Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.
update setiap hari (kalo gak ada halangan)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Dua jam sebelumnya…
Devan tiba di rumah, menunggu Rosmala yang masih bersiap di kamar. Ia duduk santai di ruang tamu, menggulir layar ponselnya tanpa tujuan. Bukan pekerjaan kali ini, hanya mencari hiburan kecil sambil menunggu.
Tak lama kemudian, suara langkah pelan terdengar dari arah kamar. Neneknya keluar dengan pakaian rapi lengkap, rambutnya disanggul rapi, dan bros bunga tersemat di bahunya. Ia berjalan pelan namun tegap, lalu duduk di sebelah Devan.
Devan meliriknya, menatap dari ujung kepala hingga kaki. “Ami mau pergi?” tanyanya heran.
“Ami dengar kamu mau makan sama mamamu. Ami ikut, ya,” jawab sang nenek dengan senyum lembut.
Devan hanya mengangguk pasrah. Bahkan saat itu pun, ia belum menyadari maksud tersembunyi di balik ajakan makan malam Rosmala malam ini, bahwa “mencoba restoran baru” hanyalah alasan untuk mempertemukannya dengan Mawar.
Devan sosok yang keras kepala. Sekali menolak, hampir mustahil baginya untuk berubah pikiran. Tapi Rosmala tahu, memaksa secara langsung tak akan berhasil. Ia memang menyukai Mawar, jadi ia memutar cara. Kali ini, ia memilih untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Sekalian saja makan bersama sekeluarga, pikirnya. Dengan begitu, Devan tak akan bisa mengelak atau kabur begitu saja.
Tak lama, Rosmala keluar dari kamar bersama suaminya, keduanya tampak rapi dan siap berangkat. Beberapa langkah kemudian, pintu kamar Dania ikut terbuka, juga ikut keluar dengan pakaian santai tapi rapi.
Devan mengernyit heran. “Kalian ikut juga?”
Rosmala tersenyum tenang, seolah semuanya sudah direncanakan. “Kita udah lama gak makan bersama, sekalian aja,” jawabnya ringan.
Singkatnya, mereka tiba di restoran yang baru dibuka sebulan lalu. Suasananya masih ramai, dipenuhi pelanggan yang penasaran mencoba tempat baru itu. Devan duduk sambil membuka buku menu, menimbang-nimbang pesanan dengan tenang. Sementara Rosmala tampak gelisah, matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk.
Tak lama kemudian, seorang perempuan muda datang bersama pria paruh baya. Mawar dan ayahnya, Heri. Begitu melihat mereka, Rosmala langsung mengangkat tangan, memberi isyarat. Devan mengerutkan kening, sempat bingung karena mereka bahkan belum memesan makanan. Ia mengangkat kepala, lalu mendesah panjang begitu melihat siapa yang datang.
“Ma…” panggilnya pelan, nada suaranya setengah putus asa. Kini ia paham alasan kenapa seluruh keluarganya ikut.
Rosmala mendekat, berbisik dengan senyum penuh harap, “Mawar mau kenal kamu lebih dalam lagi. Dia suka sama kamu, Dev.”
Devan mendecak pelan, kesal karena sadar baru saja dijebak oleh mamanya sendiri. Begitu Mawar muncul, Rosmala langsung tersenyum lebar. Yah, bukan cuma dia, semua keluarga terlihat antusias, kecuali Devan yang duduk dengan wajah datar.
“Halo, Tante, Om…” sapa Mawar sopan, lalu menatap ke arah nenek Devan dengan sedikit ragu.
“Ami,” jawab sang nenek cepat, tersenyum ramah. “Panggil Ami aja. Semua cucuku begitu.”
“Ah, baik, Ami,” ulang Mawar lembut, sedikit gugup tapi tetap sopan. Pandangannya lalu bergeser pada gadis remaja di sebelah Devan.
