Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lamaran Dan Sebuah Kewajiban
🌸
🌸
Sejenak Asyla berhenti saat hampir memasuki pekarangan rumah. Dia mendapati sebuah mobil yang dikenalnya terparkir di depan teras, dan tampak tiga orang yang sedang bercakap-cakap.
Maysaroh sang mertua, Ahmad kakak iparnya, dan seorang pria paruh baya yang sudah dia kenal sebelumnya.
“Mau apa dia ke sini?” gerutunya dengan kedua tangan terkepal erat. Jika bukan untuk menagih hutang, sudah bisa dipastikan lelaki yang dikenal sebagai tuan tanah dan pengepul sayuran di kampungnya itu berniat menemui dirinya.
Memangnya apa lagi? Beberapa kali kedatangannya selalu mengutarakan hal itu.
Asyla mengendap-endap berharap tidak ada yang menyadari kedatangannya. Dan dia bermaksud masuk lewat pintu samping, tetapi Maysaroh sudah lebih dulu melihatnya.
“Syla?” panggil sang mertua kepadanya. “Ke sini, ada juragan Somad!!”
Asyla menghembuskan napas kasar. Gagal sudah maksudnya untuk menghindar, dan dia tak punya lagi alasan lain.
“Duduk!” ucap Maysaroh yang segera dituruti oleh Asyla.
“Juragan datang untuk menanyakan kapan kamu mau bayar hutang?” tanpa basa-basi perempuan 60 tahun itu segera berbicara. Sementara Asyla menarik dan menghembuskan napasnya dengan cepat.
Baru saja dirinya tiba dari pulang bekerja. Bahkan keringat di dahi masih belum dia seka, tetapi masalah utang piutang ini langsung menyergapnya tanpa basa-basi.
“Kamu sudah gajian, kan? Jadi sebaiknya berikan sama juragan Somad.” ucap Maesaroh lagi.
“Ambu, Syla baru saja sampai. Apa nggak sebaiknya —”
“Juragan sudah nunggu dari tadi, nggak enak kalau lama-lama apalagi Ambu sudah janji mau bayar hutang kalau kamu gajian.” Sang mertua berbisik.
“Ambu ….”
“Cepat, sini mana uangnya?” Maysaroh merogoh tas kecil dalam genggaman Asyla. Dan segera saja dia menemukan sebuah amplop yang sudah dipastikan isinya adalah uang. “Nah … ini, Juragan.” Lalu tanpa beban dia memberikannya pada lelaki tua di seberang yang asyik menatap menantunya.
“Juragan?”
Rupanya pria bernama Somad itu sedang tenggelam dalam lamunan. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat menatap Asyla seperti itu. Yang pasti hal tersebut sangat membuat risih.
“Juragan?” Panggil Maysaroh lagi yang membuat pria itu akhirnya tersadar.
“Silahkan, ini uangnya.” Lalu dia menyerahkan amplop tersebut yang segera diterima olehnya. Memeriksa isinya, dan menghitung lembaran di dalamnya.
“Satu juta lima ratus pas.” katanya, lalu dia kembali menatap Asyla.
“Iya, setiap bulan kami bayar segitu, Juragan. Pas kalau Syla gajian.”
“Hmm ….” Pria itu menggumam. “Tawaran saya masih berlaku lho, Ceu May. Asyla tidak perlu capek-capek begini kalau mau saya nikahi.” Topik pembicaraan pun segera berubah.
“Soal itu ….”
“Kebun jeruk juga bisa langsung saya kembalikan, anggap saja itu sebagai mahar. Belum lagi nanti jatah bulanan, juga karena Asyla punya anak sudah pasti saya perhatikan.”
Mata Maysaroh membulat sempurna mendengar hal itu seraya menyenggol tangan Asyla.
“Bagaimana? Masih nggak minat?” tanya juragan Somad lagi.
“Maaf juragan, saya —” senggolan kembali mengenai tangan Asyla saat dia hendak menjawab.
“Juragan, bisa minta waktu? Saya mau bicarakan ini dulu dengan Syla.”
Juragan Somad mendengus keras. “Dari kemarin jawabannya begitu terus. Padahal tinggal jawab saja iya atau tidak, agar saya dapat kepastian.”
Maysaroh meremat tangan Asyla.
“Kamu tau, Syla? Sayang sekali kalau kamu harus bersusah-susah kerja padahal kamu bisa duduk manis di rumah. Asuh anakmu yang masih kecil dan urus rumah tangga saja. Asal kamu mau jadi istri saya.” Juragan Somad berbicara kepada Asyla.
“Saya nggak —” ucapan Asyla kembali terhenti saat lagi-lagi Maysaroh menggenggam tangannya.
“Ehm … begini, Juragan. Kami sebagai keluarganya Asyla mau berembug dulu bagaimana baiknya. Memang dia ini harus sedikit dikerasin.” Sang mertua kini berbicara.
“Sebaiknya apa? Ya terima lamaran saya lah, selesai urusan.” Juragan Somad kukuh pada pendiriannya.
“Iya, tapi Asyla harus diberi pengertian dulu.”
“Dari kemarin kamu bilang begitu terus, May. Tapi buktinya apa? Tetap menolak, kan?” Pria yang usianya terpaut beberapa taun dari Maysaroh itu bangkit. Dia berbalik membelakangi mereka dengan kedua tangan tertaut di belakang. Matanya menatap jauh ke depan di mana jalanan tampak semakin lengang.
“Tidak baik perempuan menjanda lama-lama. Niat saya baik mau menikahi kamu agar terhindar dari fitnah. Pikirkan lah, Asyla!” katanya, terdengar bijak yang kemudian segera pergi.
