Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Painters VS Glamora
Tentu! Berikut Bab 5 dari cerita The Painters, ditulis sepanjang ±2000 kata sesuai pedoman gayamu. Sudut pandang tetap orang ketiga, dengan tone seperti film Marvel — emosional, penuh aksi, dan sedikit nuansa jenaka yang manusiawi.
Ajie belum sempat melepas helmnya ketika suara itu datang—tinggi, jernih, dan menusuk seperti kristal yang meledak di tengah malam.
"Akhirnya. Seniman tanpa panggungnya."
Ajie memutar tubuhnya cepat, instingnya menegang. Di atas panggung gala yang tadi dipenuhi lampu sorot dan senyum palsu, kini berdiri seorang perempuan dalam balutan kostum yang tak bisa dijelaskan dengan logika biasa. Gaun ketat berwarna holografik, berkilauan memantulkan cahaya seakan tubuhnya dibuat dari serpihan bintang. Mikrofon mengambang di depannya, tak tersentuh, tapi mengeluarkan suara dengan kekuatan ribuan watt.
"Glamora..." gumam Ajie, suaranya nyaris tak terdengar di balik helmnya.
"Awww, kau kenal aku?" Glamora menyeringai. Cahaya di sekelilingnya mendadak berubah warna—biru, lalu merah, lalu keemasan yang menusuk mata. "Kukira Paint Man bukan tipe yang suka nonton infotainment."
"Aku bukan Paint Man," sahut Ajie cepat. "Namaku The Painters."
“Lebih dramatis. Aku suka,” ujarnya, melangkah turun dari panggung. Setiap jejaknya meninggalkan pantulan cahaya yang tetap menggantung di udara, seperti sisa cahaya kembang api yang belum mau mati. “Sayangnya... aku benci drama yang bukan milikku.”
Dia mengangkat tangannya.
Dan dunia berubah jadi putih.
Ajie hanya sempat menurunkan posisi tubuhnya sebelum ledakan cahaya menyembur dari arah Glamora. Seperti disambar matahari dalam jarak dua meter, sinar itu bukan cuma menyilaukan—ia juga membawa dentuman sonik yang menghancurkan semua kaca di radius seratus meter. Orang-orang menjerit. Sebagian berusaha melarikan diri. Sebagian hanya terdiam, terlalu terpaku oleh sosok 'bintang' yang tengah mengamuk.
Ajie mencabut cat semprot dari sisi armornya, lalu menyapu udara di depannya dengan gerakan setengah lingkaran.
FSSSHHHH!
Cat hijau menyembur, mengeras jadi lapisan tebal mengkilap di udara—perisai melengkung yang memantulkan cahaya.
Tabrakan antara dua energi itu—cahaya holografik dan cat kimia radioaktif—menghasilkan dentuman yang tak kalah memekakkan telinga. Gedung-gedung berguncang. Lampu-lampu padam. Awan debu membumbung, membuat separuh kawasan Ancol serasa diliputi kabut perang.
Ajie terpental tiga meter, jatuh terguling di aspal, tubuhnya terhentak keras meski armor menyerap sebagian besar dampak. Tapi kepalanya berdengung. Jantungnya seperti berlari lebih cepat dari akal sehatnya.
Dia belum pernah menghadapi musuh seperti ini. Bukan hanya karena kekuatan Glamora yang liar, tapi juga karena...
Penonton bertepuk tangan.
Ya. Meski baru saja terjadi ledakan dan kekacauan, sebagian orang—mungkin karena efek suara Glamora, atau pantulan cahaya yang membius otak—berdiri di pinggir ruangan dan bertepuk tangan. Seperti mereka sedang menonton konser.
Ajie bangkit. Armor-nya berderak, cat hijau masih menetes di sisi helmnya.
"Glamora!" teriaknya. "Ini bukan panggungmu! Kau membahayakan nyawa banyak orang!"
“Oh, tapi mereka mencintaiku,” katanya sambil berputar seperti diva. “Apa kau tidak dengar? Mereka tak bisa membedakan pertunjukan dengan bencana. Dan itu… kesalahanku?”
Ajie tak menunggu lebih lama. Cat merah menyembur dari telapak kirinya, membentuk cambuk yang menyambar ke arah mikrofon plasma di depan Glamora.
Namun benda itu menghilang.
Glamora tersenyum dan muncul lima meter ke kanan, seolah-olah dia hanya ilusi. “Ups. Kamu nggak sadar, ya? Aku nggak berdiri di satu tempat.”
Ajie melirik cepat panel di helmnya, mencoba membaca spektrum cahaya di sekitar. Tapi semua serba palsu. Lima bayangan Glamora berkelebatan di layar. Lima sumber suara. Lima intensitas cahaya.
“Berani nebak, mana aku yang asli?” tanya suara Glamora lagi—kali ini dari belakangnya.
Ajie berputar—dan terlalu lambat.
Tendangan bersinar dari high-heel Glamora menghantam dadanya, membuatnya terpental ke kios makanan yang belum sempat dibongkar. Besi-besi tenda berderak, tabung gas terguling, dan asap tipis menyebar dari sisa pembakaran lilin aroma terapi.
