**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. SABTU MALAM
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langit telah gelap, namun gemerlap lampu gantung di sepanjang gerbang dan halaman membuat rumah itu bersinar seperti istana. Rumah megah milik keluarga Wiratama berdiri angkuh di tengah kota.
Arsitekturnya perpaduan gaya klasik Eropa dan sentuhan modern, pilar-pilar tinggi menjulang, dinding putih mengilap dengan ukiran halus di sudut-sudutnya, dan jendela berhias tirai emas gading.
Halamannya luas, dipenuhi tanaman-tanaman mahal yang dipangkas sempurna. Di sisi kanan dan kiri jalan masuk, mobil-mobil mewah berjejer rapi seperti parade kemewahan.
Nadra menatap semuanya dalam diam, menelan ludah pelan. Ia mengenakan gaun panjang berwarna emerald gelap yang membungkus tubuh mungilnya dengan anggun. Bahu terbuka, dengan potongan lembut di pinggang dan rok menjuntai hingga menyapu lantai. Rambutnya disanggul manis, dihiasi pin berbentuk bunga kristal. Riasannya natural, menonjolkan kesan muda dan segar, namun tak kehilangan kelas.
Di sampingnya, berdiri Agra dalam setelan jas hitam dengan dasi berwarna senada gaun Nadra. Sosoknya gagah dan dingin. Sorot mata tajamnya mengarah pada pintu depan yang kini terbuka lebar, memperlihatkan para pelayan mondar-mandir menyambut para tamu yang datang.
Nadra melirik pria di sebelahnya. Tangannya meraih tangan Agra, menggenggamnya erat. Tangannya terasa dingin. "Om Agra, gugup?" bisik Nadra sambil tersenyum tipis.
Agra menoleh. Wajahnya datar, tapi matanya melembut. Ia membalas genggaman Nadra, lalu berkata pelan, "Jangan tanggapi siapa pun malam ini. Apapun yang mereka katakan, abaikan saja. Fokus padaku."
Nadra mengangguk.
Agra menghela napas. Tangannya menggenggam tangan Nadra lebih kuat. "Ayo."
Mereka pun melangkah masuk bersama. Derap sepatu mereka memecah keheningan foyer marmer yang mewah. Ruangan itu dipenuhi tamu-tamu keluarga pejabat, relasi bisnis, dan tentu saja keluarga besar Wiratama.
Dan seperti yang sudah diduga. Begitu mereka memasuki ruangan utama, semua pasang mata langsung beralih kepada mereka. Para tamu berhenti berbicara. Beberapa membelalak, beberapa saling berbisik. Genggaman tangan mereka menjadi pusat perhatian. Tapi Agra tak goyah. Langkahnya tetap mantap, membimbing Nadra menyusuri tengah ruangan.
Dari sisi kiri ruangan, Nayaka berdiri dengan jas abu gelap yang pas di tubuhnya. Wajahnya tegang. Pandangannya mengarah lurus ke Nadra, lalu bergeser tajam ke Agra, dan akhirnya berhenti pada tangan mereka yang saling menggenggam. Mata Nayaka menggelap. Rahangnya mengeras.
Di sisi lain ruangan, Marlina Devi, ibu kandung Agra dan Nayaka berdiri di tangga utama. Mengenakan gaun malam biru tua dengan permata kecil menghiasi bagian dada. Wajahnya tersenyum manis saat melihat Agra.
Tapi begitu matanya menangkap sosok Nadra, langkah Marlina melambat. Senyumnya tetap ada, tapi matanya meneliti gadis muda itu dari ujung rambut hingga ujung gaun. "Siapa gadis itu?" bisik hatinya penuh curiga.
Ia baru hendak melangkah turun, saat tiba-tiba Nayaka lebih dulu bergerak cepat. Seperti angin, Nayaka melangkah menuju mereka. Nadra nyaris tak sempat menoleh saat tangan Nayaka menyambar pergelangan tangannya dan menariknya menjauh dari sisi Agra. "Nadra, ikut aku." Nadanya dingin, hampir seperti perintah.
Nadra terkejut. "Na-Nayaka, tunggu! Ini-"
"Sekarang." Nayaka tak peduli tatapan tamu-tamu yang mulai berbisik panik. Ia membawa Nadra menjauh dari ruangan utama, melewati lorong panjang yang redup cahaya. Di belakang mereka, Agra mengepalkan tangan. Matanya menggelap, tapi ia tetap berdiri di tempat. Napasnya berat.
