Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9 (Barter)
Vanila memejamkan mata, ketika dengan lantangnya Edgar mengucapkan janji-janji suci di hadapan dirinya juga beberapa orang yang dijadikan sebagai wali hakim dan saksi.
Apa ini boleh? Setiap ikrar yang diucapkan hanya semata-mata untuk menutupi sandiwara mereka, terutama Vanila? Ah, Edgar bahkan tidak peduli dengan pernikahan, yang dia tahu hanya kesenangan sendiri. Dan pernikahan ini dilakukan untuk memberi makan ego Vanila saja, dia butuh uang tapi tidak mau mendapatkan dosa.
‘Ya ampun mempermainkan pernikahan juga dosa ‘kan?’ Batin Vanila tiba-tiba berbicara.
“SAHH!”
Sontak Vanila membuka mata ketika mendengar ucapan itu.
‘Terlambat Vanila, sekarang kamu sudah benar-benar terjerumus!’
***
“Apa kata dokter tadi?”
Keadaan rumah sudah hening, tidak ada siapapun disana selain mereka berdua dan Irgi yang menempati bangunan kecil di belakang rumah besar, setelah mengantarkan orang-orang yang ia cari hanya sekedar untuk melancarkan pernikahan siri antara Vanila dan sang majikan Edgar.
“Tunggu tiga hari agar obatnya bekerja lebih dulu,” terang Vanila.
Setidaknya perintah dokter menjadi penyelamat malam ini, karena Vanila benar-benar takut.
“Tiga hari?” Edgar lantas menyesap rokok cerutu miliknya. “Lama sekali,” dia menatap Vanila dengan sorot mata tajam sedikit kecewa.
Vanila mengedikkan bahu, kemudian menggelengkan kepala.
“Irgi sudah memberitahu sesuatu?” Tanya Edgar.
“Uangnya nanti akan di berikan setelah pak Irgi selesai mengurus kartu identitas saya lebih dulu.”
Edgar menggeleng pelan.
“Bukan itu!”
“Soal kamar?”
Lalu Edgar mengangguk seraya terus menikmati sesuatu yang di capit kedua harinya.
“Kamar saya di belakang,” jawab Vanila.
“Hu'um, … terus?”
“Saya dilarang naik apalagi sampai masuk ke kamar bapak, … anda akan datang jika ingin.” Vanila menatap Edgar dengan perasaan ragu.
Edgar mengangguk-anggukan kepala.
“Ada lagi?” Satu alis Edgar terangkat.
“Tidak boleh ada yang tahu soal pernikahan ini, apalagi sampai hamil.”
“Good girl.”
“Eeem, … sebenarnya bapak boleh talak saya jika semuanya sudah selesai,” Vanila tersenyum canggung, hanya sekedar untuk mencairkan suasana.
Edgar menarik lepas cerutu dari mulutnya, meniupkan asap ke udara sambil tersenyum sinis.
“Kamu tidak baca point ketiga?” Pria itu kembali mengingat salah satu dari beberapa perjanjian yang sudah di sepakati.
Vanila diam, tentu saja ingat.
“Saya turuti keinginan kamu, maka kamu terikat bersama saya sampai waktu yang tidak ditentukan,” ucap Edgar penuh penekanan.
Seperti ingin memberi tahu, siapa yang lebih berkuasa di sini.
“Bukannya lebih bagus cepat selesai? Jika diteruskan bapak akan mempunyai kewajiban menafkahi saya?”
Terlanjur, sekalian saja dia membahas hal-hal yang lebih menjurus. Ya, siapa tahu pria itu berubah pikiran.
Edgar terkekeh.
“Berapa? Sepuluh, dua puluh? Katakan.” Tantang Edhar.
“Uang saya banyak jika harus saya kasih tahu, minta saja asal harus ada timbal baliknya. karena lima ratus juta itu aku bayar hanya untuk selaput dara kamu yang nanti akan saya robek.”
‘Dasar gila.’
“Lebih bagus jika di sebut sebagai mas kawin.”
“Kamu benar, yang lima ratus juta anggap saja mas kawin yah!”
Vanila hendak membuka mulut, berniat untuk menjawab Edgar. Namun, pria itu segera mendahului.
“Pergilah, bicaranya cukup untuk malam ini. Sesuai perintah dokter, kamu bisa melaksanakan tugas setelah obatnya bekerja dengan baik nanti.”
“Setelah itu tidak ada alasan, ... bahkan celah untuk licik tidak ada. Kamu tidak akan hamil, dan tidak boleh!”
