NovelToon NovelToon
Cinta Kecil Mafia Berdarah

Cinta Kecil Mafia Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Beda Usia / Fantasi Wanita / Cintapertama / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Zawara

Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.

Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.

Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.

Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Adik Jahannam

Sementara itu, suasana di SMA Pelita Bangsa berjalan seperti biasa. Hiruk pikuk siswa yang baru datang memenuhi koridor. Namun, ada satu bangku kosong di kelas XI IPA 3 yang menarik perhatian Riani sejak bel masuk berbunyi lima menit yang lalu.

"Woy, Dan! Zoya mana?" tanya Riani sambil menendang kecil kaki kursi Dandi yang duduk di depannya.

Dandi menoleh, alisnya bertaut bingung. "Lah? Mana gue tau. Gue kira dia bareng lo tadi pagi."

"Kalo bareng gue, ngapain gue nanya lo, Bambang!" Riani mendengus kesal, jari-jarinya dengan cepat mengetik pesan di ponselnya, mencoba menghubungi sahabatnya itu.

Ting!

Ting!

Pesan hanya ber centang dua abu-abu. Tidak dibaca.

"Tumben banget tu anak gak ada kabar," gumam Andre yang duduk di sebelah Dandi, ikut nimbrung. "Biasanya kalo bolos dia paling rajin ngabarin di grup, ngajakin mabar."

"Sakit kali?" tebak Dandi. "Kemaren kan dia 'mati' pas kita main. Kali aja jadi mayat beneran."

Plak!

Riani menjitak kepala Dandi dengan buku tulis. "Sembarangan lo kalo ngomong! Jangan sampe lah."

Meski Dandi bercanda, Riani tidak bisa menepis rasa khawatirnya. Zoya adalah tipe anak yang hiperaktif dan jarang sekali sakit. Kalaupun sakit, dia pasti akan merengek di grup chat minta dibawakan makanan enak. Keheningan Zoya hari ini terasa tidak wajar.

"Gue telpon gak diangkat," lapor Riani, mulai panik. "Gimana nih? Gue jadi kepikiran."

Dandi melihat jam dinding kelas. Pak Guru sebentar lagi masuk. "Yaudah, nanti pulang sekolah kita serbu rumahnya aja. Sekalian minta jatah makan siang sama Bi Inem."

"Setuju," sahut Andre. 

Riani mengangguk, meski matanya masih menatap layar ponsel yang menampilkan room chat kosong dari Zoya. Perasaannya tidak enak sejak mereka berpisah di perempatan jalan kemarin sore.

Sementara itu, di kediaman Zoya.

"Aduh, pelan-pelan dong, Non. Itu perbannya kekencengan, nanti Bapaknya engap," tegur Bi Inem saat melihat Zoya dengan semangat 45 melilitkan perban baru ke dada Bram.

"Eh, kekencengan ya? Maap, Pak, maap. Aku kira kayak ngiket kado biar rapi," ucap Zoya polos, buru-buru melonggarkan lilitan perbannya.

Bram hanya bisa pasrah. Seumur hidupnya bergelut di dunia kelam dan menghadapi musuh-musuh beringas, baru kali ini ia merasa nyawanya terancam justru karena kepolosan seorang gadis remaja yang sedang merawatnya. 

"Sudah, sudah cukup," kata Bram dengan suara serak, menahan tangan Zoya yang hendak melilitkan perban untuk kelima kalinya. "Saya bisa jadi mumi kalau kamu teruskan."

Zoya nyengir kuda. "Hehe, ya udah deh. Yang penting lukanya ketutup."

Zoya mundur selangkah, mengagumi hasil "karya" nya, Bram yang kini terlihat lebih tebal di bagian dada karena lilitan perban yang sedikit berantakan. Gadis itu kemudian duduk di kursi samping tempat tidur, mengambil apel yang sudah dikupas Bi Inem, lalu memakannya sendiri sepotong sebelum menyodorkannya pada Bram.

"Nih, Pak, makan buah biar cepet sembuh. Kata Bi Inem ini vitamin C nya tinggi, bagus buat yang abis kena tembak. Eh, bapak ketembak kan ya kemarin? Apa ketusuk?"

Bram menerima potongan apel itu dengan tangan kanannya yang masih bisa digerakkan leluasa. Ia menatap gadis yang tadi sempat mengenakan seragam SMA, tapi kini sudah berganti memakai kaos oblong santai itu.

"Kamu tidak sekolah?" tanya Bram. Ia baru sadar hari ini adalah hari sekolah.

Zoya yang sedang mengunyah apel langsung tersedak pelan. "Uhuk! Ah, itu... anu, Pak. Aku bolos."

"Kenapa?" Tatapan Bram menajam, naluri interogasinya keluar. "Apa karena saya?"

"Dih, GR banget si Bapak," elak Zoya, meski wajahnya sedikit memerah karena ketahuan. 

"Aku cuma... ya kali Aku tega ninggalin Bi Inem sendirian ngurusin Bapak yang badannya segede gaban gini? Kalo Bapak tiba-tiba ngamuk atau pingsan lagi kan kasian Bi Inem."

