Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 — Hujan Merah di Lereng Timur
Fajar belum sepenuhnya terbit ketika suara gong peringatan mengguncang seluruh Lereng Timur. Nada logamnya memantul ke dinding pegunungan, disusul gema teriakan yang membangunkan seluruh murid. Kabut putih yang biasanya menyelimuti lembah berubah merah samar. Dari kejauhan, angin membawa aroma besi dan darah.
Shen Wuyan berlari menembus lorong batu, pakaian latihan masih setengah terikat. Di tangan kirinya, pedang roh bergetar seperti tahu apa yang akan datang. Di depan gerbang selatan, para murid muda berlarian panik; sebagian terjatuh, sebagian berdiri tanpa arah.
“Semua mundur ke garis formasi kedua!” serunya, suaranya menembus riuh.
Namun sebelum kata-katanya selesai, bayangan hitam menjulang di balik kabut. Seekor makhluk spiritual raksasa muncul—bentuknya seperti naga tanpa sisik, tubuhnya disusun dari kabut pekat dan tulang belulang yang melayang di dalamnya. Matanya kosong, dua lubang hitam yang berdenyut seperti luka terbuka.
Raungannya mengguncang udara, dan dinding roh pelindung sekte memancarkan cahaya biru yang bergetar hebat. Dalam tiga detik, retakan muncul di sepanjang garis formasi. Suara Elder penjaga terdengar dari kejauhan, namun raungan kedua memutuskan semua koordinasi.
Wuyan menahan napas. Aura spiritual di sekelilingnya kacau; tekanan makhluk itu jauh di atas batas formasi tingkat menengah. Ia melirik murid-murid muda yang menatapnya dengan mata ketakutan—tak seorang pun tahu apa yang harus dilakukan.
“Dua tim jaga sisi utara! Kau, bawa mereka ke aula batu!” perintahnya cepat.
Tangannya bergetar, bukan karena takut, tapi karena sesuatu di dadanya mulai berdenyut keras. Segel Penstabil Jiwa itu merespons tekanan dari luar, mengirimkan gelombang panas ke seluruh tubuhnya.
Pedangnya bergetar hebat ketika ia menebas kabut yang menyusup. Cahaya perak membelah udara, namun kabut itu menutup kembali seperti luka yang menolak sembuh. Di belakangnya, suara teriakan pecah—seorang murid terseret ke dalam pusaran kabut, tubuhnya menghilang dalam jeritan pendek.
Wuyan berbalik, matanya melebar. Bayangan darah berputar di udara, lalu jatuh menimpa tanah.
Hujan merah pertama turun.
Tetesannya panas, menembus kulit seperti bara kecil. Tanah putih di bawah kaki mereka menjadi gelap, berubah warna menjadi merah tua.
“Jangan biarkan kabut menyentuhmu!” teriak Wuyan. Tapi saat ia melangkah maju, tubuhnya menegang. Segel di dadanya berdenyut begitu keras hingga ia hampir kehilangan keseimbangan.
Dalam pikirannya, suara itu muncul — lembut, seperti bisikan di dasar laut.
“Kau masih mencoba melawan dengan rantai di lehermu, Shen Wuyan?”
Wuyan menggertakkan gigi. “Diam.”
“Diam?” Tawa itu terdengar dalam-dalam. “Kalau kau diam, mereka mati. Kalau kau bicara, mereka pun mati. Apa bedanya?”
Ia berusaha menepis suara itu, tapi setiap kali darah jatuh di tanah, suara tersebut menjadi lebih jelas.
Di hadapannya, makhluk kabut kembali membuka rahangnya. Ribuan arwah berteriak keluar dari mulutnya, menggema seperti tangisan anak-anak yang tersesat.
Wuyan mengangkat pedangnya, membentuk segel tangan. Cahaya putih muncul dari ujung bilah, tapi segera padam sebelum mencapai jarak sepuluh langkah. Ia tahu alasannya — segel di dadanya menahan aliran energi roh. Semua tekniknya kini setengah tumpul.
Dua murid di belakangnya menjerit. Ia menoleh, namun hanya melihat kabut menelan tubuh mereka dalam sekejap.
Sesuatu di dalam dirinya retak.
Kalau aku tetap begini… mereka semua akan mati.
Suara dalam jiwanya tertawa pelan, seolah mendengar pikirannya.
“Lepaskan aku. Biarkan laut bekerja.”
“Tidak.”
“Tidak?” Nada suara itu berubah lembut, nyaris seperti bujukan. “Kau menyebut dirimu pelindung, tapi bahkan tak bisa menyelamatkan satu nyawa pun. Itu bukan ketenangan, Wuyan. Itu pengecut.”
Hujan semakin deras. Langit seolah berubah menjadi lautan darah yang jatuh perlahan. Kabut merah di sekeliling mereka bergolak seperti gelombang yang siap menelan apa pun.
Wuyan menunduk, memegang dadanya. Denyutan segel kini berubah jadi nyeri tajam. Pandangannya mulai buram.
