Plak!
" Percuma aku menikahi mu, tapi sampai sekarang kamu belum juga memiliki anak. Kamu sibuk dengan anak orang lain itu!"
" Itu pekerjaanku, Mas. Kamu tahu aku ini baby sitter. Memang mengurus anak orang lain adalah pekerjaanku."
Lagi dan lagi, Raina mendapatkan cap lima jari dari Rusman di pipinya. Dan yang dibahas adalah hal yang sama yakni kenapa dia tak kunjung bisa hamil padahal pernikahan mereka sudah berjalan 3 tahun lamanya.
Raina Puspita, usianya 25 tahun sekarang. Dia menikah dengan Rusman Pambudi, pria yang dulu lembut namun kini berubah setelah mereka menikah.
Pernikahan yang ia harap menjadi sebuah rumah baginya, nyatanya menjadi sebuah gubuk derita. Beruntung hari-harinya diwarnai oleh wajah lucu dan tingkah menggemaskan dari Chandran Akash Dwiangga.
" Sus, abis nanis ya? Janan sedih Sus, kalau ada yang nakal sama Sus, nanti Chan bilang ke Yayah. Bial Yayah yang ulus."
Bagaimana nasib pernikahan Raina kedepannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baby Sitter 32
Hubungan Raina dan Chan semakin dekat. Dan, hubungannya dengan Bagus juga sudah tidak canggung lain. Berada di bawah atap yang sama setelah satu bulan ternyata membuat keduanya sudah sudah bisa menerima keberadaan masing-masing.
Bagus tidak merasa terkejut lagi jika malam-malam keluar kamar lalu melihat Raina. Pun dengan Raina, setiap kali bertemu dengan Bagus, dia sudah bisa bersikap dan menatap sewajarnya.
Seperti sekarang ini, akhir pekan Bagus selalu libur walau kadang-kadang bisa saja masuk jika ada pekerjaan dadakan. Bagus dan Chan berada di taman belakang rumah, ya mereka sedang asik bermain gelembung sabun.
Jika tengah berdua seperti itu, Raina memilih menyingkir. Dia tidak ingin terlibat agar ayah dan anak itu memiliki quality time berdua.
"Mbak Ai, nggak ikut gabung?" Tanya Bik Yah. Saat ini Raina sedang membantu Bik Yah memasak di dapur. Jika Bagus libur, biasanya sarapan hanya ala kadarnya saja. Jadi sekarang ini Bik Yah dan Raina tengah menyiapkan makan siang.
"Nggak Bik. Biar Pak Bagus punya waktu khusus buat Chan. Ah iya, hari ini aku aja yang masak ya. Bik Yah duduk aja di sini."
Sreeek
Raina menarik kursi dan membuat Bik Yah duduk. Tentu saja Bik Yah tidak langsung mauk. Dia bahkan berdiri lagi.
"Nggak usah Mbak Ai, kan ini emang tugas Bibi."
"Udah nggak apa, aku emang pengen masak. Udah lama nggak masak Bik. Ya udah kalai gitu, kita berdua aja. Biar cepet mateng."
"Nah gitu aja. Kalau Mbak Ai sendiri yang masak, terus masa iya Bibi cuma mandorin aja. Apa kata Bapak nanti."
Raina dan Bik Yah tertawa bersama, rasanya sungguh menyenangkan akhir pekan begini bisa santai. Meskipun pekerjaan tetap ada tanpa jauh sangat menyenangkan ketimbang sebelumnya.
Wajah Raina pun menjadi lebih cerah, dia juga lebih banyak tersenyum. Tidak banyak yang tahu kalau Raina memiliki langsung pipi. Karena sebelumnya, wanita itu jarang sekali tersenyum.
Ting tooong
Tiiing toooong
Bik Yah dan Raina saling pandang. Tatapan keduanya mengartikan, siapa ini pagi-pagi sudah datang.
Raina melihat ke arah jam dinding yang menggantung di dinding dapur. Jarum panjang ada di angka 12 dan jarum pendeknya di angka 9.
Jika itu adalah Asri dan Budi maka hal yang wajar, mereka datang di jam segitu. Tapi jika tamu, bukankah itu terlalu pagi apalagi ini akhir pekan. Ya walaupun sebenarnya tidak ada waktu khusus bagi seseorang untuk bertamu.
"Biar aku aja Bik yang bukain pintu. Oh iya Pak Barjo kemana Bik?"
"Lagi servis mobil ke bengkel, Mbak."
Raina mengangguk, dia mencuci tangannya lalu bergegas menuju ke pintu. Kalau ada Pak Barjo, pasti beliau sudah lari masuk untuk memberi tahu tentang siapa yang datang.
Cekleek
Raina menyipitkan matanya. Di depan gerbang berdiri seorang wanita. dan setelah melihat secara seksama, Raina langsung tahu siapa wanita itu.
Dengan senyum ramahnya Raina membukakan pintu gerbang seraya berkata, "Bu Rizka, selamat pagi. Mari silakan masuk."