Bram terdiam. Jawaban jujur dan ceplas-ceplos itu membuatnya sedikit terenyuh. Di dunianya, orang hanya berbuat baik jika ada imbalan. Tapi gadis ini menolongnya, bahkan rela membolos sekolah demi merawat orang asing yang berbahaya sepertinya. 

"Maaf sudah merepotkanmu," ucap Bram tulus, menurunkan sedikit nada bicaranya yang biasanya dingin.

"Santai elah, Pak. Lagian di sekolah juga paling cuma dengerin Pak Bambang ngoceh soal Sejarah. Lebih seru di sini, jagain Bapak kayak jagain tawanan perang beneran."

Bram hampir tersedak apelnya mendengar dirinya disamakan dengan 'tawanan perang'.

Drrt... drrt…

Ponsel Zoya yang tergeletak di nakas bergetar panjang. Zoya melirik layar ponselnya yang menyala.

Riani Bawel 👺 is calling…

"Mampus," umpat Zoya pelan. "Riani nelpon. Pasti nyariin gue."

"Angkat saja," kata Bram. "Jangan buat temanmu khawatir."

Zoya menggigit bibir bawahnya, ragu. Kalau ia mengangkat telepon Riani, ia harus punya alasan bagus kenapa tidak masuk sekolah. Ia tidak mungkin bilang, 'Sorry gue gak masuk, lagi ngerawat om-om ganteng korban tembak-tembakan di kamar gue.' Bisa heboh satu sekolah.

"Eungg... nanti aja deh. Palingan mau nagih utang kas kelas," Zoya membalikkan ponselnya, mengabaikan panggilan itu.

Ia tidak tahu bahwa keputusannya itu justru akan membawa pasukan "pemeran perang" kemarin sore datang menyerbu rumahnya sebentar lagi.

...***...

Di sebuah gedung pencakar langit yang berdiri angkuh di pusat kota, suasana mencekam menyelimuti lantai teratas. Kontras dengan kediaman Zoya yang hangat dan sederhana, ruangan mewah bernuansa monokrom itu terasa dingin dan penuh intimidasi.

Ruangan itu sunyi, terlalu sunyi hingga suara tetesan darah dari ujung jemari Rian yang menetes ke lantai marmer terdengar begitu nyaring.

​David duduk di sofa tunggal kulit berwarna hitam pekat. Di tangannya, segelas whiskey on the rocks hanya diputar-putar perlahan, membuat es batu di dalamnya berdenting lirih. Tidak ada teriakan, tidak ada barang pecah. David yang ini jauh lebih mengerikan saat marah.

​Ia masih muda, baru menginjak usia 28 tahun, satu tahun lebih muda dari Bram. Namun, tatapan mata elangnya yang tajam dan aura dingin yang menguar dari tubuhnya membuat siapa pun lupa akan usianya. Ia adalah definisi dari ketenangan yang mematikan.

​"Ulangi bagian terakhir, Rian," suara David terdengar datar, nyaris tanpa emosi, namun sukses membuat bahu Rian menegang kaku.

​"Maaf... maafkan saya, Tuan David," Rian tergagap, rasa nyeri di sekujur tubuhnya tak sebanding dengan rasa takutnya saat ini. "Informasi intelijen meleset. Itu jebakan. Tuan Bram... beliau terluka parah. Dua tembakan."

​Gerakan tangan David yang memutar gelas terhenti seketika. Hening mencekam selama tiga detik.

​"Dan kau kembali berdiri di sini... sendirian?" tanya David lagi. Nadanya masih pelan, sangat sopan, tapi Rian tahu itu adalah jenis ketenangan sebelum badai yang menghancurkan. 

​"Saya... Saya terpaksa menyembunyikannya, Tuan. Kondisinya tidak memungkinkan untuk dibawa lari sambil dikejar musuh. Ada seorang warga lokal, gadis remaja yang menemukannya. Saya meninggalkannya di sana agar jejaknya tersamar."

​David akhirnya meletakkan gelasnya ke meja. Bunyi 'tak' pelan saat gelas menyentuh permukaan kaca terdengar seperti vonis mati bagi Rian. 

​Perlahan, David bangkit berdiri. Ia berjalan mendekati Rian yang menunduk dalam-dalam. Meski usianya lebih muda dari Bram dan Rian, David memiliki karisma yang membuat orang tunduk padanya tanpa perlu ia meminta.

​"Kau tahu kenapa aku mengirim Bram untuk misi ini, Rian?" David berbisik tepat di samping telinga Rian. "Karena dia tidak pernah gagal. Dan kau tahu kenapa aku menugaskanmu mendampinginya? Karena aku percaya kau akan menjadi perisainya jika sesuatu yang buruk terjadi."

​Tangan David terulur, menepuk pelan pundak Rian yang terluka. Tepukan itu lembut, tapi Rian merinding seolah baru saja disentuh oleh malaikat maut.

​"Kau baru saja membuang kepercayaanku, Rian."

​"Ampuni saya, Tuan..."