Elder penjaga formasi berteriak dari atas tebing, “Wuyan! Jangan biarkan segelmu pecah! Itu perintah!”
Suara itu datang dari kejauhan, teredam badai.
Namun di hadapan matanya, tiga murid yang bersembunyi di balik batu mulai terseret oleh arus kabut. Mereka menjerit, tangan mereka terulur, meminta tolong.
Wuyan berlari. Tubuhnya menembus hujan merah, langkahnya berat seperti diseret oleh sesuatu dari dalam. Ia menebas, menebas lagi, tapi kabut itu selalu menutup kembali.
Darah menetes dari sudut bibirnya. Segel di dada mulai bersinar merah tua, seperti bara yang hendak pecah.
Satu suara terdengar jelas di telinganya — tawa rendah yang menggetarkan seluruh ruang jiwanya.
“Biarkan aku keluar. Hanya sebentar.”
Wuyan berhenti. Dunia sekitarnya terasa diam.
Di dalam kesadarannya, laut perak muncul — datar, sunyi, tapi penuh gemuruh yang terpendam. Dari tengah laut itu, sebuah bayangan perlahan naik ke permukaan. Satu wajah samar muncul, tersenyum tipis.
“Apa kau masih takut padaku?”
Wuyan menggigil. “Aku takut kehilangan kendali.”
“Lucu,” kata bayangan itu. “Karena kau tak pernah punya kendali sejak awal.”
Hujan semakin deras. Petir merah menyambar langit, menerangi tubuh Wuyan yang berlumuran darah. Ia memandang tangan kanannya — gemetar, bergetar di antara rasa takut dan tekad.
Ia menarik napas panjang. Dunia luar mulai kabur, hanya tersisa satu kesadaran: pilihan.
Di belakangnya, suara murid-murid semakin lemah. Di depannya, monster spiritual menunduk, siap menelan segalanya.
Wuyan berbisik pelan, hampir tak terdengar. “Maafkan aku.”
Ia menancapkan pedangnya ke tanah. Cahaya dari segel dadanya meledak ke udara, menembus hujan. Satu retakan halus terdengar—lalu suara seperti gelombang besar menerpa.
Segel itu pecah.
Laut perak bangkit di belakang tubuhnya, memantulkan langit merah di atas. Ribuan wajah muncul dari permukaan air, menatap ke arah dunia nyata. Di antara mereka, satu wajah membuka mata sepenuhnya.
Senyumnya tenang, tapi matanya dingin seperti kematian.
“Sudah saatnya,” katanya pelan. Suaranya bergema di seluruh lereng, bercampur dengan suara badai.
Cahaya perak menyapu kabut, memotongnya menjadi serpihan kecil. Monster spiritual meraung, tubuhnya meledak menjadi uap hitam. Para murid yang masih hidup menatap, sebagian menangis, sebagian hanya terpaku tanpa suara.
Wuyan berdiri di tengah pusaran cahaya, rambutnya berayun liar, matanya bersinar keperakan. Di setiap langkahnya, tanah retak. Laut jiwanya menembus batas tubuh, membentuk bayangan perak yang mengitari dirinya seperti sayap kabut.
Hujan merah berubah jadi badai.
Dan di tengahnya, suara wajah pertama bergema:
“Sekarang kau terlihat seperti dirimu sendiri, Shen Wuyan.”
Ledakan cahaya perak itu menghapus seluruh warna di langit. Lereng Timur yang sebelumnya dipenuhi kabut kini terbuka lebar—namun bukan pemandangan alam yang tampak, melainkan kehancuran murni. Tanah merekah, pohon-pohon terbakar dari dalam, dan batu spiritual yang menahan formasi sekte meledak satu per satu seperti pecahan kaca.
Wuyan berdiri di tengah pusaran angin, tubuhnya setengah terangkat dari tanah. Aura yang keluar darinya bukan lagi aura manusia; ia seperti pusaran dari ribuan roh yang bersatu dalam satu kehendak.
Dari balik lautan jiwa yang terbuka, wajah pertama muncul sepenuhnya. Tubuhnya terbuat dari cahaya dan kabut perak, memantulkan wujud Wuyan dengan sempurna — kecuali matanya yang tidak memiliki pupil, hanya dua pusaran kosong yang tampak seperti menelan waktu.
“Shen Wuyan,” katanya tanpa suara, namun seluruh ruang bergema oleh namanya. “Kau menahanku terlalu lama.”
Wuyan menatap balik, napasnya berat. Suaranya pecah, setengah sadar, setengah terhanyut oleh gelombang yang membanjiri dirinya.
“Jika aku tak menahanmu, kau akan menghancurkan segalanya.”
Wajah itu tertawa. “Dan sekarang?”
Ia mengangkat tangannya, dan kabut di sekitar mereka kembali menggumpal. Dari tanah yang retak, ratusan makhluk spiritual bangkit lagi, kini dalam bentuk lebih murni — bukan sekadar kabut hitam, tapi arwah-arwah suci yang telah terdistorsi. Mereka melayang, bersujud menghadap ke arah Wuyan.
