Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Masa Lalu Pilihan Mertua
Hari ini surat dari pengadilan resmi diantarkan ke rumah Arman dan Diva. Dalam surat itu, disebutkan bahwa sidang pertama akan digelar tiga hari setelah surat diterima.
Siang itu, Bu Susan yang pertama kali menerima surat tersebut sontak terkejut. Ia tidak percaya, Arman tentu tidak mungkin berani mengajukan cerai tanpa persetujuannya. "Ini pasti ulah Diva! Astaga, dari mana wanita mandul itu punya uang untuk mengurus ini semua?" gerutunya. Panik, Bu Susan segera menelepon Arman dan memberitahukan tentang surat itu.
Mendengar kabar itu, Arman serasa disambar petir di siang bolong. Ketakutan mulai menyergapnya. "Tidak, aku tidak boleh bercerai dari Diva," batinnya panik.
Sementara itu, di rumah Dira, surat serupa diterima oleh kak Dira, karena Diva saat itu tengah berada di toko. Setelah menerima kabar dari kakaknya, Diva segera menghubungi pengacaranya untuk mengatur pertemuan setelah pulang kerja.
Sore harinya, Diva bertemu dengan pengacara, membahas persiapan untuk menghadapi mediasi. Meski ada sedikit kelegaan setelah konsultasi, Diva tetap merasakan bayangan kekhawatiran menjelang sidang.
Tiga hari berlalu, tibalah hari yang dinanti. Diva datang ditemani oleh Kak Dira dan Abangnya, Bang Reza.
Di pihak lain, Arman hanya didampingi oleh Bu Susan. Raya sempat ingin ikut hadir, namun Bu Susan melarangnya dengan tegas.
Di ruang sidang, hakim menjelaskan bahwa hari itu akan diadakan proses mediasi. Namun, mediasi berjalan alot. Diva tetap teguh ingin bercerai, sementara Arman bersikeras mempertahankan pernikahan, merasa dirinya tidak bersalah. Karena tidak ada kesepakatan, hakim memutuskan menunda sidang hingga minggu depan.
Ketika mereka keluar dari ruang sidang, Arman tiba-tiba menarik tangan Diva dengan kasar.
"Tidak ada cerai! Kamu ikut pulang sama aku!" bentaknya angkuh.
Bang Reza segera bergerak untuk melindungi adiknya.
"Za, jangan ikut campur! Ini urusan rumah tangga kami. Lagi pula Diva masih sah jadi istriku!" seru Arman.
Diva berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman Arman begitu kuat. Melihat itu, Reza menahan amarahnya dan berkata tajam,
"Kalau adikku sampai terluka, aku tidak akan tinggal diam! Kamu pikir Diva bodoh? Dia punya semua bukti perselingkuhan kamu, Man. Bisa saja sekarang juga aku laporkan kamu ke polisi!"
Mendengar ancaman itu, wajah Arman seketika memucat. Ia tahu, berurusan dengan hukum bisa menghancurkan kariernya sebagai PNS.
Dari samping, Bu Susan yang merasa putranya dipermalukan malah menambah keruh suasana.
"Dasar wanita mandul, nggak berpendidikan! Beda sama Raya, menantu kesayangan saya!" serunya dengan sombong.
Tanpa disadari, sejak tadi Kak Dira merekam semua kejadian itu dengan ponselnya rekaman yang kelak bisa menjadi bukti kuat untuk Diva.
Setelah insiden panas di depan gedung pengadilan, Diva, Reza, dan Dira memilih langsung pulang tanpa banyak bicara. Di dalam mobil, suasana terasa hening, hanya suara AC yang terdengar samar. Diva menunduk, memandangi jemarinya sendiri, mencoba menahan gejolak di hatinya.
Bang Reza yang menyetir sesekali melirik lewat spion, khawatir akan kondisi adiknya.
"Nanti di rumah, kamu istirahat ya, Div," ujar Reza lembut, memecah keheningan.
"Iya, Bang... makasih udah nemenin aku," jawab Diva pelan. Suaranya serak, menahan emosi yang nyaris pecah.
Sementara itu, Dira yang duduk di belakang Diva hanya bisa mengelus dada, melihat adiknya begitu tegar di luar tapi rapuh di dalam.
"Kalau butuh apa-apa, bilang aja, ya. Kita semua di sini buat kamu," kata Dira, menepuk pelan bahu Diva.
