Thalia Puspita Hakim, perempuan berusia 26 tahun itu tahu bahwa hidupnya tidak akan tenang saat memutuskan untuk menerima lamaran Bhumi Satya Dirgantara. Thalia bersedia menikah dengan Bhumi untuk melunaskan utang keluarganya. Ia pun tahu, Bhumi menginginkannya hanya karena ingin menuntaskan dendam atas kesalahannya lima tahun yang lalu.
Thalia pun tahu, statusnya sebagai istri Bhumi tak lantas membuat Bhumi menjadikannya satu-satu perempuan di hidup pria itu.
Hubungan mereka nyatanya tak sesederhana tentang dendam. Sebab ada satu rahasia besar yang Thalia sembunyikan rapat-rapat di belakang Bhumi.
Akankah keduanya bisa hidup bahagia bersama? Atau, justru akhirnya memilih bahagia dengan jalan hidup masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENOLAKAN PERTAMA
"Om Galak ini bukan Papa Mia kan, Ma?" Jemia melirik Bhumi yang sedang menatapnya.
Suasana di rumah sederhana itu terasa canggung. Kini mereka sedang berada di ruang makan. Mereka baru saja selesai makan malam. Jemia tiba-tiba menghampiri mamanya dan berdiri di samping Thalia.
"Papa Mia sudah ke surga kan, Ma?" Lagi, Jemia melirik Bhumi lewat sudut matanya.
Bhumi duduk di depan Thalia. Arah pandangnya tertuju pada dua perempuan yang sangat ia sayangi itu. Ya, Bhumi mengakui bahwa ia menyayangi Thalia. Perasaan yang sempat ia sangkal itu semakin kuat saat kehadiran Jemia.
Namun, mendengar pertanyaan Jemia selanjutnya membuat Bhumi shock. Matanya berkedip lama, tepat saat ia bersitatap dengan Thalia.
Thalia mengunci pandang Jemia. Mata bulat hazel itu masih setia menatap, menunggu Thalia menjawab atas pertanyaannya sejak kedatangan pria yang mengaku ayahnya itu.
"Kamu bilang saya sudah meninggal?" Suara berat Bhumi membuat Thalia mengumpat dalam hati.
Pria di depannya itu sama sekali tidak mengerti cara bersikap dengan anak-anak.
"Om nggak boleh marahin Mama!" Jemia memutar badan, melayangkan tatapan tajam dengan wajah kesal pada Bhumi. Tangannya berkacak pinggang.
Galak sekaligus menggemaskan.
Bhumi terpaku. Ekspresi Jemia saat marah mirip dirinya. Ah, Bhumi seperti melihat dirinya versi mini.
"Mia...." Thalia menyentuh bahu putrinya.
Jemia menoleh dan menatap Thalia. Eskpresi kemarahan tadi berubah hangat. "Kenapa Om itu nggak disuruh pulang aja, Ma?"
Thalia sekali lagi menatap Bhumi. Air wajah Bhumi tidak berubah sama sekali. Tangannya bahkan terlipat di depan dada. Begitu tenang meskipun Jemia sempat ingin mengusirnya.
"Kamu mau saya yang menjelaskan ke Jemia siapa saya?"
Thalia menahan diri untuk tidak benar-benat keceplosan mengeluarkan kata-kata kasar pada Bhumi. Pria itu sangat tidak sabaran.
"Sabar. Aku juga berusaha untuk menjelaskan agar dia nggak bingung."
Jemia masih menunggu mamanya bicara. Sorot pandang Thalia langsung berubah hangat. Dirapikannya rambut panjang Jemia.
Setelah degup jantungnya mulai tenang, barulah Thalia berkata, "Om itu Ayah Jemia. Papa yang dulu pernah Mia tanyakan keberadaannya."
"Hah? Lalu Papa yang di surga papanya siapa?"
Thalia menatap putrinya dengan hangat. "Mama pernah bilang Papa pergi jauh bukan berarti itu artinya Papa sudah meninggal. Kan bisa aja Papa memang bekerja jauh."
