Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika semua mengira
Di luar gedung sekolah SMP, seperti biasa Jefran berdiri sendirian menunggu jemputan. Headphone menempel di telinganya, sementara matanya sibuk menatap layar ponsel, membaca beberapa pesan dari tempat bimbingan belajar. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi.
Hari-hari Jefran tak pernah sama dengan anak-anak seusianya. Banyak dari mereka menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan nongkrong, bermain game, bercanda riuh bersama teman, membaca komik, atau pergi ke mana pun yang mereka mau. Hidup mereka terlihat bebas—penuh warna.
Sedangkan Jefran?
Rutinitasnya selalu sama. Terlalu rapi. Terlalu teratur. Terlalu monoton.
Orang-orang sering menganggap hidupnya membosankan—anak yang kelewat baik, terlalu disiplin, terlalu patuh. Hari-harinya hampir selalu berakhir di perpustakaan atau ruang bimbingan belajar. Seperti hari ini, mobil supir berhenti di depan gerbang sekolah, membawanya pergi tanpa banyak basa-basi menuju tempat les.
Di dalam ruang bimbel, Jefran sudah duduk di kursinya. Beberapa murid lain perlahan berdatangan, bercakap ringan, sebagian tertawa kecil. Jefran membuka bukunya, langsung menuju halaman yang akan dijelaskan mentor hari itu. Fokus. Serius. Seperti biasa.
Ia tidak punya teman. Ia sendirian.
Dan anehnya… itu tidak pernah ia jadikan masalah.
Walau jauh di dalam hatinya, ada rasa penasaran yang tak pernah benar-benar hilang. Ia ingin tahu apa yang biasa dibicarakan teman-temannya. Anime apa yang sedang ramai dibicarakan belakangan ini? Komik apa yang enak dibaca sebelum tidur? Musik apa yang sedang tren dan sering diputar di mana-mana?
Mungkin orang mengira Jefran selalu mendengarkan musik karena headphone atau earbuds hampir tak pernah lepas darinya. Padahal bukan lagu-lagu hits yang ia dengar. Bukan musik populer, bukan pula sesuatu yang sedang viral.
Tapi—
“Eh… maaf, aku nggak sengaja…”
Seseorang menyenggol meja, membuat headphone yang tergeletak di atasnya bergeser. Seorang gadis berdiri di samping Jefran, terlihat canggung namun penasaran. Sebelum Jefran sempat bereaksi, gadis itu sudah mengambil headphone tersebut.
Jefran refleks mengulurkan tangan, meminta kembali.
“Kamu tiap hari dengerin musik apa sih?” tanya gadis itu santai.
Alih-alih mengembalikan, gadis itu justru memakainya—lalu terdiam.
Yang terdengar bukan alunan lagu, melainkan suara seseorang yang sedang menjelaskan rumus matematika… dalam bahasa Inggris. Suaranya datar, terstruktur, seperti rekaman pembelajaran.
Wajah gadis itu berubah kikuk.
Jefran berdiri perlahan dari kursinya. Tanpa emosi, tanpa sepatah kata pun, ia mengambil kembali headphone dari kepala gadis itu. Tatapannya dingin, singkat—cukup untuk membuat gadis itu terdiam.
Tanpa berkata apa-apa, Jefran melangkah keluar kelas.
Punggungnya menjauh, tetap tegak.
Sendirian seperti biasa.
***
Kelas bimbingan belajar akhirnya selesai. Jefran merapikan buku-buku dan alat tulisnya dengan tenang, satu per satu dimasukkan ke dalam tas seperti rutinitas yang sudah dihafalnya di luar kepala. Saat ia hendak memasukkan buku paket terakhir, beberapa murid bergegas keluar ruangan—tertawa, bercanda, terburu-buru seperti ingin segera bebas.
Brak.
Meja Jefran tersenggol cukup keras. Buku paketnya jatuh ke lantai.
Jefran menoleh. Tatapannya singkat, datar. Anak yang menabraknya sama sekali tidak menoleh balik, apalagi meminta maaf. Ia langsung pergi begitu saja, seolah tidak terjadi apa-apa.
Jefran berjongkok, mengambil bukunya, menepuk sedikit debu di sampulnya. Tidak ada keluhan. Tidak ada kemarahan. Ia hanya memasukkan buku itu kembali ke dalam tas, lalu berdiri dan melangkah keluar kelas.
Begitu sampai di luar gedung, pandangannya langsung tertuju pada sebuah mobil yang terparkir rapi. Mobil ayahnya.
Chandra terlihat sedang berbincang dengan Pak Arsen, guru bimbel Jefran. Wajah ayahnya tampak ramah, senyumnya tipis namun sopan. Jefran berhenti sejenak, bersembunyi di balik jarak. Ia melihat ayahnya menyerahkan beberapa paper bag pada Pak Arsen—isinya entah apa.
