Sebagai seorang putra mahkota Kekaisaran Tang, sudah selayaknya Tang Xie Fu meneruskan estafet kepemimpinan dari ibunya, Ratu Tang Xie Juan.
Namun takdir tidak berpihak kepadanya. Pada hari ulang tahun dan penobatannya sebagai seorang kaisar, terjadi kudeta yang dipimpin oleh seorang jenderal istana. Keluarga besarnya tewas, ibunya dieksekusi mati, dan kultivasinya dihancurkan.
Dengan cara apa Tang Xie Fu membalaskan dendamnya?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muzu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjuangan Sekte Api Suci
“Kalau memang kau tidak ingin membunuhku, apakah kau bisa membantuku tetap hidup?” Xiao Zhao menatapnya penuh harap.
Permintaan yang membuat Xie Fu seketika mengernyit dan menaikan sebelah alisnya. Sedikit lama ia terdiam hingga akhirnya berucap, “Seorang kultivator sepertimu meminta bantuan dariku?”
Kesunyian menyela di sisipan kalimat tanya sang pria bertopeng, membuat sorot mata yang sebelumnya bersinar, kini meredup memutuskan asa untuk bisa mendekatinya.
“Ya sudah, aku mengerti maksudmu,” timpal sang gadis dengan nada pelan.
Beberapa saat setelah berakhirnya perbincangan keduanya, Xiao Zhao termangu memandang kepergian si pria bertopeng dengan senyum bercampur kesedihan yang mendalam di hatinya.
“Ada apa dengan diriku? Mengapa aku merasa sesak melihat kepergiannya?” gumamnya pelan seraya menekan dada.
Di area lain ruang rahasia, pertarungan antara sekte-sekte besar yang menghadapi sekte-sekte kecil terlihat menjadi yang paling sengit dibandingkan dengan pertarungan para tetua sekte menghadapi kultivator alam dewa. Jumlah yang mendominasi dari sekte-sekte kecil itu mampu memberikan perlawanan yang seimbang menghadapi perwakilan dari sekte besar. Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa mendominasi pertarungan. Kadang mereka tersudutkan, kadang pula menyudutkan. Jual beli serangan terus terjadi di sepanjang jalannya pertarungan yang kian menyusutkan jumlah anggota di antara kedua kubu.
Masih berada dalam pertarungan antara kedua kubu berlawan itu, Wancheng bersama murid-muridnya dari Sekte Api Suci mulai merasakan tekanan berat menghadapi lawan yang tengah mereka hadapi.
“Guru, jumlah mereka semakin banyak!” seru Yunfei yang berada di posisi terdepan.
Wancheng yang tengah menghadapi dua orang tetua sekte sekilas menoleh ke arah pertarungan murid-muridnya. Jarak dirinya dengan murid-murid sekte semakin melebar jauh. Pada saat itulah ia merasakan adanya jebakan yang membuatnya terpisah dari anak asuhnya. “Sial, ini jebakan!” rutuknya, lalu mundur seraya menghalau beberapa serangan yang datang ke arahnya.
Namun, langkah mundurnya itu justru disalahpahami oleh kedua penyerangnya. Mereka menganggap Wancheng mulai tersudutkan.
“Ha-ha-ha! Ternyata kau tidak sehebat yang kami sangka,” racau seorang tetua merasa di atas angin berhasil menyudutkan lawannya.
“Bodoh, sampai saat ini pun kalian belum bisa menyentuhku!” sahut Wancheng memprovokasi. Ia mundur bukan kerana dirinya tersudutkan, melainkan untuk mencari kesempatan membantu murid-muridnya yang terjebak.
“Bajingan, sudah mau mati masih bisa mengumpat!” timpal seorang lagi. Emosi keduanya meluap, lalu meningkatkan serangan dengan menguras seluruh energi spiritual yang dipadukan dengan berbagai jurus andalan.
Namun, hal itu justru sengaja dilakukan Wancheng untuk mencari titik lemah dari serangan keduanya agar bisa menyelesaikan pertarungan dengan cepat. Ia pun terus melangkah mundur seraya menghalau serangan yang bertubi-tubi menghantamnya. Beberapa kali serangan cepat lawan hampir mengenai tubuhnya, tetapi ia selalu sigap mengadang dengan memutar ayunan pedang mengikuti arah serangan lawan.
Sejurus kemudian, Wancheng mulai melihat adanya celah dari gerakan lawan yang tidak sempurna. Ia kemudian mengalirkan energi spiritualnya ke bilah pedang dan langsung menebaskan pedangnya secara menyamping ke tubuh salah seorang tetua yang berdiri di sisi kiri tubuhnya. Rupanya Wancheng tidak sekadar mengalirkan energi qi spiritualnya saja, ia juga mengerahkan kekuatan jiwa dan satu jurus andalannya hingga menimbulkan desingan angin yang tajam bagaikan tiupan peluit panjang.
“Ah ...!”
Terdengar suara kesakitan dari mulut seorang tetua sekte. Ia membelalak setelah menyadari bagian dadanya terbelah dan kobaran api menyala keluar dari luka di dadanya. Dan pada saat kedua tetua sekte masih dalam keadaan terkejut itulah, Wancheng mengayunkan kembali pedangnya ke leher keduanya dengan sekali gerakan cepat.
Slash!
