawa.
Aira juga ikut berjongkok sesaat kemudian untuk memungut para penghuni tas-nya yang masih jalan-jalan keluar kandang.
"Aku saja Zian. Gak enak diliat Aga."
Zian menoleh. Jarak sepuluh meter dari mereka, Aga berdiri di samping mobil, dan sedang menatap pemandangan aestetik itu di depannya. Sedangkan Dira yang berdiri tak jauh darinya sedang sibuk dengan ponsel. Entahlah apa ia benar-benar sibuk dengan alat komunikasi canggih itu, atau hanya sekedar menghindari panorama indah di depannya saja.
"Tatapan Aga menggetarkan hati, ya kak?"
"Bukan." Aira menggeleng. "Gak enak kalau Aga mikir macam-macam."
"Aga gak mikir banyak macam, Kak. Paling cuma dua macam. Satu, dia mikir kita pacaran. Dua, dia mikir kita pasangan halal."
Aira hanya tertawa renyah mendengar ucapan Zian. Keduanya kemudian berdiri bersama-sama. Zian memberi isyarat untuk masuk ke dalam rumah.
"Dira, yuk!" ajak Aira juga pada Dira.
Arts Of Service Zian di scene ini jelas sekali bukan. Bahkan sampai dinyatakan dengan ucapan. "Kalau elu lelah, biarkan gue jadi jedanya."
"Gimana, Sepupu. Ada yang salah dari penilaian kak Na? Gak berlebihan kan kami bilang lima macam Love Language, elu babat habis. Mau menghindar kemana lagi, Lu? Semua jalur macet total." Diandra meniru gaya Zian menaik-turunkan alisnya. Tak lupa memasang tatapan mengejek, dan senyuman puas yang membingkai bibirnya.
Membuat Zian kalah telak, sampai tak bisa berkata apa-apa itu adalah misi Diandra sejak lama. Dan semesta sedang berbaik hati pada gadis itu, dengan memberikan kemenangan tersebut tepat di hari ulang tahunnya.
Sedangkan Kinara, ia memang tak menampilkan ekspresi mengejek seperti Diandra. Hanya senyum tipis yang menghiasi wajah cantik berhijab itu. Namun, kalimat yang diucapkannya justru lebih menohok dari ejekan Diandra.
"Gimana, mau menikah dengan gadis yang diinginkan, atau yang dijodohkan?"
Zian menghela napas pelan.
"Gimana? Ini kami nyumbang bahan pertimbangan lho."
Diamnya Zian kian menyenangkan bagi Diandra untuk menambah ejekan.
"Yang ada nyumbang kegalauan," desis Zian datar. Namun justru membuat Diandra dan Kinara tergelak kencang.
Gelak tawa dua orang kerabat dekat Zian itu, sampai ke pendengaran Yumna, Dira, dan Aira. Membuat ketiganya menoleh ke arah mereka.
Kinara melambaikan tangannya.
"Kesini kalian. Gabung sama kita," panggilnya setengah berseru.
"Iyak sini!" Diandra juga ikut²an memanggil.
Wal-hasil ketiga gadis itu memilih untuk memenuhi panggilan Kinara, dan Diandra.
"Kalian mau nyumbang saran, gak? Ini Zian lagi bingung buat milih di antara dua hal." Itu ucapan Kinara. Dia sengaja melempar umpan sepertinya.
"Tumben." Yumna Langsung nyeletuk disertai senyum mengejek juga.
"Iya, biasanya selalu menguasai medan jalan," timpal Dira.
"Kali ini semua jalan macet total." Diandra juga ikut ambil bagian.
Maka Lengkap sudah ketidakberdayaan Zian dengan kedatangan sahabat-sahabatnya itu. Untunglah masih ada Aira yang tak ikut menyumbangkan suara ejekan. Ia justru memberikan senyuman meneduhkan.
"Lalu apa saran kalian untuk Zian?" Kinara kembali ambil peranan sebagai pelempar umpan.
"Pilih aja apa yang diinginkan," kata Dira.
"Yang sesuai dengan hati," saran Yumna.
"Kalau menurut Aira, pilih yang mana?" tanya Diandra yang melihat Aira tetap enggan bersuara.
"Gak usah milih. Sudah ada yang memilihkan."
Bagi Zian, semua saran yang diberikan oleh sahabat-sahabatnya itu hanya kedok untuk semakin menyudutkan. Tak satu pun yang dia kantongi untuk dijadikan bahan pertimbangan. Tapi, mendengar ucapan Aira, lelaki tampan itu sesaat terpaku dalam diam.
Lalu tatap mata keduanya bertemu di ruang hampa.
Ada bahasa yang tercipta. Tapi, bahasa yang tak bisa dibaca.