❌❌❌
Marlina menegakkan tubuhnya, menahan gemuruh di dadanya. Sorotan mata para tamu menusuk. Desas-desus mulai terdengar dari berbagai sudut ruangan. Para pelayan terlihat bingung, beberapa tamu wanita sudah mulai menutup mulutnya dengan kipas sambil berbisik pelan. Suasana malam itu perlahan berubah dari hangat menjadi tegang.
dengan langkah anggun, Marlina Devi berjalan mendekati kerumunan tamu penting. Senyumnya masih mengembang, nyaris tanpa cela. Ia telah terlatih menghadapi badai dengan wajah lembut dan bahasa tubuh elegan. Ia tahu, dalam dunia ini, citra adalah segalanya. Di depannya, berdiri keluarga Prameswari, keluarga terpandang dari kalangan politikus dan pengusaha bangsawan Jawa.
Ayana Prameswari, wanita muda yang dipersiapkan untuk menjadi tunangan Nayaka, berdiri dengan anggun dalam balutan kebaya modifikasi berwarna keemasan. Matanya sempit menatap ke arah lorong tempat Nayaka membawa Nadra.
Di sisi kirinya, berdiri Indira, sang Mama, dengan gaun malam ungu pekat, penuh wibawa dan ketajaman dalam setiap tatapan. Dan tepat di belakang mereka, Surya Adiprana Prameswari, pria setengah baya dengan jas berwarna gelap dan tingkat pendek di tangan. Sorot matanya tajam, mencerminkan kekuasaan dan kebiasaan memerintah.
"Ibu Marlina," Ayana membuka suara dengan lambat, namun nadanya menyimpan ketegangan, "apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Nayaka menarik gadis itu seperti itu? Mereka saling mengenal?"
Belum sempat Marlina menjawab, Indira menyela cepat, suaranya terdengar kering namun menusuk. "Jangan bilang, Nayaka memiliki hubungan dengan gadis yang dibawa Agra tadi?"
Pertanyaan itu membuat beberapa tamu menoleh lebih dekat, pura-pura mengatur posisi, padahal mereka ingin mencuri dengar percakapan panas itu.
Marlina tertawa kecil, suara tawanya terdengar elegan namun sedikit canggung. "Ah, kalian tahu sendiri, kedua putra saya memang selalu bertingkah aneh, jika sudah bersama." Ia tersenyum, lalu melanjutkan, "Mereka terbiasa bersaing sejak kecil, bahkan dalam hal-hal kecil. Mungkin ini hanya bagian dari kedekatan kakak adik."
Indira mengangkat satu alis. "Tapi Nayaka terlihat emosional, dan menarik gadis itu cukup kasar."
Marlina mulai kehilangan pijakan. Tapi ia tetap tenang. Ia menarik napas, "Saya rasa Nayaka dan gadis itu hanya saling kenal. Dan lihat sendiri, gadis itu datang bersama Agra, besar kemungkinan dia adalah teman Agra, bukan lebih dari itu."
Suara Marlina nyaris tak bergetar, meski dalam hatinya mulai muncul kekhawatiran. Ia membatin, "Apa ini semua sudah direncanakan Agra? Di malam pertunangan adiknya sendiri?!"
Surya Adiprana Prameswari, yang sejak tadi hanya diam, kini melangkah satu langkah ke depan. Suaranya berat dan dingin. "Marlina, kami datang dengan kehormatan. Kami percaya keluarga Wiratama tidak akan mempermalukan kami. Tapi jika ternyata ini bentuk pengkhianatan halus," ia menatap tajam, "maka saya pribadi akan mencabut seluruh kerja sama bisnis kita."
Ancaman itu membuat Marlina terpaku sejenak. Ia mengatupkan rahang, lalu buru-buru membuka mulut untuk menjawab. Namun sebelum ia sempat berkata apa pun, tiba-tiba suara berat memotong pembicaraan. "Tenang, Pak Surya."
Sosok Wiratama Nugroho, pemimpin keluarga itu, muncul dari arah barat ruangan. Pria berusia enam puluh dua tahunan itu masih terlihat tegap. Rambut peraknya disisir rapi, jas hitamnya tidak berkedut sedikit pun. Suaranya dalam dan stabil, aura pemimpinnya membuat ruangan terasa hening seketika.
"Jangan salah paham soal Nayaka. Aku tahu benar siapa anakku."
Surya mengerutkan dahi, tapi tidak berkata apa-apa. Marlina menoleh pada suaminya, sedikit lega, namun tetap waspada.
"Aku akan segera menjemput Nayaka dan selesaikan ini malam ini juga," ujar Wiratama dengan tegas. Ia menoleh ke arah Marlina, lalu mengangguk sekali. "Tunggu di sini. Jaga para tamu."
Tanpa menunggu respons, Wiratama berbalik, melangkah cepat ke lorong tempat Nayaka membawa Nadra. Suara sepatu kulitnya menghentak-henyak marmer dengan irama pasti. Wajahnya kini tampak kesal. Sorot matanya berubah gelap, dan rahangnya mengeras.
Bersambung....