Kedua tetua sekte mengorok keras, lalu terjungkal ke belakang. Keduanya tewas seketika dengan leher nyaris terputus dan terbakar.
Bersamaan dengan tewasnya kedua tetua tadi, murid-murid Sekte Api Suci mulai terdesak oleh serangan-serangan ganas dari puluhan murid-murid sekte lain yang mengepung. Dari pertarungan itu, beberapa murid Sekte Api Suci meregang nyawa. Kini hanya tersisa tiga orang murid saja, yaitu Yunfei, Guoliang, dan seorang gadis bernama Ji Ruyan. Ketiganya terus berusaha untuk bertahan diri dari kepungan musuh yang jumlahnya terus bertambah.
Wancheng yang telah menyelesaikan pertarungannya segera berkelebat untuk menolong. Namun, tiba-tiba saja ia menghentikan langkah ketika merasakan adanya gelombang energi yang melesat cepat ke arahnya. Ia pun dengan sigap menghindarinya dengan melompat dan menjatuhkan diri sampai harus bergulingan di atas tumpukan mayat.
Seketika Wancheng meradang melihat kedatangan lima tetua sekte yang menghalangi jalannya. Perlahan-lahan ia bangkit berdiri dan mengedarkan pandangan ke wajah para tetua sekte yang menatapnya sinis.
“Ha-ha-ha! Datang lagi lima ekor keledai yang rela menggadaikan harga diri demi menjilat kepada sebongkah mayat,” kekeh Wancheng di tengah tatapan sinis para tetua. “Sebaiknya kalian bunuh diri saja untuk terus menjilat kaki pria sombong itu yang sudah jadi mayat. Lagi pula, kalian hanya aib di alam fana ini. Memalukan!”
Aura di tubuh Wancheng seketika meletup keluar untuk menahan tekanan aura dari kelima tetua sekte yang tersulut emosi. Dalam sorot matanya yang tenang, ada rasa gelisah yang sulit untuk disembunyikannya. Ia masih memikirkan keselamatan murid-muridnya yang berada beberapa puluh tombak dari posisinya berdiri.
“Bajingan tengik, kau pantas mati!” murka seorang tetua sekte. Ia melesat menerjang Wancheng dengan melontarkan cambuk api yang dialiri energi qi spiritual.
Boom!
Ledakan keras terdengar dari tanah yang terbelah akibat terkena cambukan keras. Wancheng yang berhasil menghindarinya mulai meningkatkan kewaspadaan setelah mengetahui betapa berbahayanya cambukan api dari tetua sekte itu. Namun, yang harus lebih diwaspadainya adalah keempat tetua sekte yang sedang menggabungkan kekuatan. Meskipun kultivasi keempat tetua sekte itu masih berada di bawahnya, tetapi jika digabungkan akan membuatnya lebih tinggi dari ranah kultivasinya sendiri.
Serangan kembali datang, tetapi kali ini bukan dari si pemilik cambuk api, melainkan dari keempat tetua sekte yang melemparkan bola api besar ke arahnya. Ia lekas melompat ke atap, tetapi gagal. Kakinya entah kapan sudah terlilit tali cambuk. Alhasil, bola api itu menghantam tubuhnya dengan keras hingga membuatnya terpental ke dinding, lalu jatuh dengan tubuh yang terbakar.
“Ah …!” jerit histeris Wancheng terdengar memilukan di ruang rahasia. Tak berselang lama, ia pun tewas dengan tubuh yang masih terbakar.
“Guru Cheng …!” teriak Ji Ruyan dari kejauhan. Ingin sekali ia berlari ke arah sang guru yang tergeletak dengan tubuh masih dilahap si jago merah, tetapi kondisi dirinya sendiri pun harus diselamatkan.
Bersama Guoliang dan Yunfei, Ji Ruyan terus berupaya mempertahankan diri dari serbuan murid-murid sekte yang makin beringas mengeroyoknya secara membabi-buta dengan lemparan-lemparan energi spiritual dalam berbagai bentuk.
“Aku tidak boleh mati,” racau Yunfei mencoba menguatkan hati di tengah gempuran musuh.
Di hadapan mereka berdiri lebih dari empat puluh murid gabungan dari beberapa sekte yang sebagian besar merupakan murid inti yang berada di ranah Pendekar Perak, satu tingkat di bawah Yunfei dan Guolian yang sudah berada di ranah Pendekar Emas. Sementara Ji Ruyan masih berada di ranah Pendekar Perunggu. Secara tingkatan kultivasi, gadis itu menjadi yang terlemah di antara kedua kakak seperguruannya, tetapi ia memiliki tubuh langka yang jarang dimiliki oleh kultivator lain di alam fana.
"Berlututlah, maka kami akan memberikan kalian kematian yang cepat!" kata seorang murid sekte berjubah kuning sambil mengacungkan pedang ke wajah Yunfei.
“Cih!” Yunfei melemparkan saliva ke wajah murid yang mengacungkan pedang ke arahnya. “Berlutut di bawah kaki seorang penjilat?” Iya pandangi wajah pemuda di depannya dengan pandangan jijik. “Bahkan seekor ayam yang kumakan masih punya harga diri dibanding kalian semua.”
“Kau …!” balas si pemuda berjubah kuning terlihat gugup karena saking malunya.
jawab gitu si Fan ini tambah ngamuk/Facepalm/