“Lihatlah,” kata wajah itu, “bahkan roh pun tunduk pada ketakutan. Mereka mengenali asal mula mereka.”
Suara langkah terdengar dari balik reruntuhan. Elder penjaga formasi, separuh tubuhnya tertutup darah, berjalan tertatih mendekat. “Wuyan! Tutup segelnya kembali! Itu bukan kekuatanmu—itu lautan roh milik Sage Iblis!”
Namun saat kata “Sage Iblis” diucapkan, seluruh arwah di udara mengerang. Langit bergetar. Petir merah menyambar sekali lagi.
Wuyan memejamkan mata. Ia dapat merasakan detak jantung wajah pertamanya di dalam tubuhnya—setiap denyut menimbulkan bayangan baru di pikirannya, kenangan yang bukan miliknya: peperangan, kehancuran, rasa dingin yang tak bisa dijelaskan.
“Aku tahu siapa aku,” bisiknya pelan. “Dan aku tahu siapa kau.”
Ia mengangkat tangan kanan, menembus kabut yang berputar di sekelilingnya. “Tapi aku tak akan menjadi wadahmu lagi.”
Senyum wajah pertama menghilang. “Kau tidak punya pilihan.”
Kabut tiba-tiba menyusut, membentuk pusaran di bawah kaki Wuyan. Laut jiwanya bergetar, memanggil kembali seluruh roh yang pernah ia jinakkan. Tubuhnya terangkat lebih tinggi, rambutnya berayun liar, sementara darah keluar dari matanya—tidak merah, melainkan perak.
Ia menatap wajah itu, yang kini terbelah di tengah. “Aku akan menjadikanmu bagian dariku, bukan sebaliknya.”
Suara itu tertawa keras, menggetarkan lembah yang telah hancur. “Kau pikir bisa menelan iblis dengan ketenangan? Kau akan hancur!”
Namun Wuyan melangkah maju. Setiap langkahnya menimbulkan gelombang spiritual besar, menghancurkan sisa-sisa tanah di sekitarnya. Hujan merah jatuh lebih deras, tapi tiap tetesnya kini menguap sebelum menyentuh kulitnya.
Ia mengangkat pedang roh yang menancap di tanah. Bilahnya bersinar perak menyala, lalu terpecah menjadi ribuan serpihan cahaya. Dalam hitungan detik, seluruh serpihan itu masuk ke tubuhnya sendiri.
“Hun—Po—Refinement,” katanya pelan, setiap kata seperti mantra yang mengguncang lapisan dunia jiwa. “Fusion Mode: First Fragment.”
Cahaya perak meledak lagi, kali ini disertai teriakan panjang yang menggema ke seluruh lembah. Wajah pertama berteriak bersamaan, suaranya memecah udara seperti gemuruh ribuan arwah.
Lalu semuanya berhenti.
Ketika kabut menghilang, hanya satu sosok yang tersisa di tengah lembah. Wuyan berdiri diam, tubuhnya berlumuran darah perak yang perlahan menguap jadi kabut tipis. Matanya kini berbeda — pupilnya kembali, tapi bersinar lembut, campuran antara tenang dan liar, manusia dan iblis.
Elder penjaga formasi menatapnya dengan ngeri. “Apa yang kau lakukan…?”
Wuyan menoleh perlahan. Suaranya datar, nyaris tanpa emosi.
“Aku tidak menutup segelnya,” katanya. “Aku mengubahnya.”
Ia menatap ke arah barat, di mana matahari pertama akhirnya menembus awan merah. Cahaya keemasan memantul di tanah yang hancur, di atas darah yang mengering.
Sisa-sisa roh mulai memudar, sebagian kembali ke alam spiritual, sebagian terserap ke dalam tubuhnya. Hujan berhenti. Angin berhenti. Lereng Timur menjadi sunyi seperti kuburan.
Wuyan mengangkat tangan kirinya. Ada bekas retakan halus di sana — simbol dari segel yang telah ia ubah sendiri.
Satu helaan napas, lalu ia bicara pada dirinya sendiri, suara yang nyaris tak terdengar.
“Menjadi iblis… bukan berarti kehilangan wajahmu.”
Ia menatap telapak tangannya yang masih bergetar. “Tapi menerima semuanya.”
Bayangan samar dari wajah pertama muncul di belakangnya untuk terakhir kali, tersenyum samar sebelum larut ke udara.
Di kejauhan, para murid yang tersisa mulai keluar dari reruntuhan. Mereka melihat sosok Wuyan berdiri sendirian di tengah lembah berdarah. Tak seorang pun berani mendekat.
Satu anak kecil berbisik, “Apakah… Senior Shen yang menyelamatkan kita?”
Yang lain menjawab, lirih, “Atau dia yang menghancurkan segalanya?”
Tak ada jawaban. Hanya Wuyan yang menatap langit, diam, ketika matahari naik perlahan di atas Lereng Timur yang kini tinggal abu.