NovelToon NovelToon
1000 Hari Bersamamu

1000 Hari Bersamamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romantis / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Mardonii

Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.

Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.

Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20. DIANTARA TEPUNG

..."Di antara tepung dan diam, dua hati belajar bahwa rasa paling berani bukan dari resep, tapi dari keputusan untuk mencoba lagi."...

...---•---...

Pisau Doni berhenti di tengah potongan. Pertanyaan itu datang begitu saja, tapi entah kenapa terasa tidak terelakkan, seperti sesuatu yang sudah lama menunggu untuk ditanyakan.

"Tidak pernah. Belum pernah."

"Lima tahun?"

"Lima tahun." Tangannya melanjutkan memotong, gerakan mekanis yang butuh fokus untuk menutupi gejolak di dadanya. "Awalnya karena berduka. Terus karena rasa bersalah. Lalu... takut. Takut kehilangan lagi. Takut membiarkan seseorang dekat, lalu mereka pergi."

"Makanya kamu mengurung diri di dapur. Kerja tanpa henti di restoran."

"Iya. Masakan tidak akan pergi. Tidak akan mati. Aman." Doni meletakkan pisau, bunyi logam di talenan terdengar terlalu keras di keheningan. Ia menatap Naira. "Sampai kamu."

"Sampai aku?"

"Kamu membuat aku... ingin lagi. Ingin peduli. Ambil risiko." Kata-kata keluar patah-patah, tidak seperti resep masakan yang selalu pasti. "Bertahan itu bukan hidup. Aku tahu sekarang."

Naira berdiri. Kakinya membawanya mengelilingi meja, langkah demi langkah menghapus jarak, sampai tidak ada lagi penghalang di antara mereka. Hanya udara yang terasa menipis.

"Kamu juga melakukan hal yang sama untukku. Kamu membuat aku percaya kalau tidak semua pria itu berbahaya. Kalau rapuh bukan berarti lemah. Kalau mungkin, hanya mungkin..." Suaranya turun menjadi bisikan. "...aku bisa cinta lagi tanpa takut kehilangan hidup."

Sekarang mereka berdiri sangat dekat. Hangat tubuh satu sama lain terasa nyata, bukan imajinasi, bukan harapan kosong. Napas keduanya sedikit tergesa, dada naik-turun tidak sinkron.

"Ini melanggar semua aturan," bisik Doni.

"Bodo amat sama aturan." Jantung Doni melompat mendengar kepastian di suara itu, tanpa ragu, tanpa mundur.

"Kontraknya jelas..."

"Kontrak tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumah ini. Di dalam ruangan ini. Antara kita."

"Naira, aku tidak mau kamu nyesel. Kamu baru saja... Rendra baru pergi beberapa jam lalu. Emosi masih..."

"Doni." Naira menempelkan tangannya di dada Doni. Detak jantungnya cepat di bawah telapak tangannya, seperti burung yang terkurung. "Aku tidak akan nyesel. Yang aku sesali kalau kita pura-pura tidak ada apa-apa di sini. Kalau kita buang 972 hari lagi cuma buat akting kayak orang asing padahal jelas-jelas bukan."

"Kalau ketahuan, aku bisa digugat. Lima ratus juta. Restoran yang lagi aku selamatkan bisa..." Suaranya patah, terlalu nyata untuk diucapkan.

"Maka kita hati-hati. Kita jaga rahasia ini antara kita." Tatapan Naira tidak berkedip, tidak ada keraguan di sana. "Atau... kamu tidak merasakan apa yang aku rasa?"

Napas Doni tertahan. "Aku merasakan." Kata-kata keluar serak, seperti tergores. "Aku merasakan sampai... menakutkan."

"Hidup itu risiko. Kamu sendiri yang bilang, masak itu juga risiko. Kita tidak tahu hasilnya bakal sempurna atau gagal total sampai kita coba." Senyum kecil muncul di bibir Naira, senyum yang rapuh tapi berani. "Jadi ayo coba. Pelan-pelan. Hati-hati. Di dalam rumah ini, di antara sesi masak dan nasi goreng tengah malam, ayo lihat apa yang bisa tumbuh diantara kita."

Doni menatap wajah yang beberapa bulan lalu pucat dan hampa, kini hidup lagi dengan warna dan harapan.

Pikirannya memutar. Kontrak dengan klausul hitam di atas putih. Lima ratus juta yang tidak ia punya. Restoran yang masih bernapas dengan alat bantu. Tapi lebih dari itu, bagaimana kalau ia gagal lagi? Bagaimana kalau Naira jadi seseorang lain yang ia kehilangan?

Tapi lalu ia ingat: nasi goreng jam tiga pagi. Tawa Naira saat belajar potong bawang. Cara dia menatapnya, bukan dengan kasihan, tapi dengan lihat. Benar-benar lihat.

