"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RAGA YANG TERBAGI
Aku masih di sini, terpenjara dalam rumah yang di dalamnya banyak kemunafikan. Saat ini aku hanya bisa menjalin hubungan baik dengan Mas Pandu, ia terlalu sulit untuk dikalahkan. Serba salah aku berada dalam posisi ini. Melawan secara terang-terangan hanya akan menghabiskan tenaga karena tak mungkin akan menang dan keluar dengan mudah dari tempat ini. Yang bisa aku lakukan hanya menunggu Mas Pandu lengah sembari mencari cara meruntuhkan benteng yang dibangun begitu kuat oleh Mas Pandu. Security berjaga di berbagai pintu, depan, belakang, rumah, bahkan di dalam rumah pun selalu berseliweran.
Sejauh ini semua berjalan sesuai keinginan, bahkan Viona harus banyak menelan kekecewaan atas perlakuan Mas Pandu terhadapku. Mas Pandu membalikkan keadaan. Jika dulu Viona yang diutamakan semua kebutuhannya, sekarang seolah semua tercurah padaku. Terkadang, aku hampir terlena, namun, tak butuh waktu lama, aku segera tersadar setiap perut buncit Viona tersapu oleh pandangan.
Aku berdiri di depan cermin, mengamati diri sendiri dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Cantik.
Tapi tidak menarik.
Putih.
Tapi kusam.
Langsing?
Karena tidak pernah melahirkan anak.
Aku tersenyum kecut, setiap kali mencari jawaban kenapa suamiku sampai memiliki wanita lain di luar sana dan jawaban akhirnya tetaplah sama. Aku tidak mampu memberikan apa yang tidak bisa aku usahakan, jika penampilan masih bisa aku perjuangkan asal ada uang, maka tidak dengan anak, karena keturunan hanya Tuhan yang bisa menentukan. Entah apa yang ada di balik ujian ini, hanya waktu yang bisa menjawab.
Derap langkah terdengar penuh kehati-hatian. Lalu pintu kamar pun terbuka lebar. Aku segera mengayunkan langkah menuju ranjang, setelah menghapus kasar air mata kesedihan yang selalu keluar setiap teringat akan Mas Pandu yang telah mendua.
Seperti biasanya, Mas Pandu selalu datang setiap hari ke kamar ini. Kadang sejak sore seperti hari ini, kadang juga di tengah malam saat aku sudah terlelap. Inilah yang terjadi selama hampir dua bulan aku tinggal di tempat ini. Membosankan.
"Belum tidur, Mai?" tanya Mas Pandu setelah menutup pintu. Lalu berjalan ke arahku.
Aku menggelengkan kepala.
"Apa hari ini ada yang tidak menyenangkan atau ada yang jahat padamu?" tanyanya setiap ia datang menemuiku.
Aku menggeleng. Saat ini hanya ada Viona, Miranti, dan Mas Pandu di rumah ini. Ibu dan yang lain sudah kembali satu minggu setelah acara tujuh bulan itu berlangsung. Sejujurnya, setiap hari ada saja persaingan setiap Mas Pandu tidak di rumah, namun aku lah yang selalu menjadi pemenangnya. Banyak penjaga yang mendukungku karena Mas Pandu selalu mengingatkan agar mereka menjagaku tanpa ada luka sedikit pun menggores kulitku.
"Penjagaanmu terlalu berlebihan, siapa yang akan berani berbuat macam-macam. Mau sampai kapan seperti ini?"
"Sampai Mas lihat binar di mata kamu kembali seperti dulu. Bukan pura-pura apa lagi tertekan."
Aku tersenyum miris. "Kau memperlakukan aku seperti tahanan. Bagaimana aku tidak tertekan?"
Ia membaringkan tubuhnya miring di sebelahku.
Menatapku.
"Maira, semua Mas lakukan agar kamu sadar. Bahwa, Mas nggak bisa sama sekali kehilangan kamu."
Untuk saat ini mungkin semua benar tapi nanti saat anak kamu lahir, mungkin akan ada banyak perubahan.
"Kenapa setiap malam tidur di sini. Ini tidaklah adil
untuk Viona."
Raut wajahnya berubah. "Aku takut, kalau kandungannya kenapa-kenapa. Kata dokter sudah mendekati persalinan. Hanya tinggal tunggu siang atau malam aja." Ia bercerita, terlihat binar kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan. Binar kebahagiaan yang membuat binar kebahagiaanku semakin meredup. Aku kembali tersenyum miris.
"Maaf." Melihat kebisuan dari diriku, Mas Pandu pun meminta maaf padaku seraya menggenggam erat jemari yang kutautkan di atas perut.
"Mai
"Nggak perlu minta maaf. Memang sudah seharusnya kamu bahagia, dengan apa yang tidak bisa aku berikan. Yang menjadi pertanyaan hanya... kenapa harus menyiksaku dan memaksaku untuk melihat semua itu?"