“Ih!!” Tak lama setelah itu Maysaroh mencubit lengan Asyla dengan keras. Rasa kesal mendominasi hati dan dia tak habis pikir dengan menantunya.
“Kenapa sih kamu keras kepala sekali? Tidak dengar juragan Somad bilang apa? Niatnya baik mau menikahi kamu!”
“Tapi Syla nggak mau, Ambu!!”
“Nggak mau, nggak mau! Itu terus yang kamu bilang. Kenapa? Karena dia lebih tua? Karena istrinya banyak? Masa bodoh! Yang penting dia mampu menafkahi kamu. Dia bisa memberikanmu hidup yang lebih baik. Anakmu terjamin. Lihat istri-istrinya, mereka semua hidup enak!!”
Asyla mengusap-usap tangannya yang memerah bekas cubitan sang mertua.
“Nurut gitu lho, Syl. Semuanya kan demi kamu juga. Apa susahnya sih terima lamarannya juragan Somad? Soal perasaan, lama-lama bisa muncul kalau sudah terbiasa.”
Asyla menggelengkan kepala.
“Nggak habis pikir Ambu mah. Sudah ada laki-laki yang mau sama kamu, nerima anak kamu, eh kamunya nggak mau. Bodoh!”
Perempuan itu menggigit bibirnya dengan keras lalu mendongak menatap ibu mertuanya. “Memangnya Ambu nggak ingat sama kang Jaka? Dia ‘kan anaknya Ambu.” Kedua bola matanya sudah tergenang, dan sekali saja mengedip sudah bisa dipastikan air bening itu akan meleleh membasahi pipi.
“Justru karena itu, Ambu kasihan sama kamu dan Tirta. Ambu peduli. Nggak ada yang jaga kamu. Memangnya mau begini terus selamanya?”
“Bukannya karena mau kebun kembali lagi ke tangan Ambu?”
Kini Maysaroh yang terdiam.
“Sudah Syla bilang akan Syla cicil dengan gaji dari villa, kenapa Ambu nggak mau mengerti?”
“Gaji di sana hanya sejuta setengah, Syla. Mau sampai kapan dicicil?”
“Bisa. Ambu. Se nggaknya dua tahun bisa dicicil, setelah itu kita bebas dan kebun bisa ditebus. Nggak apa-apa, Syla rela.”
“Bukan begitu!!”
“Lalu apa?”
Maysaroh terdiam lagi.
“Oh, Syla tau. Soal juragan Somad bukan karena Ambu peduli, tapi karena mau kebun dan lihat hartanya, kan?” Keberanian itu entah muncul dari mana. Tetapi seolah ada kekuatan yang mendorongnya sehingga dia mampu berkata demikian.
“Apa?”
“Soal hutang, seharusnya itu tidak jadi masalah. Karena apa yang Ambu lakukan memang seharusnya. Anak laki-laki adalah tanggung jawab ibunya meski dia sudah menikah. Dan sudah sepatutnya Ambu mengurus saya juga Tirta karena kang Jaka sudah nggak ada. Jadi soal kebun itu seharusnya nggak jadi hutang yang harus saya tebus. Karena itu kewajiban Ambu.”
PLAAKK!!!
Tiba-tiba saja sebuah tamparan mendarat di pipi Asyla sehingga menghentikan apa yang akan dia katakan.
“Ambu!!” Bahkan Ahmad yang sejak tadi hanya terdiam pun bereaksi.
“Lancang kamu! Tidak tau diri! Saya sudah mengurusmu sejak Jaka meninggal, tapi ini balasannya? Kamu tau, kalau saja bukan karena kamu anak saya masih ADa sampai sekarang! Jaka tidak akan meninggal. Kamu yang telah menyebabkan anak saya meninggal!!” Seperti kesetanan Maysaroh berTeriak di depan wajah Asyla. Telunjuknya mengarah kepada menantunya dengan kemarahan yang membludak di dada.
Sementara Asyla terkesiap, tidak mengurus mertuanya akan mengatakan hal seperti itu.
“Jaka meninggal karena kamu! Karena ingin memenuhi ngidamnya kamu! Dasar tidak tau diri!!”
“Ambu ….”
“Kebun itu adalah satu-satunya harta yang kami punya. Tapi terpaksa harus keluar karena untuk membiayai kamu. Lalu apakah saya tidak punya hak untuk memintanya kembali?”
“Itu kewajiban Ambu karena —”
“Dan kewajiban kamu juga untuk tunduk kepada suami. Tapi karena suamimu sudah tidak ada, maka kepada Ambu lah seharusnya kamu menurut.”
“Tidak begitu, Ambu ….”
Namun suara tangisan dari dalam rumah menginterupsi perdebatan tersebut. Tirta yang saat itu sedang tidur rupanya terganggu karena teriakan neneknya sehingga dia terbangun dalam keadaan terkejut.
Lalu tanpa banyak kata Asyla segera berlari menyongsong anaknya. Nalurinya sebagai ibu tidak mungkin bisa mengabaikannya. Dia segera meraup tubuh kecil itu lalu memeluknya. Kemudian memberinya asi seperti yang selalu dilakukan agar membuat sang putra berhenti menangis.
“Ingat, Syla. Yang kami korbankan untukmu sangat banyak. Ambu kehilangan Jaka dan kebun sekaligus karena kamu. Sedangkan kamu mau angkat tangan begitu saja? Tidak bisa! Pikirkan saja!”
Asyla tidak menjawab, namun buliran bening segera meluncur dari sudut matanya yang sudah berembun.
Masa harus begitu caranya? Tidak mungkin! Batinnya menjerit.
🌸
🌸
Listy ini mangkin lama mangkin ngelunjak kayaknya
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.
takut jantung gak aman lagi ya Le
nanti Asyla beres² rumah, Mas Ale ngasuh Tirta..