“Ini Dania, adiknya Devan,” jelas Rosmala dengan bangga. Dania hanya mengangguk tipis sambil tersenyum sopan.
Mawar membalas senyum itu, berusaha memberi kesan baik di pertemuan pertamanya. Setelah itu, ia dan ayahnya duduk bergabung di meja.
Sementara semua tampak akrab, Devan justru duduk diam dengan rahang mengeras. Dalam hati, ia merasa kesal, seluruh keluarganya kompak menutupi rencana ini darinya, seolah-olah pendapatnya sama sekali tak penting.
Rosmala menyikut lengannya pelan. “Jaga ekspresi wajahmu, senyum sedikit,” bisiknya.
“Kudengar Devan gak mau dijodohkan. Kalau boleh tahu, kenapa?” tanya Heri membuka percakapan.
“Bukan gak mau. Hanya saja, dia butuh waktu buat lebih mengenal Mawar,” jawab Rosmala cepat.
Devan melirik ibunya malas. Sejak kapan aku bilang begitu? batinnya, kesal. Wajahnya kini masam, siapa pun bisa tahu suasana hatinya sedang buruk.
“Mawar minta ketemu lagi. Kebetulan kita sekeluarga juga mau makan bersama, jadi sekalian aja, kan?” kata Rosmala lagi, masih berusaha terdengar ramah.
“Gimana kalau kita makan dulu?” potong Ami. Sejujurnya, ia memang sudah berniat makan di sana, makanya tadi sengaja tidak menyentuh makanan apapun sebelum berangkat. Tapi Rosmala tak berhenti berbicara, hingga kini perutnya mulai meronta.
Mereka pun memesan makanan dan mulai menyantapnya. Di antara semuanya, hanya Devan yang tak berselera. Padahal tadi ia lapar, tapi entah kenapa, rasa lapar itu lenyap begitu saja.
Selesai makan, mereka kembali melanjutkan pembicaraan.
“Jadi, kalian benar-benar berencana menikahkan mereka?” tanya Ami, menatap bergantian antara Rosmala dan Heri.
“Tentu aja,” jawab Rosmala mantap. “Devan udah hampir tiga puluh. Teman-temannya satu per satu menikah, tinggal dia yang belum.”
“Mawar juga begitu,” timpal Heri sambil tersenyum tipis. “Dia terlalu fokus sama pekerjaan, sampai lupa memperhatikan masa depannya. Kadang saya khawatir, dia gak akan sempat menikah kalau terus begini.”
Ami mengangguk pelan, berusaha memahami. Di matanya, Mawar memang tampak sopan dan berkepribadian baik, sosok yang, setidaknya, layak dijadikan istri.
Ia lalu menatap gadis itu lembut. “Kamu sendiri gimana, Mawar? Kamu suka Devan?” tanyanya.
Mawar terdiam sesaat. Pandangannya bergeser perlahan, menatap satu per satu orang di sana. Ada keraguan di matanya, tapi juga sesuatu yang sulit dijelaskan, mungkin gugup, mungkin malu. Devan menatapnya lekat-lekat, menunggu kata-kata keluar dari bibir wanita itu.
Lalu, dengan napas yang sedikit bergetar, Mawar mengangguk pelan.
Devan terkekeh kecil, separuh tak percaya. Bukankah Mawar sendiri yang bilang, perjodohan ini hanya demi perusahaan, bukan karena perasaan?
“Kalau kamu sendiri gimana?” tanya Ami, lembut tapi penuh rasa ingin tahu.
Devan tak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama, menatap sekeliling seolah mencari keberanian di antara wajah-wajah yang menunggunya.
Lalu, tepat saat keheningan mulai terasa berat, pintu terbuka. Jovita melangkah masuk. Senyum samar muncul di bibir Devan.
“Aku udah punya pacar,” katanya tenang, tapi cukup untuk membuat semua orang tertegun.
