Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RAPAT KOORDINASI CULTURAL GALA
Suara klik dari proyektor memenuhi ruangan ketika layar utama menampilkan timeline acara besar itu.
Di barisan depan, para perwakilan dari tiap sekolah memperhatikan dengan saksama. Namun di sisi meja Starlight, suasananya sedikit berbeda.
Zea duduk tegak, tangan kirinya memegang pena, sementara tangan kanan sibuk menelusuri catatan di tablet. Di sampingnya, Agler menatap layar besar dengan ekspresi datar tapi fokus.
“Jadi, rundown utama Gala dimulai dari pembukaan jam tujuh malam, diikuti cultural showcase antar sekolah, lalu makan malam, baru ditutup oleh fashion parade, bener gitu?” tanya salah satu panitia dari Satropa di depan.
Agler menjawab tenang, “Iya, tapi ada revisi di bagian fashion parade. Starlight minta slot tambahan sepuluh menit buat penampilan mereka.”
Zea langsung menimpali tanpa menoleh. “Slot sepuluh menit itu bakal ganggu transisi musik antar segmen. Gue udah hitung, waktu yang ideal cuma tujuh menit.”
Agler melirik. “Kalau tujuh menit, transisi tim lighting gak sempat ubah set panggung.”
Zea membalas cepat, “Itu karena layout panggung-nya terlalu ribet. Bukan soal waktunya.”
Agler menaikkan alis. “Maksud lo, tim gue gak efisien?”
“Gue gak bilang gitu,” sahut Zea tanpa menoleh, nadanya tetap tenang namun tajam.
Beberapa kepala mulai menoleh ke arah mereka—tertarik pada adu argumen dua ketua divisi itu.
Bagi orang lain, mungkin terlihat seperti diskusi profesional biasa.
Namun bagi Rafka interaksi itu terasa begitu mengganggu, dulu dia lah yang paling dekat dengan gadis itu, tapi sekarang seolah jarak terbentang jauh di antara mereka hanya karena tatapan mata gadis itu.
Dan ketika Agler mencondongkan tubuh sedikit, berbisik sesuatu di telinganya, darahnya mendidih pelan.
“Kalau lo punya alternatif yang realistis, tunjukin sekarang,” bisik Agler, setengah menantang.
Zea menoleh cepat, mata mereka bertemu hanya sejengkal jarak.
“Gue udah siapin,” jawabnya pendek, lalu menekan layar tablet dan menampilkan layout panggung revisi di layar besar.
Ruang auditorium seketika hening.
Desain itu sederhana tapi elegan—efisien tanpa kehilangan estetika.
“Transisi lighting bisa diatur dari sisi barat, sementara perubahan set dilakukan dari belakang panggung. "Gak perlu rotasi panggung penuh kayak di konsep awal,” jelas Zea tenang.
Beberapa panitia mengangguk setuju.
“Smart move,” gumam Gavin, rekan Agler, pelan.
Agler terdiam sejenak, menatap layar sebelum kembali menatap Zea. Sebuah helaan napas terdengar. “...Oke, itu masuk akal,” ucapnya akhirnya.
Zea menoleh sekilas, sudut bibirnya membentuk senyum kecil—bukan tanda kemenangan, melainkan kepuasan. “Gue tahu,” balasnya pelan.
Tawa kecil terdengar dari beberapa panitia di belakang, mencairkan suasana.
Namun bagi Rafka, pemandangan itu seperti duri yang menancap dalam. Tatapan Zea, yang dulu hanya tertuju padanya, kini beralih pada pria lain—menatap mata tajam Agler dengan senyum tipis yang begitu ia rindukan.
Friska menyenggol lengannya pelan.
“Raf, fokus ke rapatnya,” tegurnya saat melihat perhatian Rafka terus melayang ke arah gadis di depan.
Zea menutup tabletnya, memutar pena di jarinya sambil menatap papan notulensi.
Agler, di sampingnya, kembali mencondongkan tubuh. Suaranya rendah, nyaris menggoda.
“Lo makin ngotot sekarang.”
Zea melirik dingin. “Gue cuma gak mau kerja setengah matang.” Nada sindirnya mengingatkan Agler pada kalimatnya sendiri di ruang serbaguna tadi siang.
Agler terkekeh—menyadari kalau kali ini, gadis itu sedang menyindirnya balik.
Rafka hanya menunduk, menghela napas panjang.
Dalam hati ia tahu, perempuan yang duduk di sana bukan lagi Viora Zealodie yang dulu ia kenal.
Yang sekarang... adalah Zea—versi baru yang bahkan ia sendiri tak bisa dekati lagi.
Rapat berlanjut. Zea sibuk memberi koreksi pada detail visual acara. Namun setiap kali ia bicara, setiap kali Agler menimpali, dan setiap kali tawa samar tercipta di antara mereka berdua—Rafka hanya bisa duduk diam, menelan rasa yang tak bisa ia ungkapkan.
Jarum jam di dinding auditorium terus bergerak menuju pukul 18.30. Rapat hampir usai—tinggal pembahasan minor soal teknis panggung dan jadwal gladi resik.
Namun di tengah pembahasan terakhir itu, kursi di meja Satropa bergerak pelan.
Rafka bangkit dari tempat duduknya, menyela dengan suara rendah, “Maaf, gue izin keluar dulu. Ada telepon penting.”