Di sisi lain, mobil Arman dan Bu Susan melaju dalam diam. Arman menahan marah, malu, dan ketakutan bercampur aduk dalam dadanya. Bu Susan berkali-kali mendengus kesal di kursi penumpang.
"Dasar Diva! Seenaknya sendiri. Kurang ajar!" gerutu Bu Susan sepanjang jalan.
Arman hanya menggenggam setir erat-erat, matanya menatap kosong ke depan, pikirannya kalut.
Sesekali terlintas di benaknya, mungkin ini semua salahnya sendiri terlalu menurut pada bujukan ibunya, membiarkan Raya masuk dalam rumah tangga mereka, hingga akhirnya menghancurkan segalanya. Tapi di sudut lain hatinya, egonya masih berteriak, menyalahkan Diva atas semua kekacauan ini.
Siang itu, dua mobil yang melaju di jalanan yang sama membawa dua hati yang sangat berbeda
Satu penuh luka yang berusaha bangkit dan pulang membawa sisa harga diri,
yang lain pulang membawa amarah, penyesalan, dan ketakutan akan kehilangan segalanya.
Malam itu, setelah makan malam seadanya bersama Dira dan Reza, Diva memilih mengurung diri di kamarnya.
Ia menyalakan lampu kecil di sudut meja, menciptakan cahaya remang yang membuat ruangan terasa lebih hangat, namun juga begitu sepi.
Diva duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututnya. Dari jendela, langit malam terlihat gelap, hanya beberapa bintang yang malu-malu berkelip. Angin malam menerpa lembut tirai tipis di kamarnya, menghadirkan udara dingin yang menembus kulit, seolah mencerminkan kehampaan di hatinya.
Ia menghela napas panjang, matanya menerawang kosong.
Perjalanan hari ini terasa berat, penuh luka lama yang kembali menganga.
Pertemuan di pengadilan, cengkeraman kasar Arman, hinaan Bu Susan semuanya menari-nari di pikirannya, membuat dadanya sesak.
Tapi Diva menahan semua itu. Tidak ada air mata.
Hanya ada diam, dan doa lirih yang terus bergema dalam hatinya,
meminta kekuatan untuk tetap berdiri, walau seluruh dunia seolah ingin menjatuhkannya.
Perlahan, Diva membuka buku catatannya.
Ia menulis dengan tangan bergetar bukan sekadar curahan hati, tapi juga janji kecil kepada dirinya sendiri:
"Aku harus kuat. Aku pantas bahagia, tanpa mereka yang tak pernah menghargai keberadaanku."
Di luar kamar, rumah sudah mulai hening.
Dira dan Reza membiarkan Diva dengan ruang sunyinya, mengerti adik mereka butuh waktu untuk berdamai dengan rasa sakit yang ia pikul.
Malam terus bergulir.
Diva akhirnya memejamkan mata, mencoba merangkul tidur meski hatinya masih remuk redam.
Dalam diam, dalam luka, Diva tetap bertahan seteguh langit malam yang tetap berdiri, walau kadang tak berbintang.
Pagi itu, sinar matahari menerobos lembut melalui sela-sela tirai kamar Diva.
Udara pagi yang segar mengisi ruangan, membawa aroma embun dan bunga dari taman kecil di halaman.
Diva membuka mata perlahan. Tidak ada rasa berat seperti biasanya.
Meski semalam penuh badai emosi, pagi ini ada semacam ketenangan yang berbeda di dadanya.
Seperti ada bagian dari dirinya yang akhirnya melepaskan melepaskan rasa takut, amarah, dan luka.
Ia bangkit dari ranjang, membuka jendela lebar-lebar.
Angin pagi menerpa wajahnya, membawa semangat baru yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Diva tersenyum kecil, senyum yang sudah lama tak muncul bukan untuk menyenangkan orang lain, tapi untuk dirinya sendiri.
Sambil menarik napas dalam-dalam, ia berbisik pada dirinya:
"Hari baru, hidup baru. Aku bisa melewati semua ini."
Setelah membersihkan diri, Diva mengenakan pakaian kasual sederhana namun rapi.
Ia menyiapkan sarapan kecil untuk dirinya sendiri, menyiapkan teh hangat, dan menikmati setiap langkah pagi itu tanpa tergesa-gesa, tanpa beban.
Dira yang melihat dari jauh hanya tersenyum bangga.
Akhirnya adiknya itu mulai menemukan dirinya lagi, keluar dari bayang-bayang masa lalu yang menyesakkan.
Hari ini Diva memutuskan berjalan kaki ke toko.