Memori Sari muncul, senyumnya yang dulu begitu terang, sekarang hanya bayangan kabur yang tidak lagi menyakitkan. Tiga tahun ia pikir tidak akan ada lagi. Tapi Naira bukan pengganti. Naira adalah halaman baru. Buku baru. Cerita yang tidak pernah ia kira akan ia baca lagi.

Dan ia sadar: kadang, risiko terbesar justru adalah tidak mengambil risiko sama sekali.

"Oke," katanya akhirnya, kata pendek yang terasa seperti lompatan dari tebing. "Pelan-pelan dan hati-hati. Hanya kita yang tahu."

"Hanya kita yang tahu."

Begitu kata itu keluar, Doni merasakan, apa? Takut? Keduanya sekaligus, berputar di perutnya seperti adonan yang belum selesai diuleni. Tapi di bawah semua itu, ada sesuatu yang lebih dalam: harapan. Kecil, rapuh, tapi nyata.

Mereka tidak berciuman. Tidak ada pelukan dramatis. Hanya berdiri di sana, tangan Doni menutupi tangan Naira yang masih di dadanya, jari-jari mereka bersentuhan, kulitnya halus, sedikit dingin, tapi hangat di tempat-tempat yang bersentuhan lebih lama. Dengan janji yang lebih dalam dari sentuhan apa pun. Janji untuk menjelajahi ini, apa pun ini, dengan rasa hormat dan perhatian.

Timer berbunyi, bunyi elektronik yang memotong keheningan tebal di antara mereka.

Mereka melepas sentuhan perlahan, seperti tidak yakin apakah boleh.

"Adonan pasta sudah cukup istirahat," kata Doni, suaranya sedikit serak, seperti baru bangun tidur.

"Mari kita roll pasta," kata Doni.

"Mari kita roll pasta," jawab Naira dengan senyum yang membuat jantung Doni berdebar, bukan takut, tapi antisipasi.

...---•---...

Mereka menghabiskan satu jam berikutnya membuat pasta bersama. Doni menggiling adonan dengan mesin, Naira di sampingnya, mengamati lembaran tipis keluar seperti sutra basah, dari yang tebal seperti karton, menjadi tipis transparan.

"Ini seperti magic," bisik Naira, jari-jarinya menyentuh lembaran pasta yang baru keluar. Lembut, kenyal, hidup di bawah sentuhannya.

"Bukan magic. Cuma kesabaran dan teknik." Tapi Doni tersenyum, karena ia tahu, kadang keduanya tidak jauh beda.

Mereka memotong fettuccine bersama, pisau naik turun dalam ritme yang tanpa sadar sinkron. Jari-jari mereka bersentuhan saat mengatur lebar potongan. Gerakan yang tidak direncanakan tapi terasa seperti sudah dilakukan ribuan kali.

Pasta digantung di rak, jatuh seperti tirai keemasan yang menangkap cahaya lampu dapur, bergoyang lembut setiap kali ada gerakan. Naira mundur selangkah, memandangi hasil kerja mereka.

"Cantik," katanya. "Aku tidak pernah pikir pasta bisa cantik."

"Karena kamu yang bikin. Dari nol. Dengan usaha dan..." Doni berhenti, tidak melanjutkan kata terakhir. Tapi keduanya tahu kata apa yang menggantung di udara.

...---•---...

Setelah itu mereka membuat carbonara. Bacon mendesis di wajan, aroma gurih mengepul, asap tipis membawa bau garam dan lemak yang membuat perut keroncongan meski belum lapar. Doni memutar potongan bacon dengan spatula kayu, bunyi keripik yang menyenangkan.

Naira mengocok kuning telur dengan parmesan, tangannya sedikit gemetar. Garpu bergerak tidak stabil di mangkuk.

"Aku takut menggumpal nanti," katanya, melirik Doni dengan mata yang meminta kepastian.

Doni tersenyum, bukan senyum mengejek, tapi senyum yang mengatakan. "Aku di sini. Kita akan cepat aduk begitu api mati. Percaya sama proses."

Pasta direbus al dente, bunyi air mendidih seperti napas dapur, gelembung besar naik dan pecah di permukaan. Uap hangat mengepul, membuat kaca jendela berembun.

Mereka bekerja bersama dalam koreografi yang tidak dilatih: Doni mematikan api, mencampur pasta dengan lemak bacon, lemak keemasan yang mengkilat menyelimuti setiap helai. "Sekarang," katanya.

Naira menuang kocokan telur sambil Doni mengaduk cepat, gerakan melingkar, terus-menerus, tidak berhenti. "Air pasta, pelan-pelan," instruksinya.

Naira menuang dari cangkir, cairan bening dengan sedikit pati, turun seperti benang. Dan ajaib, saus menyatu creamy, mengkilat, tidak menggumpal. Setiap helai pasta terbalut sempurna.

"Kita berhasil!" Senyum Naira lebar, mata berbinar, seperti anak kecil yang baru berhasil naik sepeda pertama kali.