Beberapa kepala menoleh sekilas, termasuk Friska yang menatapnya dengan sedikit heran.
Ketua umum rapat hanya mengangguk, “Silakan.”
Langkah Rafka terdengar jelas menuruni barisan kursi menuju pintu keluar. Suara sepatu nya bergema singkat sebelum akhirnya lenyap di balik pintu kayu besar auditorium.
Beberapa orang sempat saling pandang.
Zea, yang duduk di barisan depan, menatap sekilas ke arah pintu yang baru tertutup.
Tatapannya hanya berlangsung satu detik—cukup lama untuk memunculkan percikan rasa di dada, tapi cepat ia padamkan dengan menarik napas dan menunduk pada catatannya lagi.
Ia memaksa dirinya fokus pada agenda penutupan rapat.
“Baik,” suara pembawa rapat menggema, “kalau gak ada tambahan lagi, kita akhiri koordinasi hari ini.”
Satu per satu peserta mulai berdiri. Suara kursi bergeser, kertas dilipat, dan bisik-bisik ringan terdengar di seluruh ruangan. Ketegangan yang sempat menggantung perlahan mencair menjadi tawa kecil dan obrolan santai.
Friska buru-buru merapikan berkasnya. “Gue keluar duluan ya, Rin,” katanya pada rekan di sampingnya, lalu melangkah cepat menyusul ke arah Rafka pergi.
Zea sempat melirik arah itu tanpa ekspresi, lalu berdiri dan menepuk pelan meja di depannya.
“Thanks semua, kerja bagus hari ini,” ucapnya datar namun sopan.
Agler, Gavin, dan Arvin ikut berdiri hampir bersamaan. Mereka berjalan beriringan ke arah pintu keluar, membahas rencana teknis untuk gladi resik minggu depan.
“Lighting-nya fix dari sisi barat, kan?” tanya Gavin sambil menyalakan ponselnya.
“Udah. Gue atur tim besok pagi,” jawab Zea tanpa menoleh, matanya masih fokus pada layar presentasi yang belum tertutup.
Arvin menambahkan dengan tawa kecil, “Selain pintar lo juga profesional, Zee. Penyampaian lo tadi rapi banget.”
“Thanks, tapi gue juga masih belajar,” jawab Zea singkat.
Mereka keluar dari auditorium bersama, menyusuri lorong utama Satropa yang mulai redup diterangi lampu dinding berwarna hangat. Beberapa panitia lain terlihat berjalan ke arah berlawanan, sebagian menuju area parkir.
Setelah berbasa-basi sebentar dengan dua ketua divisi lain, Zea pamit. “Gue ke toilet bentar, kalian duluan aja,” katanya.
Agler hanya menatap sekilas, lalu mengangguk singkat.
Zea berjalan sendiri ke arah koridor barat—jalur yang lebih sepi, menuju deretan laboratorium dan ruang praktik.
Langkahnya tenang, menelusuri koridor sekolah yang terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar dengung lembut dari lampu neon di langit-langit dan suara langkah sepatunya sendiri.
Saat melewati pintu laboratorium kimia yang setengah tertutup, Zea berhenti. Samar, ada suara.
Bukan langkah. Bukan percakapan biasa.
Sebuah… rintihan kecil.
Dahi Zea berkerut. Ia menoleh perlahan ke arah sumber suara. Cahaya dari lorong jatuh separuh ke kaca besar laboratorium itu, menampilkan siluet dua orang di dalam.
Zea mendekat tanpa sadar, jantungnya berdetak lebih cepat.
Dan ketika ia menengok dari balik jendela besar itu—
Dunia seolah berhenti berputar.
Di balik kaca buram itu, ia melihat Rafka berdiri sedikit menunduk, membelakanginya.
Dan di depannya—Friska. Tangannya menempel di dada Rafka. Terlalu dekat. Dari sudut itu, seolah mereka sedang... berciuman.
Napas Zea tertahan di tenggorokan.
Dada yang tadi ia jaga tetap tenang kini terasa sesak, seperti dihantam sesuatu dari dalam.
Jadi itu alasan mereka buru-buru keluar? pikirnya getir.
Ia mencoba menegakkan diri—mengingatkan hatinya bahwa sejak dulu, Rafka tak pernah benar-benar memilihnya.
Ia melangkah mundur pelan—refleks, berusaha menjauh, tapi langkahnya goyah. Tumit sepatunya menyentuh lantai dengan bunyi terlalu keras.
“—Agh!” napasnya tercekat.
Namun sebelum ia sempat menahan, tubuhnya sudah menabrak seseorang di belakangnya.
Agler
Gadis itu hampir terpekik, namun tangan kuat dengan refleks cepat sudah menutup mulutnya.
“Diam,” bisik Agler di telinganya, suaranya rendah dan nyaris tak terdengar.
Zea menegang, matanya membulat, sementara jantungnya berdetak liar.
Agler menatapnya tajam, pandangannya berpindah sekejap ke dalam ruangan melalui kaca buram itu.
Dan meski tak bisa melihat jelas, cukup baginya untuk menebak apa yang baru Zea saksikan.
Ia menurunkan tangannya perlahan, lalu meraih pergelangan Zea—menariknya pergi dari sana.
...****************...
semoga aja kebusukan Friska & pacar nya
kebongkar tentang hubungan mereka...
terutama tentang kecelakaan Zea...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