Langkahnya ringan, wajahnya menatap lurus ke depan.
Di sepanjang perjalanan, ia memperhatikan bunga-bunga liar yang bermekaran di pinggir jalan, suara burung yang bersahutan hal-hal kecil yang dulu ia lewatkan saat hidupnya penuh tekanan.
Ada semangat baru yang menyala dalam dirinya.
Hari ini, dan hari-hari setelahnya, bukan lagi tentang bertahan dari luka.
Hari ini adalah tentang tumbuh, tentang mengambil kembali kebahagiaan yang dulu pernah dirampas.
Di bawah langit cerah yang berangsur membiru, Diva melangkah pasti.
Ini awal baru baginya dan ia siap untuk menjemput masa depannya sendiri.
Sesampainya di toko, Diva berhenti sejenak di depan pintu.
Ia menghela napas perlahan, merasakan degup jantungnya yang penuh harap.
Toko mungil itu, yang dulu sempat ia jalani setengah hati karena beban di rumah, kini terasa berbeda.
Toko itu adalah cerminan dirinya tempat di mana ia bisa membangun mimpi, sedikit demi sedikit, dengan tangannya sendiri.
Dengan senyum kecil, Diva membuka pintu.
Bunyi lonceng di atas pintu berdenting ringan, seolah menyambut kehadirannya.
Aroma khas kardus baru, tumpukan kain, dan sabun pembersih memenuhi udara semua terasa begitu nyata, begitu akrab.
Ia berjalan menyusuri lorong-lorong kecil antar rak, mengecek stok barang satu per satu.
Tangannya lincah merapikan, mencatat, menghitung tidak ada lagi tatapan kosong, tidak ada lagi keterpaksaan.
Setiap gerakan Diva kini penuh kesadaran, penuh semangat.
Sinar matahari masuk dari jendela besar disisi toko, menyorot debu-debu kecil yang menari di udara.
Di bawah cahaya itu, Diva seolah melihat dirinya sendiri rapuh, tapi tetap bergerak, tetap hidup.
Dan hari ini, ia memilih untuk bangkit, untuk berjuang lebih keras, untuk dirinya sendiri.
Pelanggan pertama mulai datang.
Diva menyambut dengan ramah, dengan senyum tulus, bukan senyum terpaksa.
Ada getar halus di hatinya perasaan bahwa meski jalannya masih panjang,
ia sudah mengambil langkah pertama yang benar.
Toko ini bukan sekadar tempat mencari nafkah.
Toko ini adalah saksi perjalanan barunya tempat di mana ia menanam harapan, merawat luka, dan menulis ulang kisah hidupnya.
Di sudut toko, Diva menuliskan kata kecil di buku agendanya:
"Hari ini, aku memilih untuk bahagia."
Menjelang siang, toko Diva mulai dipenuhi pelanggan.
Awalnya hanya satu-dua orang, tapi kemudian suara bel pintu berdenting berkali-kali,
menandakan satu per satu pengunjung datang.
Lorong-lorong kecil antar rak mulai terasa sempit.
Beberapa pelanggan menelusuri rak barang, sibuk memilih, bertanya ini-itu.
Tawa kecil terdengar dari sudut tempat dua ibu muda bercakap sambil memegang barang belanjaan.
Anak-anak kecil berlarian sebentar di antara lorong, membuat suasana toko terasa hidup.
Diva berdiri di belakang meja kasir, matanya tak berhenti bergerak mengawasi, tersenyum, dan melayani dengan sabar.
Keringat kecil membasahi pelipisnya, tapi hatinya terasa penuh ada kebanggaan sederhana yang tumbuh ini semua hasil kerja kerasnya.
Tangan Diva lincah membungkus barang, menerima pembayaran, dan sesekali bercanda ringan dengan pelanggan.
Suara riuh pelanggan bercampur dengan suara mesin kasir yang berbunyi,
menciptakan irama kesibukan yang menghangatkan.
Di sela-sela kesibukannya, Diva sempat melihat ke luar jendela.
Matahari mulai condong ke barat, cahayanya keemasan, memantulkan warna indah di dalam toko.
Ia tersenyum sendiri toko kecilnya, yang dulu terasa berat dijalani,
kini menjadi tempat di mana ia bisa menemukan dirinya lagi.
Sore itu, sebelum toko tutup, Diva menuliskan catatan kecil di pojok buku agendanya:
"Terima kasih, Tuhan, untuk hari ini. Aku kuat. Aku sanggup."
lanjut author..💪💪