Tanpa banyak kata lagi, Devan melangkah pergi, meninggalkan mereka yang masih terpaku di tempat, mengikuti langkahnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
Devan tanpa banyak bicara melangkah cepat ke arah Jovita. Tangannya terulur, menarik tangan wanita itu dengan tegas namun lembut, membuat semua mata langsung tertuju pada mereka. Ia membawanya tepat di hadapan semua orang, lalu merangkul pinggang Jovita seolah itu sudah hal yang biasa.
“Dia pacarku,” ucapnya lantang, nada suaranya penuh keyakinan.
Ruangan seketika hening. Beberapa orang bahkan ternganga tak percaya. Mawar membeku di tempatnya, matanya melebar, bibirnya terbuka tanpa suara. Ia menatap Devan dan Jovita bergantian, seperti mencoba memastikan apakah yang dilihatnya benar.
Devan menambahkan dengan tenang, “Kami bahkan berencana menikah.”
Ucapan itu membuat Jovita spontan menoleh ke arahnya, matanya membulat, alisnya bertaut tajam menahan keterkejutan. Tapi Devan hanya tersenyum samar, tangannya tak melepas pinggang wanita itu.
Ia mendekat sedikit, hingga suaranya hanya bisa didengar oleh Jovita. “Senyumlah,” bisiknya lembut, namun penuh tekanan halus.
Jovita menatapnya sejenak, antara bingung, kesal, dan pasrah, sebelum akhirnya menarik napas pelan, berusaha tersenyum di tengah puluhan tatapan yang kini menancap padanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi sekarang?” bisik Jovita pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Devan tak langsung menjawab. Ia hanya menatap ke depan dengan senyum tenang yang entah bagaimana justru membuat suasana semakin tegang.
Di antara semua orang, Rosmala tampak paling terkejut. Matanya membesar, mulutnya terbuka separuh, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Sebentar… jadi, dia pacar kamu?” tanyanya ragu, menunjuk ke arah Jovita.
Devan menoleh pelan, lalu mengangguk ringan seolah hal itu bukan masalah besar. “Iya,” katanya santai, masih dengan nada tenang yang membuat semua orang terdiam.
“Jadi berhenti menjodohkanku,” lanjutnya tanpa kehilangan senyum. Ucapannya terdengar lembut, tapi cukup tajam untuk menutup semua kemungkinan perdebatan.
Rosmala terkekeh kecil, masih sulit percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Di sampingnya, Mawar berusaha menahan diri. Tangannya mencengkeram serbet di pangkuannya begitu kuat sampai kainnya berkerut. Senyum tipis tersungging di bibirnya, tapi jelas terlihat kalau ia sedang menahan marah.
Sekali lagi, harga dirinya terasa ditampar. Devan baru saja mempermalukannya di depan seluruh keluarga.
Tatapan Mawar pun berubah tajam. Ia menatap Jovita lama, mengamati setiap detail wajahnya, seolah ingin mengingatnya baik-baik.
“Aku udah ada rencana dengannya, jadi harus pergi sekarang,” kata Devan akhirnya, masih terdengar tenang. Ia lalu menggenggam tangan Jovita dan menariknya pergi, meninggalkan ruangan yang masih dipenuhi keheningan dan tatapan penuh tanda tanya.
Saat mereka hampir melewati pintu, Karen tiba-tiba muncul dari arah berlawanan. Ia berhenti mendadak, menatap keduanya dengan ekspresi bingung.
“Jo, mau ke mana?” tanyanya heran.
Jovita hanya bisa mengangkat bahu, langkahnya terpaksa mengikuti tarikan tangan Devan yang tak memberi kesempatan untuk menjelaskan apa pun. “Nanti aku jelasin,” ucapnya cepat sebelum benar-benar ditarik keluar.
Karen mengerutkan kening, masih menatap punggung mereka yang menjauh. “Itu Devan?” gumamnya pelan, matanya makin menyipit. “Ngapain dia narik Jovita begitu?”
To Be Continued