Rizka menganggukkan kepalanya pelan. Wanita itu tidak membalas ucapan Raina. Tapi bagi Raina tidak masalah juga. Apa yang dia lakukan tidak perlu mendapat balasan.
"Silakan duduk dulu, Bu. Sebentar saya panggilkan Pak Bagus."
"Ehmm memangnya Bagus dimana?"
"Oh Pak Bagus sedang ada di taman belakang Bu. Sedang main dengan Chan."
Tring
Bagai ada lampu yang bersinar di atas kepala Rizka, dia mendapat sebuah ide cemerlang. Ini waktunya dia ikut andil dalam bermain bersama ayah dan anak itu. Sungguh timing yang sangat tepat.
"Apa aku boleh ikut ke sana. Dari pada Bagus yang kesini, nanti malah mengganggu waktu berduanya dengan Chan."
Mata Riana berbinar, dia merasa Rizka sedikit berbeda dengan sebelumnya meskipun dia tidak tahu apa itu.
"Boleh, seharusnya tidak masalah juga sih. Mari Bu sebelah sini."
Yes!
Tanpa Raina tahu dan dengar, Rizka bersorak senang ketika rencananya saat ini berjalan dengan mulus. Pdahal sedari tadi dia sudah khawatir saja akan sesuatu yang belum terjadi.
Rizka menunggu di sisi taman, sedangkan Raina lah yang menghampiri Bagus dan Chan. Ia melihat dari jarak yang sedikit jauh.
Degh!
Tiba-tiba dadanya berdebar. Pemandangan yang ada di depannya itu membuat Rizka merasa sesuatu yang tidak nyaman dalam hatinya.
Bagus, Raina dan Chan, mereka nampak seperti sebuah keluarga kecil. Dan dirinya yang berdiri di sisi ini, tampak seperti orang asing.
"Nggak, nggak gitu. Gue nggak boleh mikir itu. Meskipun waktu itu Chan bilang kalau si baby sitter itu adalah ibu masa depannya, tapi itu hana ocehan anak kecil. Aku nggak harus notice itu. Ya, mari kita lakukan sesuai dengan rencana semula."
Rizka mengeratkan tangannya yang saat ini memegang paper bag. Di dalam tas kertas itu, ada hadiah yang sudah hati-hati dipilihnya untuk diberikan kepada Chan.
"Oh Riz, ada apa?"
Bagus datang menghampiri Rizka. Meskipun hanya mengenakan kaos polo ditambah dengan celana pendek selutut, tapi aura ketampanan pria itu begitu terpancar. Vibes good man terlihat sangat melekat pada wajah Bagus.
"Pengen main aja, Chan nya?"
"Oh dia masih pengen main, lagi seneng banget main gelembung."
"Aah gitu, padahal aku mau kasih ini buat Chan."
Bagus mengerutkan kedua alisnya. Awalnya dia masih belum mengerti maksud dari wanita ini. Namun sekarang dia tahu betul apa yang diinginkan Rizka.
Tapi Bagus tidak mau buru-buru menilai dulu. Dia harus mengulik lagi. Apa benar tentang apa yang di dalam pikirannya saat ini.
"Kita ngobrol dulu aja, katanya kamu mau ngobrol. Itu bisa dikasihkan nanti. Nggak lama juga dia kelar mainnya. Yuk masuk."
Bagus membawa Rizka masuk kembali ke rumah. Ia mengajak Rizka untuk berbincang di ruang tamu. Padahal di taman tadi juga ada satu set meja dan kursi, tapi Bagus tidak mengajak Rizka mengobrol di sana yang mana Rizka sebenarnya ingin di sana.
Dia ingin membuat suasana seolah-olah mereka sedang bersantai sambil mengawasi Chan bermain.
Agaknya Rizka terlalu cepat berharap. Saat ini dirinya tamu, dan tamu biasanya tidak akan mendapat hal khsus seperti itu.
"Silakan diminum Pak, Bu."
"Makasih Bik Yah."
"Makasih Bi."
Bagus mempersilakan Rizka untuk minum lebih dulu. Sungguh apa yang dilakukan Bagus adalah hal yang wajar dalam menyambut tamu. Dimana Rizka merasa tidak suka akan hal itu.
"Nah, ada apa Riz?"
"Hmm ya pengen ngobrol aja Gus. Udah lama kan kita nggak ketemu. terakhir kayaknya kuliah ya."
"Oooh iya. Kita kuliah di tempat yang sama tapi beda jurusan ya?"
"Iya, tapi sayangnya aku nggak tuntas kuliahnya. Semua gara-gara aku dijodohin sama orang tua aku. Dan suamiku waktu itu nggak aku buat lanjutin kuliah."
Rizka mencoba melihat reaksi Bagus. Dia berharap Bagus bersimpati padanya, tapi ternyata tidak. Pria itu hanya mengangguk-anggukan kepala. Bahkan Bagus sama sekali tidak bertanya. Sungguh rasanya menjadi sangat canggung dan Rizka tidak tahu apa yang harus dia bicarakan setelah ini.
"Buseeet deh, garing banget ini. eh ini mah malah jadi kek awkward. Duuh."
TBC
makan tu susah...