“Bapak sudah mengulangi kata-kata ini puluhan kali,” sahut Vanila.
“Supaya kamu ingat. Tidak hanya kb dari dokter, saya juga akan memakai kontrasepsi agar meminimalisir sesuatu yang tidak di inginkan.”
Edgar langsung berdiri, lalu meninggalkan Vanila yang masih duduk di sofa ruang tengah. Dengan langkah santai Edgar menaiki anak tangga satu-persatu, tanpa mengatakan apapun lagi.
‘Aneh, tumben ga maksa?’
“Ish, bagus itu. Dari pada maksa-maksa ga jelas!” Gumam Vanila sambil melarikan diri ke arah belakang dimana satu ruangan khusus pembantu berada.
***
Tiga hari setelah pernikahan siri Vanila dan Edgar di laksanakan;
Mobil mewah datang, dan Vanila memutuskan tetap pada kegiatannya menyiram rumput saat matahari bahkan hampir tenggelam.
Toh kalau butuh Edgar akan berteriak memanggilnya.
“Van, kata bapak masuk!” Irgi sedikit berteriak.
Vanila yang sedang menyiram tanaman pun menoleh, menatap pria yang beberapa menit lalu sampai bersama si tuan besar.
“Sekarang banget?” Vanila berbasa-basi.
“Cepet, nanti saya yang di amuk.”
“Astaga masih sore.”
Vanila menjatuhkan slang, berjalan ke arah kran berada dan mematikannya.
“Kirain ga bakal pulang lagi, udah tentram banget lho aku pak!”
“Lagian iseng sore-sore kok siram taman, ga takut di gondol buto ijo?”
“Nggak. Buto ijonya 'kan di dalem lagi nungguin!” Vanila melenggang pergi.
“Hus, sembarangan kamu Van!”
Pandangan Vanila mengedar, mencari sosok yang dua hari terakhir tidak menampakkan batang hidungnya. Entah sibuk, atau mungkin mencari kesenangan lain bersama wanita-wanita penghibur di luar sana.
Edgar tidak terlihat di ruang tengah, bahkan area meja makan tampak melompong kosong. Lantas pria itu menunggunya dimana?
“Kamar?”
Vanila merasakan dadanya berdegup kencang. Inilah saatnya, memberikan sebuah imbalan karena pria itu sudah berbaik hati.
Dan benar saja, Edgar terlihat berada di dalam kamar yang Vanila tempati. Tentu, dia ‘kan tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam kamarnya, jadi sudah pasti Edgar menunggu disana.
Sebuah kamar khusus pembantu, dengan segala fasilitas seadanya.
“Bapak sudah makan? Atau mau kopi?”
“Tutup pintunya!”
Bukannya menjawab tawaran Vanila, Edgar justru segera memberi perintah.
‘Jelmaan apa sih dia ini!?’
“Tutup saya bilang!”
“Oh, iya pak.”
Klek…
Vanila menurut tanpa banyak berbicara.
"Come!" Edgar kembali merebahkan punggung seraya menggerakkan jarinya, memberi isyarat kepada gadis itu untuk mendekat.
"Eeeeeem…"
"Kemarilah, masa kamu tidak mengerti?" Pria itu semakin tidak sabar.
"Sa-saya …"
"Kemari, datang kepada saya dan lakukan apa yang harus kamu lakukan!" Suaranya tiba-tiba terdengar sangat rendah.
Vanila terdiam.
"Vanila? Apa begitu aku harus memanggilmu?" Edgar sedikit berteriak, dan itu membuat Vanila kembali tersentak.
Gadis itu melangkah mendekatinya, dan Edgar kembali melayangkan tatapan lapar. Lapar, benci, marah atau? Entahlah, yang pasti situasi ini sangat menegangkan.
"Lepaskan pakaianmu!" perintahnya pada Vanila.
"Vanila?"
"Bolehkah jika tidak sekarang, Pak? Sepertinya saya perlu …"
Pria itu segera berdiri, dan dengan cepat ia merangsek ke hadapan Vanila. Sungguh, Vanila membuat kesabarannya habis karena terlalu mengulur waktu.
"Sepertinya kamu tidak mengerti dengan maksud saya?" Edgar menggeram.
Vanila mengatupkan mulutnya rapat-rapat dan dia tak mampu melakukan apa-apa ketika Edgar meraup pinggangnya, lalu menyeretnya ke arah tempat tidur yang ukurannya cukup kecil.
“Jika harus mengingat, ... saya tidak suka basa-basi!”
“Emmm—maaf, pak.”