​David berbalik badan, berjalan menuju jendela besar yang menampilkan gemerlap lampu kota di bawah sana. Ia menarik nafas dalam, mengendalikan gejolak amarah yang sebenarnya ingin meledak. Bram bukan sekadar bawahan baginya. Bram adalah mentor, kakak, sekaligus partner terbaik yang dimilikinya sejak ia yang tidak tahu apa-apa memulai karir di dunia hitam ini. Kehilangan Bram sama saja kehilangan separuh kekuatannya.

​"Siapkan Tim," perintah David, nadanya final dan tak terbantahkan.

​"Aku tidak bisa membiarkan aset terbaikku sekarat di antah berantah diurus oleh seorang bocah ingusan. Jika Bram mati karena keterlambatan kita..." David memberi jeda, membiarkan ancaman tak terucap itu menggantung di udara. "...kau tahu tempatmu, Rian."

Rian mengangguk kaku, wajahnya pucat pasi. "Mengerti, Tuan. Saya akan segera siapkan tim."

​Setelah pintu ruangan tertutup dan langkah kaki Rian menjauh, keheningan kembali menguasai ruangan mewah itu.

​David masih berdiri menghadap jendela besar. Bahunya yang tadi tegang perlahan rileks. Ia mengangkat gelas wiskinya lagi, menatap cairan amber itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

​"Bertahanlah, Kak..." gumamnya lagi, namun kali ini, nada bicaranya berubah.

​Hilang sudah getar kekhawatiran yang tadi ia tunjukkan di depan Rian. Sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk seringai tipis yang dingin. Seringai yang tak pernah dilihat oleh siapapun, bahkan oleh Bram sekalipun.

​Ia berjalan santai menuju meja kerjanya, lalu membuka laci tersembunyi yang hanya bisa diakses dengan sidik jarinya. Di dalamnya, terdapat sebuah ponsel hitam polos, ponsel sekali pakai yang tidak terlacak.

​Hanya ada satu nomor yang tersimpan di sana. David menekan tombol panggil.

​Terdengar nada sambung tiga kali sebelum suara berat di ujung sana menjawab.

​"Halo, Tuan David. Saya kira Anda tidak akan menghubungi nomor ini kecuali keadaan darurat."

​David duduk kembali di kursi kebesarannya, memutar-mutar gelas wiski dengan santai. "Kerjamu berantakan, Marco."

​Hening sejenak di seberang sana. "Maksud Anda?"

​"Dua tembakan? Dua tembakan untuk membunuh seorang Bram? Yang benar saja. Setidaknya butuh 15 tembakan untuk membunuh orang macam dia. Kau tahu itu." Suara David begitu tenang, namun lawan bicaranya tahu ada racun mematikan di balik ketenangan itu. "Aku membayarmu mahal bukan untuk pekerjaan setengah matang seperti ini."

​"Itu mustahil. Anak buah saya pasti telah menembak nya lebih dari it—"

​"Anak buahmu bodoh," potong David tajam. "Sekarang 'kakak' kesayanganku itu hilang, bersembunyi di suatu tempat dirawat oleh entah siapa. Jika dia bertahan hidup dan kembali ke markas... kau tahu apa artinya itu bagi kita, bukan?"

​David menyesap wiskinya perlahan, menikmati sensasi panas yang menjalar di tenggorokannya. Ia mengingat kembali wajah Bram, sosok yang selalu dipuja, selalu dianggap lebih hebat, mentor yang bayang-bayangnya selalu menutupi sinar David. Selama Bram masih hidup, David tahu ia hanya akan dianggap sebagai "bos muda" yang berada di bawah perlindungan Bram.

​"Dengar, Marco. Aku sudah mengerahkan Tim ku untuk mencarinya. Akan pastikan Aku yang menemukannya lebih dulu sebelum dia sempat membuka mulut."

​"Apa yang harus saya lakukan, Tuan?"

​David menatap pantulan dirinya di gelas wiski. Wajah penuh kepalsuan yang sempurna.

​"Tetap cari dia. Jika kau menemukannya lebih dulu..." David memberi jeda, senyum tipisnya melebar sedikit. "...pastikan kali ini dia benar-benar 'beristirahat'. Aku tidak menerima kegagalan kedua."

​David memutus sambungan telepon sepihak, lalu melempar ponsel itu kembali ke laci.

​Ia berdiri, merapikan jasnya yang sedikit kusut, kembali memasang topeng "adik yang khawatir" dengan sempurna.

​"Tunggu aku, Kak," Bisiknya pada ruangan kosong itu. "Aku sendiri yang akan mengantarmu ke neraka.”

1
knovitriana
iklan buatmu
knovitriana
update Thor saling support
partini
🙄🙄🙄🙄 ko intens ma Radit di sinopsis kan bram malah dia ngilang
partini
ini cerita mafia apa cerita cinta di sekolah sih Thor
partini
yah ketauan
partini
Radit
partini
😂😂😂😂😂 makin seru ini cerita mereka berdua
partini
ehhh dah ketauan aja
partini
g👍👍👍 Rian
partini
seh adik durjanahhhhhh
partini
awal yg lucu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!