Gracia Natahania seorang gadis cantik berusia 17 tahun memiliki tinggi badan 160cm, berkulit putih, berambut hitam lurus sepinggang. Lahir dalam keluarga sederhana di sebuah desa yang asri jauh dari keramaian kota. Bertekad untuk bisa membahagiakan kedua orang tua dan kedua orang adiknya. Karena itu segala daya upaya ia lakukan untuk bisa mewujudkan mimpinya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rachel Imelda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gagal Toltal
Ayah Beny dan Ibu Marni terkejut, "Kamu kasih alamat asramanya Kak Cia ke Dani?" tanya Ibu Marni.
"Iya, Bu. Maaf. Abisnya Kang Dani maksa dan dia kasih ponsel baru buat aku sebagai bayarannya, katanya biar aku bisa teleponan sama Kak Cia kalo aku kangen. Aku gak tahu kalo dia dan ibunya bakal nyusul Kak Cia ke Jepang." Kata Rina. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia merasa sangat bersalah.
Ayah Beny menghela napas panjang, kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. "Dani itu masalah Rina. Kakakmu pergi sejauh itu, salah satunya untuk menghindarinya. Kenapa kamu malah membantunya?"
Ibu Marni memeluk Rina yang mulai terisak. "Sudah, Nak. Kamu gak tahu. Lain kali jangan mudah tergoda sama bujukan orang ya! Lalu Ponselnya mana?"
Rina menggelengkan kepalanya, "Ponselnya belum dikasih. Katanya nanti, tapi ternyata mereka udah pergi ke Jepang."
Ibu Marni menghela napas, "Kita berdoa aja semoga Cia gak terganggu dengan kedatangan Dani dan Nyonya Sinta."
Namun, Ayah Beny tahu, jika Dani sampai menyusul Cia, artinya kekacauan sedang terjadi di Tokyo. Kecemasan yang baru saja mereda kini kembali membuncah.
********
Kediaman Juragan Darmo
Pukul sepuluh pagi, di rumah Juragan Darmo, suasana jauh dari kata damai. Rumah itu megah, berdinding keramik berkilauan, berbeda dengan rumah-rumah sederhana di sekitarnya.
Juragan Darmo, Bapaknya Dani, sedang duduk di sofa ukiran Jepara, menikmati siaran televisi sambil menghitung untung dari hasil panen yang baru masuk. Kekuasaannya di desa adalah hal yang ia banggakan, dan ia benci jika ada yang menentangnya.
Tiba-tiba ponselnya mewahnya bergetar. Sebuah panggilan internasional dari Nyonya Sinta.
Juragan Darmo mengangkatnya dengan angkuh. "Hallo, Sinta. Bagaimana? Dani sudah berhasil merebut hati gadis itu? Pasti Si Cia sudah luluh melihat anakku!"
Suara Nyonya Sinta di seberang telepon terdengar bergetar, bercampur amarah dan rasa malu. "Gagal Mas. GAGAL TOTAL!"
Juragan Darmo sontak duduk tegak, raut wajahnya berubah dingin. "Apa maksudmu gagal? Kalian sudah jauh-jauh ke Tokyo, kalian sudah menghabiskan banyak uang untuk Visa bisnis dan tiket mahal!"
Nyonya Sinta kemudian menceritakan semua yang terjadi: kedatangan Dani yang angkuh, penolakan Cia yang tegas di Lobi Asrama, dan penghinaan dari teman Cia yang berbicara bahasa Jepang.
"Cia mempermalukan kita, Mas! Dia bilang Dani bukan masa depannya. Dia bahkan mengancam akan memanggil konsulat. Anakmu diperlakukan seperti pengganggu, bukan pangeran!" ratapan Nyonya Sinta.
Juragan Darmo mencengkeram Ponselnya sampai buku jarinya memutih. Wajahnya merah padam. Ini bukan hanya masalah cinta, ini adalah masalah harga diri dan kekuasaan. Seorang gadis desa, anak dari seorang petani biasa, berani menolak dan mempermalukan putranya yang dianggap sudah berkelas di mata internasional.
"Gadis kurang ajar" geram Juragan Darmo.
"Jadi, gimana, Mas? kita harus memikirkan cara lain. Kita gak boleh kalah." kata Nyonya Sinta.
Juragan Darmo menaiki napas. Matanya memancarkan rencana licik. Kekuatan Dani di Tokyo mungkin nol, tapi kekuatannya di desa adalah segalanya. Dia tidak akan menyerang Cia di Tokyo, dia akan menyerang titik lemahnya di desa.
"Dengar, Sinta. Kalian segera pulang. Biar aku yang urus urusan ini. Kita tidak perlu lagi buang-buang uang di Tokyo. Gadis iru baru akan tahu betapa berharganya kehormatan dan uang, ketika keluarganya disini mulai menderita," kata Juragan Darmo dengan suara mengancam.