“Bangun, Seniman! Jangan bikin panggungku jadi membosankan!”
Ajie mengerang. Ototnya berdenyut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menekan bagian kiri helmnya.
“Mode: Vortex Green.”
Cat hijau menyembur dari dua sisi bahunya, membentuk pusaran mini yang menyedot partikel di sekitarnya. Ia mengangkat tangannya, lalu melepaskan dua semburan lurus ke arah Glamora—bukan untuk menyerang, tapi untuk mengganggu pantulan cahaya.
Dan itu berhasil.
Satu dari lima bayangan Glamora bergetar, lalu pecah seperti kaca.
Ajie mengejar. Cambuk cat merahnya terulur, membelit kaki satu hologram lagi—pecah. Tapi yang ketiga, yang keempat, menghindar dengan gerakan luwes seperti penari profesional.
“Awww... kau belajar cepat juga, ya?” Glamora terdengar geli. “Tapi... masih belum cukup cepat.”
Dari sisi kiri, gelombang suara ultra tinggi memecah arah. Ajie refleks mengangkat perisai hijau. Tapi kali ini suara itu bukan cuma bunyi—ia masuk ke dalam kepala, menggoyahkan keseimbangan, menekan emosi seperti palu godam yang menghantam dada.
Dalam sepersekian detik, Ajie merasa… takut.
Panik.
Putus asa.
Suaranya sendiri—“Kau bukan pahlawan, Ajie. Cuma montir gagal yang main cat.”—bergema di telinga. Bayangan ayahnya muncul. Wajah Melly, kecewa. Juwita, menatap dengan tatapan asing.
“Berhenti...” gumamnya. “Itu bukan aku...”
“Ah, emosi manusia,” kata Glamora pelan, melayang turun dari langit penuh debu. Mikrofon kini menyala lembut, seperti lilin maut. “Mudah sekali dimanipulasi. Sedikit cahaya, sedikit nada... dan panggung jadi milikku lagi.”
Ajie berlutut.
Kakinya goyah. Kepalanya berat.
Tapi jauh di balik kabut mental itu, ada satu suara kecil yang tetap menyala—suaranya sendiri. Bukan dalam bentuk keyakinan... tapi kemarahan.
Kemarahan bahwa seseorang seperti Glamora bisa mempermainkan emosi orang lain sesuka hati. Bahwa dia, The Painters, tidak boleh kalah bukan karena ingin menang—tapi karena orang-orang di sekitar masih butuh dia.
Dengan sisa tenaga, Ajie meraih bagian pinggang armornya.
“Override. Warna Putih.”
Cairan putih menyembur dari seluruh permukaan armor. Warna yang tak punya efek ofensif—tapi mampu menyerap cahaya dan mematikan refleksi. Dalam lima detik, seluruh tubuh Ajie berubah seperti patung marmer tanpa kilau.
Glamora tersentak.
“Apa—”
Ajie menendang ke depan, menghapus bayangannya dari sensor cahaya.
Dalam gelap.
Dalam senyap.
Dia melompat, lalu menghantam Glamora tepat di bahu, menjatuhkannya ke jalanan.
BRAK!
Kedua tubuh itu terguling di aspal. Ajie mencengkeram mikrofon plasma dan membekukannya dengan semprotan cat biru—pengunci suhu.
“Tamat pertunjukanmu, Glamora.”
Tapi dia salah.
Cahaya kecil menyala di mata Glamora—seperti titik laser dari dalam pupilnya. Detik berikutnya, semburan cahaya menabrak helm Ajie, memecahkan satu lapisan pelindungnya. Retakan membentuk sarang laba-laba di visor.
Ajie mundur. Dadanya sesak. Energi di armor mulai menipis.
Dan Glamora berdiri pelan, membelai rambutnya yang bersinar seperti neon Tokyo. “Panggung ini belum selesai. Aku belum menyanyikan lagu terakhirku.”
Sirene mulai terdengar dari jauh.
Polisi. Pasukan pengaman.
Tapi Glamora hanya tertawa. “Simpan lagu ini untuk penonton yang lebih besar, The Painters.”
Dengan satu ketukan di gelang holografiknya, tubuhnya terfragmentasi jadi jutaan partikel cahaya. Menghilang, seperti ilusi yang terlalu sempurna.
Ajie terdiam, napasnya berat. Sekujur tubuhnya sakit. Tapi bukan itu yang membuatnya terpaku.
Di sekelilingnya, orang-orang mulai sadar dari efek suara. Sebagian pingsan. Sebagian menangis. Sebagian… merekam dengan ponsel.
Dan dari kejauhan, ia mendengar gumaman pelan seorang wanita tua.
"Dia beneran monster, ya?"
Ajie menoleh cepat.
Tapi si nenek sedang bicara tentang dirinya. Tentang The Painters.
Dan itu yang lebih menghantam daripada cahaya apapun.
Reputasi Ajie mulai rusak karena manipulasi emosi dari Glamora, meskipun dialah yang menyelamatkan orang-orang. Tekanan mulai muncul bukan hanya dari musuh, tapi dari masyarakat sendiri.
Bersambung....