Ibarat seorang anak meminta eskrim yang tak pernah orang tuanya berikan, sudah barang tentu akan senang ketika eskrim ada di hadapan, itulah yang Mas Pandu perlihatkan saat ini. Sakit memang dan akan lebih menyakitkan lagi karena aku harus melihat hal ini setiap hari.
Ia tercenung, lalu bangkit dari pembaringan dan duduk bersandar di bahu ranjang dengan pandangan menerawang. Sebenarnya, ini juga lah yang selalu aku utarakan setiap ada kesempatan dan hingga detik ini masih sama, ia tetap tak mau melepaskan aku.
"Apa kurang perhatian Mas selama kamu tinggal di sini, Mai? Katakan, apa yang harus Mas lakukan agar kamu melupakan keinginanmu itu." ujarnya, bahkan menyebut kata perpisahan pun dia enggan.
"Kita bisa jalani Mai, Mas yakin," lanjutnya mencoba terus meyakinkan.
Selama aku tinggal satu atap dengan Viona, tak pernah sekali pun Mas Pandu memperlakukan aku dengan tidak baik. Semua perhatian seolah tercurah hanya padaku. Aku seolah istri satu-satunya, cinta dan perasaannya pun tak seperti dibagi dua. Dia mencintaiku dengan sempurna. Tapi, lukaku pun sudah terlalu sempurna, sehingga aku tak bisa lagi untuk percaya.
Dering ponsel Mas Pandu berbunyi, membuat suasana yang sempat hening kembali berwarna ketika kulihat nama yang tertera pada layar ponsel yang kini berpendar.
"Mai, Mas angkat, kamu ngomong. Tapi ingat, Mai.
Mengatakan semua sama saja menambah beban Bude." Patah-patah aku mengangguk. Mas Pandu selalu berkata demikian setiap kali Bude dan Zahra menghubungiku. Entah, bagaimana keadaan mereka di sana. Yang pasti di sini aku sangat mengkhawatirkan mereka. Terlepas dari ancaman atau memang perhatian, kata-kata Mas Pandu memang ada benarnya. Jika aku meminta tolong pada Bude, yang ada aku hanya akan membebani dan merepotkan saja. Sebab, jikalau pun Bude berusaha, sudah barang tentu Mas Pandu dengan mudah akan mematahkannya, mengingat kedudukan yang dimilikinya
Saat ini cukup tinggi.
"Jangan menunggu Arin dan jangan pula membenci Arin, Mas tau dia sangat peduli padamu. Mas yang membuatnya tidak bisa menolongmu," ujar Mas Pandu kala melihat aku termangu menatap pintu gerbang satu bulan yang lalu. Aku sempat marah pada Mas Pandu. Khawatir akan apa yang dia lakukan pada Arin. Namun, setelah Mas Pandu bersumpah bahwa dia tidak bertindak di luar batas dan menunjukkan bahwa Arin dalam keadaan baik melalui sebuah gambar dan video entah dari mana, akhirnya aku pun bisa bernapas lega. Lalu pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika seorang Arina Sasongko saja bisa dia taklukkan maka bagaimana dengan Bude yang hanya seorang janda tanpa pendidikan tinggi?
Itulah mengapa aku sangat berhati-hati dalam hal ini.
"Halo, assalamu'alaikum, Bude," sapaku setelah Mas Pandu menekan menu loud speaker. Seperti inilah setiap harinya, aku hanya bisa menerima telepon jika dia ada di sampingku, mengawasiku. Menyedihkan bukan?
"Wa'alaikumsalam. Mai, ini kamu sama Pandu?
Kenapa hp kamu susah sekali dihubungi sejak kamu pindah?"
"Oh, Maira sibuk banget jadi suka lupa chas, Bude."
"Mai, tadi ada temen kamu datang. Katanya kamu udah lama sekali nggak masuk kerja. Lah, bukannya kamu dipindah sama perusahaan kamu, kok, malah dicari? Bude kok jadi bingung."
Degh! Degh! Degh! Seketika jantungku berdetak kencang. Aku bahkan tak tahu harus menjawab apa.
"Ehm... Assalamu'alaikum, Bude." Mas Pandu mengambil alih. Sontak aku menatapnya.
"Wa'alaikumsalam, Nak Pandu."
"Gini, Bude. Jadi, Maira itu sekarang sudah nggak kerja di tempatnya yang dulu. Sebetulnya, Pandu meminta Maira untuk berhenti saja, mau fokus program hamilnya, Bude. Makanya Maira Pandu minta untuk tinggal di kota, deket tempat kerja Pandu untuk sementara waktu. Paling tidak Samapi rumah rampung. Zahra sehat, kan, Bude?" jelas Mas Pandu tanpa sedikitpun rasa ragu lalu berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keadaan Zahra. Luar biasa, ia bahkan tampak begitu tenang meski kebohongan sudah ia lakukan, Mas Pandu memang paling pandai dalam hal membohongi lawan tanpa menimbulkan kecurigaan.
Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala. Tak menyangka yang aku nikahi adalah lelaki licik seperti ini.
"Oalah, la apa ndak mahal tinggal di sana? Nanti nambah pengeluaran. Mending uangnya ditabung untuk keperluan lain. Renovasi, kan, biayanya mahal. Mana lantai dua."
Mas Pandu tersenyum. "InsyaAllah nggak, kok, Bude. Bude nggak usah khawatir. Do'akan saja kami segera diberi momongan," ujar Mas Pandu, menatapku lalu tersenyum seraya menggenggam erat tanganku,
Sedangkan aku hanya bisa menangis dalam kebisuan, mendengar Mas Pandu membohongi keluargaku di depan mataku sendiri dan yang lebih menyedihkan lagi, aku tak bisa berbuat apa-apa.
"Aamiin."
"Halo, Ayah ." Suara Zahra terdengar menyapa, seketika kami saling menatap. Jika Mas Pandu bisa sesekali bertemu saat melihat pembangun rumah, maka berbeda denganku yang terkurung tanpa bisa melihat dunia luar. Aku harus menelan kerinduan pada Zahra.
"Eh, anak Ayah lagi ngapain?"
"Main boneka, Ayah. Mana Bunda?"
Aku menggeser tubuh mendekati Mas Pandu yang mengubah panggilan suara menjadi video.
"Hai, Zahra. Apa kabar?" Seraya menahan isakan aku menyapa gadis kecil yang saat ini terlihat memeluk boneka lebah kesayangannya.
"Bunda kapan pulang? Kok, lama? Katanya mau ajak Zahra ke mall?"
Aku terdiam, melihat wajah Zahra yang terlihat sedih dan kecewa membuatku semakin benci pada lelaki di sebelahku. Kebencian yang tak mampu aku lawan dengan segala keterbatasan ini.
"Zahra Sayang, Ayah sama Bunda itu lagi berusaha kasih Zahra adik."
Sontak Zahra mengangkat kepala menatap kami dengan binar kebahagiaan. "Adek?"
Mas Pandu menganggukkan kepala. "Iya. Seneng?"
Zahra mengangguk penuh semangat.
"Ya udah sekarang Zahra kasih ponselnya ke Nenek."
"Tunggu Ayah, Zahra mau bilang sama Bunda dulu."
Kusapu air mata yang hampir terjatuh. "Iya, Zahra. Ada apa, Sayang?"
"Bunda, Zahra mau makan nasi goreng buatan Bunda...," rengeknya membuat seluruh persendianku luruh seketika.
Mas Pandu segera menyahut setelah air mataku keluar tanpa bisa aku tahan. "Zahra, besok, Ayah ke sana. Nanti biar Bunda masakin terus Ayah bawa sekalian, ya."
"Oh... Bunda nggak ikut?" Lagi-lagi suara Zahra berubah sendu.
"Bunda lagi kurang enak badan, jadi butuh banyak istirahat. Ya, udah sekarang Zahra kasih ke Nenek, ya, Ayah mau ngomong sama nenek."
"Iya, Nak."
"Gini, Bude, besok Pandu ke sana sekalian lihat pembangunan rumah. Bude mau pesen apa sama Maira?
Nanti biar saya bawa sekalian. Makanan mungkin?"
"Mana Maira?"
Segera aku menghapus air mata yang terus berjatuhan. Lalu mengarahkan wajah ke arah layar. "Iya, Bude mau makanan apa? Titip apa?" tanyaku.
"Bude cuma kangen, nggak pengen apa-apa, Mai. Zahra juga kangen."
Aku tersenyum, mencoba untuk menghiburnya. "Bener? Bude nggak pengen Batagor yang ada di deket kantor Mas Pandu? Nggak kangen?" Aku bertanya setengah menggoda. Untuk saat ini, hanya ini yang bisa kulakukan. Berusaha seolah tidak terjadi apa-apa meski nyatanya hatiku remuk redam.
"Kamu, bisa aja. Ya udah, Mai. Zahra ngajak main, Bude tutup dulu, ya. Assalamu'alaikum." Dengan terburu-buru Bude menutup sambungan telepon sebab Zahra terlihat sudah menarik-narik tangan Bude. Seketika senyum yang kupaksakan untuk menghibur Bude memudar kala layar kembali ke menu utama.
Mas Pandu langsung membawaku dalam rengkuhannya. Ribuan kalimat ia keluarkan untuk membuat kesedihanku mereda. Aku tergugu di pundaknya yang lebar. Sikap dan perlakuan Mas Pandu masih sama, seolah mampu mengikis luka yang ia berikan.
Tapi tidak, luka yang ia goreskan tak bisa aku terima. Mau tidak mau, ada wanita lain di hatinya. Mengalahkan diriku yang tak berputera. Rasa sakit ini sungguh tak bisa aku gambarkan. Meski hati dan perasaanya hanya tertuju padaku, tetap saja, aku tak bisa menerima raga yang terbagi.