"Aku tidak akan membiarkan anak petani itu menghinaku. Dia mau fokus kuliah? Bagus. Akan kucabut akarnya disini., sehingga dia tidak punya pijakan lagi untuk kembali.
Juragan Darmo segera mengakhiri panggilan. Ia bangkit, melangkah ke ruang kerjanya. Otaknya mulai menyusun rencana balas dendam yang melibatkan tekanan finansial dan sosial terhadap keluarga Beny.
"Beny, kau harus membayar mahal karena anakmu yang terlalu angkuh.," bisik Juragan Darmo sambil menatap ke luar jendela, ke arah jalan yang menuju ke rumahnya Ayah Beny.
Sore harinya di rumah Ayah Beny.
Ayah Beny baru saja pulang dari kebun, keringanan membasahi bajunya. Ia sedang duduk di teras sambil minum air gula merah, pikirannya masih dihantui kabar Rina yang memberikan alamat asrama Cia kepada Dani. Dia berharap Cia tidak terlalu tertekan.
Tiba-tiba seorang pemuda dari kantor desa datang dengan sepeda motor, membawa surat bersampul resmi.
"Permisi Pak Beny, ada surat dari balai desa," kata Pemuda itu, menyerahkan surat itu dengan sedikit keraguan.
Ayah Beny menerima surat itu, keningnya berkerut melihat cap desa yang dicetak tebal. Ibu Marni dan Rino ikut mendekat dengan rasa penasaran.
"Ayah Beny membuka surat itu perlahan. Matanya mulai menyapu baris demi baris tulisan di dalamnya, dan raut wajahnya yang tadinya hanya cemas, kini berubah menjadi pusat pasi.
"Ada apa, Yah?"tanya Ibu Marni, khawatir.
Ayah Beny melipat surat itu kembali dengan tangan gemetar.
"Ini, ini tentang tanah," katanya, suaranya terdengar tercekat. "Ada gugatan dari Juragan Darmo. Dia bilang batas tanah kebun kita itu masuk ke wilayahnya, dan dia menuntut kita untuk membayar kerugian ganti rugi yang besar, atau... kita harus mengosongkan kebun itu dalam waktu seminggu."
Ayah Beny menatap ke arah sawah kecil yang menjadi sumber penghidupan mereka, kemudian ia menatap istrinya. Di balik gugatan tanah itu, ia tahu ini bukan kebetulan. Ini adalah ulah juragan Darmo, yang mulai menekan mereka dari desa, karena harga diri anak mereka terluka di Tokyo.
Dan ini baru permulaan.
Keluarga Ayah Beny terdiam. Kebun kecil itu warisan turun temurun, adalah satu-satunya jaminan hidup mereka. Mereka hanya bisa mengandalkan hasil panen kebun itu, dan juga hasil dari penjualan kue-kue ibu Marni. Sedangkan dari jasanya mengobati orang sakit tidak memungut bayaran sedikitpun. Namun kini kebun itu terancam di rebut.
Ibu Marni terduduk di kursi teras. "Ya Tuhan, Ben. Apa yang akan kita lakukan? Kita tidak punya uang sebanyak itu untuk ganti rugi. Dan sawah itu.... sawah itu kan hak kita!" ratapnya, air matanya mulai menetes.
Ayah Beny, yang biasanya tenang, kini terlihat sangat tertekan. "Aku tahu, Bu. Tapi juragan Darmo itu punya tangan panjang di kantor Desa. Surat ini..... pasti ada celah hukum yang dia mainkan." Ia mengepalkan tangannya. "Ini bukan tentang tanah, ini tentang Dani. Ini balas dendam."
Rina, yang merasa sangat bersalah, mendekat sambil menangis. "Maafkan Rina, Yah. Semua ini gara-gara Rina. Seharusnya Rina tidak pernah kasih alamatnya Kak Cia."
"Sudah, Nak. Ini sepenuhnya bukan salah kamu." Kata Ibu Marni, meski hatinya remuk. "Sekarang kita harus berpikir, bagaimana kita melawan orang sekuat Juragan Darmo.
Sedangkan Rino, "Makanya Rin, jangan gampang dirayu. Jadinya kan gini." Kata Rino semakin membuat Rina merasa bersalah.
"Udahlah Rino, jangan menyalahkan kakak kamu terus. Semua ini gara-gara Dani. Ayah yakin Juragan Darmo akan selalu cara untuk memenuhi keinginan anak kesayangannya itu." Kata Ibu Marni.
Ayah Beny menghela napas. Dia tahu, dia tidak bisa menghadapi ini sendirian. Dia memikirkan Cia yang baru saja menemukan kedamaian untuk belajar. Dia harus melindungi Cia dari goncangan ini.
"Kita harus ketemu sama Pak Lurah Hadi, apakah beliau tahu tentang hal ini." kata Ayah Beny.
"Ya, Pak Lurah Hadi kan pamannya Juna. Pasti dia bisa membantu kita." Kata Ibu Marni menanggapi.
Bersambung