Beberapa murid lain ikut memperhatikan pemandangan itu.
“Lihat deh… itu bokapnya Jef kan?” bisik salah satu dari mereka.
“Iya, sama Pak Arsen ya?” sahut yang lain.
“Wih, ngasih apaan tuh?”
“Cih… pantesan Pak Arsen baik banget sama dia,” celetuk seseorang dengan nada sinis.
“Iya, gue emang sebel banget sama dia.”
“Dia selalu lebih unggul dari kita. Ternyata itu alesannya.”
Kata-kata itu jatuh satu per satu, tanpa disadari—atau mungkin memang sengaja—masuk ke telinga Jefran.
Langkahnya terhenti sejenak.
Saat ia melintas di dekat mereka, dua anak itu langsung terdiam. Suasana mendadak canggung. Tidak ada yang berani menatap Jefran, sementara Jefran sendiri tak menoleh sedikit pun. Wajahnya tetap sama—tenang, dingin, seolah komentar barusan hanyalah angin lalu.
Alih-alih berjalan ke arah ayahnya, Jefran justru membuka ponsel dan memesan taksi. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Jefran masuk tanpa ragu.
Dari kejauhan, Chandra baru menyadari anaknya telah menaiki taksi.
“Jefran!” panggilnya sambil berlari kecil ke arah jalan.
Namun mobil itu sudah melaju.
Chandra berhenti, napasnya sedikit tersengal. Wajahnya berubah kesal, bercampur bingung.
“Ada apa dengan anak itu?” tanyanya dengan nada tidak sabar.
“Mungkin dia nggak lihat Anda di sini, Pak Chandra,” jawab Pak Arsen mencoba menenangkan.
Chandra menghela napas panjang. Ia segera berpamitan, menjabat tangan Pak Arsen dengan singkat, lalu bergegas menuju mobilnya sendiri.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Chandra menyalakan mesin dan menyusul taksi yang membawa Jefran—anak yang sejak tadi memilih berjalan sendirian, bahkan ketika ayahnya berdiri tepat di depannya.
***
Pintu rumah terbuka. Jefran melangkah masuk tanpa menoleh, sepatunya dilepas asal, tas masih menggantung di bahu. Di belakangnya, Chandra ikut masuk dengan langkah cepat.
“Jefran,” panggil Chandra. “Kenapa kamu pulang duluan?”
Jefran berhenti sejenak, tapi tidak menoleh.
“Aku udah ngantuk.”
“Kan bisa kamu panggil papa,” suara Chandra sedikit meninggi. “Papa nunggu di luar.”
“Habisnya papa asik banget ngobrol sama Pak Arsen,” jawab Jefran datar.
Chandra mengernyit. “Jefran, kamu ini kenapa sih?”
Jefran akhirnya berbalik. Tatapannya tajam, penuh emosi yang sejak tadi ia pendam.
“Papa yang kenapa? Aku kan udah pernah bilang, nggak usah jemput aku ke tempat bimbel.”
“Papa sekalian mau ketemu Pak Arsen,” sahut Chandra, mencoba tetap tenang.
“Jangan di tempat bimbel,” potong Jefran cepat. “Papa tau nggak apa yang dibicarain sama teman-teman aku? Mereka mikirnya aneh-aneh.”
“Aneh-aneh gimana sih?” Chandra menghela napas. “Papa cuma nitipin sesuatu ke Pak Arsen. Nggak ada maksud lain.”
“Pokoknya papa nggak usah datang lagi,” ucap Jefran keras. “Aku bisa pulang sendiri.”
Chandra terdiam.
Amarah Jefran bukan sekadar capek atau ngantuk. Di sekolah, di tempat bimbel, bisik-bisik itu selalu sama—orang-orang mengira setiap kebaikan yang ia terima adalah karena sekolah itu milik keluarganya. Seolah-olah semua nilai bagus, semua perhatian guru, semua keistimewaan yang ia dapatkan bukan hasil usahanya sendiri.
Padahal Chandra bukan orang seperti itu. Ia tak pernah menyalahgunakan kuasa. Salah tetap salah, hukuman tetap hukuman. Mau sekolah itu milik keluarga atau bukan, aturan tetap aturan.
Namun Jefran tidak melihatnya seperti itu.
Karena ketika semua orang berkata hal yang sama, berulang kali, perlahan kebohongan itu terdengar seperti kebenaran. Dan tanpa sadar, Jefran mulai percaya—bahkan pada satu hal yang paling ingin ia yakini tidak pernah dilakukan ayahnya.