Mereka makan di meja dapur. Pasta hangat dengan saus yang lembut dan gurih, bacon yang renyah dan asin memberi tekstur kontras, keju yang tajam dan nutty menyatu dengan telur. Setiap gigitan adalah keseimbangan: creamy tapi tidak berat, asin tapi tidak berlebihan, kaya tapi tidak mual.

Garpu Naira memutar pasta, helai keemasan melilit, mengangkat sedikit saus. Ia memasukkan ke mulut, menutup mata.

"Ini..." Ia mengunyah perlahan, membiarkan rasa menyebar. "Carbonara terbaik yang pernah aku makan."

"Karena kamu yang bikin. Dari nol. Dengan usaha dan cinta."

Naira membuka mata, menatap Doni. "Dan dengan koki terbaik sebagai guru."

Mereka makan dalam keheningan yang nyaman, bukan sunyi canggung, tapi sunyi yang penuh. Sesekali mata bertemu dan tersenyum. Sesekali tangan bersentuhan, jari menyentuh jari saat meraih garam, bertahan sedikit lebih lama dari seharusnya, menarik perlahan seperti tidak ingin lepas.

Cahaya lampu dapur membuat segalanya terasa hangat, aman. Di luar, malam sudah gelap. Tapi di sini, di ruangan kecil ini dengan aroma pasta dan bacon, dunia terasa pas. Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil.

Dan untuk pertama kalinya sejak keduanya kehilangan banyak hal dalam hidup, kehilangan orang, kehilangan arah, kehilangan diri, mereka merasa: ini adalah awal dari sesuatu yang indah. Sesuatu yang rapuh, tapi layak dijaga dengan hati-hati.

972 hari tersisa.

Doni menatap Naira yang sedang memutar pasta terakhir di piringnya, senyum kecil di bibir, rambut jatuh menutupi sebagian wajah.

Dan tiba-tiba, 972 hari terdengar seperti waktu yang terlalu singkat.

...---•---...

...Bersambung...

1
Ikhlas M
Loh Naira, jangan banyak makan-makan yang pedes ya nanti sakit perut. Kasian perutnya
Ikhlas M
Bisa jadi rujukan nih buat si Doni ketika dia ingin makanan sesuatu yang dingin
Ikhlas M
Pinter banget sih kamu Don. Aku jadi terkesan banget sama chef terbaik kayak kamu
Ikhlas M
Akhirnya dia mau makan juga. Terbaik banget sih kamu Don. Chef paling the best se jagat raya
Ikhlas M
betul banget. Memang makanan lokal juga gak kalah hebatnya di bandingan makanan luar
Iyikadin
Biasanya orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling menyakiti juga😭
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
ada mslh apa sebenrnya sama naira, hingga dia jd terpuruk kyk gtu, smg masskanmu bs mmbuat naira kmbli hidup Doni
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
krn selera mknnya udh nggk ada doni, coba km buat mdkn yg baunya menggugah selera, jd nnt saat namira mencium bau mskn km dia jd ingin mkn
Rezqhi Amalia
nah betul. si pemilik rumah aja gak masalah tu
Rezqhi Amalia
ya gtu sih, satu laki laki saja berbuat kesalahan, pasti semua laki laki disamakan. begitu pula sebaliknya😭🤣
Rezqhi Amalia
seperti biasa Thor, pbukaan yg bagus🥹
Cahaya Tulip
Asal Ratna ga tau..klo pun tau tenang aja don, Naira pasti membelamu. yang penting nasi gorengnya jangan lupa pakai terasi 😁👍
@dadan_kusuma89
Ternyata kau sudah memikirkan sampai sedalam itu, Don. Aku salut denganmu, bukan hanya rasa di lidah yang kau utamakan, namun lebih dari itu, selain enak juga harus sehat.
@dadan_kusuma89
Filosofi dalam setiap resep racikan yang kau ciptakan selalu mengandung unsur penawar, Don. Meski tanpa kata ataupun ramuan herbal, namun jika rasa yang ditimbulkan memiliki kekuatan hakiki, maka semua itu bisa menjadi pendorong semangat hidup.
☕︎⃝❥Ƴ𝐀Ў𝔞 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ℘ℯ𝓃𝓪 🩷
mungkin krn klean mulai dekat, jd Naira ingin lebih kenal, paham & berempati sama kmu Don 🤭
Muffin
Betul mereka punya luka kehilangan yang sama. Hanya beda cara bersikap aja. Kalau naira lebih menutup diri
Muffin
Teratur sekali yaa hidup naira. Aku aja kadang makan pagi dirapel makan siang 🤣
LyaAnila
dia goreng nasi goreng lagi kah? kalau iya, pasti baunya harum. ahjadi pengen🤭
PrettyDuck
hwaaaa kalo ketauan pengacaranya jadi masalah gak nih? tapi syukur2 naira gak jadi mati kelaperan kann 😭
PrettyDuck
akhirnya makan kau nairaa! udah 8 bab si doni nungguin biar kamu makan 🫵
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!