Jemia terdiam. Wajahnya berubah cemberut. Bibitnya mencebik dengan lucu.
"Tapi Mia nggak mau punya Papa Om Galak!" tolak Jemia. "Om Galak juga punya pacar. Tantenya Galak juga. Mia nggak suka!"
Mata Thalia membulat. Ia sempat terkesiap. Perasaannya tiba-tiba membenci itu. Namun, ia tetap mempertahankan senyum hangatnya di depan Thalia.
"Meskipun Papa Mia punya pacar, beliau tetap Papanya Mia. Mia harus sayang Papa."
"Tapi Mia nggak suka!" Jemia mendengus kesal. Kedua alis tebalnya menukik tajam. "Mia mau Om Julian!"
Ditolak anaknya sendiri mentah-mentah seperti ini membuat hati Bhumi hancur. Meski ia terlihat tenang, tetapi melihat bendera permusuhan yang Jemia kibarkan untuknya membuat Bhumi menyesal karena terlambat mengetahui kebenaran ini.
Putrinya bahkan terang-terangan menyukai Julian. Pria itu lagi!
Bhumi beranjak berdiri. Kemudian melangkah pelan menghampiri Thalia dan Jemia.
Mata tajam Jemia tetap terpusat pada Bhumi. Sangat terlihat jelas betapa ia membenci kehadiran Bhumi.
"Om Galak pulang aja! Aku sama Mama mau istirahat."
Wajah tegas Bhumi terlihat galak. Meski tidak sedang marah pun, aura dominan pria itu membuat lawan bicaranya akan merasa terintimidasi.
"Saya mau kamu ikut saya. Rumah saya besar. Kamu bisa melakukan apapun di sana. Saya juga punya uang yang banyak. Kamu bebas mau beli apapun."
Mata Thalia membulat mendengar kalimat angkuh tersebut. Bisa-bisanya Bhumi menyombongkan diri di depan putrinya sendiri.
"Om Galak bohong! Lihat! Om datang nggak bawa apa-apa. Om Julian selalu bawa donat tiap datang!" balas Jemia telak.
Saat itu juga Thalia sudah ingin tertawa. Apalagi wajah Bhumi langsung menggeram kesal.
***
"Kamu keterlaluan!" Bhumi tak bisa menahan diri untuk tidak protes pada Thalia saat Jemia terang-terangan membandingkan dirinya dengan Julian.
Parahnya, Jemia juga menyangka dirinya sudah meninggal.
"Apa sih? Aku nggak pernah bilang kamu udah meninggal. Dia aja yang mikir begitu. Aku cuma bilang, kalau papanya sudah pergi jauh."
Bhumi menatap Thalia gusar. Seharusnya malam ini Jemia sudah ia bawa ke rumah mewahnya. Namun, Thalia menahan Bhumi melakukan itu. Dan, ya, lagi-lagi putri kecilnya itu menolak dia ajak pindah.
Kini di sinilah Bhumi akan tidur. Kamar sederhana milik Thalia. Jangan bayangkan ini seperti rumah sederhana yang kecil itu. Kamar dengan nuansa warna abu-abu terang ini hanya lebih kecil dibandingkan kamar Thalia di rumahnya.
"Kamu yakin kita tidur di sini malam ini?" Bhumi melirik tempat tidur Thalia.
Ukurannya memang muat untuk dirinya dan Thalia. Hanya saja, Bhumi khawatir sulit menahan dirinya saat berdekatan dengan Thalia.
"Kita? Aku sih iya. Kalau kamu nggak mau, ya pulang aja!"
"Enak saja. Rumah itu dibangun untuk keluarga kita. Jadi kalau kalian di sini, ya saya juga." Bhumi duduk, mencoba naik turun mencoba kasur Thalia.
Thalia berdehem. Tidak memusingkan kehadiran dan cerewetnya Bhumi.
"Bukannya itu rumah untuk Adelia? Pacar kamu itu!"
Bhumi menoleh cepat. Kemudian, melangkah menghampiri Thalia yang sedang menyisir rambut panjangnya itu.
"Tidak. Itu memang rumah untuk keluarga kita. Lagipula selera Adelia tidak seperti itu."
Thalia tertawa kecil. Sudut hatinya mencelos mendengar itu.
"Jangan terlalu memikirkan Adelia, Tha. Kamu terlalu sibuk dengan pikiran-pikiran yang nggak jelas."
Thalia mengulas senyum lebar. Kemudian, beranjak berhadapan dengan Bhumi. "Seharusnya kepergianku lima tahun yang lalu bisa membuat kamu segera menikahi Adelia."
"Urusan Adelia itu bukan urusan kamu. Tugas kamu bukan itu." Bhumi melangkah maju, lebih dekat pada Thalia. "Kamu sudah sehat bukan?"
Raut Thalia berubah. Ia pernah melupakan bahwa dirinya sudah dibeli oleh Bhumi. Namun, sekarang Thalia seperti dihantam kotoran di mukanya.
Bhumi menyadarkan Thalia akan kedudukannya.
"Kamu merindukan Jalangmu ini, ya?" Thalia menyunggingkan senyum tipis.
Mata hazelnya balas menatap mata gelap Bhumi.
"Jangan bicara seperti itu. Kamu bukan Jalang. Kamu istri saya."
Istri? Thalia ingin tertawa saat itu juga.
"Kamu sendiri yang selalu mengingatkan aku akan keberadaanku. Bukankah itu yang sering kamu ucapkan? Tenang saja, tubuhku sudah sangat sehat. Kamu bisa memakainya sekarang."
Mata Bhumi menyorot dingin. Rahangnya mengeras. "Berhenti bicara seperti itu, Tha!"
Thalia melepaskan luaran gaun tidurnya. Menyisakan gaun berbahan satin dengan tali kecil yang menggantung di bahunya.
"Aku memang Jalangmu, Tuan Bhumi. Ayo! Aku sudah sangat siap menjalani tugas itu. Lakukan apapun yang kamu lakukan, sebelum nanti aku benar-benar pergi dari hidup kamu."
Bhumi menggertakkan giginya. Bibirnya terkatup rapat. Tidak. Bukan cara seperti ini lagi, yang ia inginkan dari Thalia.
"Thalia," panggil Bhumi, serius.
Thalia tidak menjawab. Namun, matanya menatap Bhumi, menantang pria itu. Kalau bukan karena utang sialan itu, Thalia sudah pergi sejak lama dari pria ini.
"Ayo kita umumkan pernikahan kita."
*
*
*
Terima kasih untuk like dan komen kalian ya. Apapun bentuk dukungan kalian, aku sangat berterima kasih.
selalu menghina Thalia dengan menyebut JALANG, tapi tetep doyan tubuh Thalia, sampai fitnah punya anak hasil hubungan dengan Julian, giliran udah tau kl anak itu anak kandungnya sok pengin di akui ayah.
preet, bergaya mau mengumumkan pernikahan, Kemarin " otaknya ngelayap kemana aja Broo.
Yuu mampir, nyesel dh kalo gak baca..
maksa bgt yaa, tapi emang ceritanya bagus ko.. diksinya bagus, emosi alur sesuai porsinya, gak lebay gak menye-menye...
enteng sekali pengakuan anda Tuan,
amnesia kah apa yg kau lakukan sebelum tau tentang Jemia..??
Masiih ingat gak kata ja lang yg sering kau sematkan untuk Thalia..?? dan dg tanpa beban setitikpun bilang Thalia dan Jemia hal yg "paling berharga" dihidupmu.. 😏
sabarrrr
kurang ka,
coba gimana rasanya ntar pas ketemu langsung, Jemia menolak km sebagai Papanya.. atau reaksimu saat Jemia malah berdoa untuk Papa yg katanya udah di Surga... 🤭
Duaaaaar..
Booooooooom....
apa lagi yaa, yg bisa menggambarkan keterkejutan si Tuan saat ini.... 😄