“Le, coba pikirkan sekali lagi.”
“Aku sudah mantap, Umi.”
Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.
Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.
Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.
Bagaimana cara Zayn merayu uminya agar bisa menerima Zara sebagaimana adanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidupnya Tak Kan Lama
Setelah pulang dari mengisi pengajian di luar kota, Abah dan Umi Shofia menyempatkan mampir ke rumah sakit untuk menjenguk Meisya.
Namun sayang, Meisya belum keluar dari ruang observasi. Mereka hanya menemui Zayn dan Zara yang sedang beristirahat di lobby.
“Bagaimana keadaan Meisya, Zayn?”
“Masih dalam penanganan dokter, Umi.”
“Apakah sangat parah?”
Apakah perlu Zayn menjelaskannya sekarang. Karena tidak mungkin dia merahasiakan terus keadaan Meisya pada keluarganya.
Zayn memandang mereka satu persatu.
“Umi, Abah, Neng. Sebenarnya saat jatuh, Meisya tidaklah terluka parah, hanya luka benturan kecil saja. Dan insya Allah satu atau dua hari sudah sembuh.”
“Alhamdulillah.”
Dia mengambil nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum melanjutkannya.
“Tapi pendarahan di otaknya itulah yang menyebabkan dia harus mendapatkan perawatan intensif."
"Apakah gegar otak?"
"Bukan."
Dia pun diam sejenak.
"Umi tahu kan, kalau Meisya dulu punya riwayat tumor otak.”
“Iya, dulu waktu kecil. Tapi sudah sembuh kok," kata Umi Shofia harap-harap cemas.
"Ya." jawab Zayn lemah.
Zayn tampak tertekan. Wajahnya menegang dan matanya mulai berkaca-kaca. Sesekali dia memandang langit, agar diberi kekuatan untuk bisa mengatakan yang sebenarnya.
Karena, untuk mengatakan ini sungguh sangat berat.
Zayn mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan kesedihan yang sedemikian menekannya.
“Ternyata akar-akarnya tumbuh lagi. Sekarang sudah sampai stadium lanjut. Dan sudah mengalami pendarahan di otaknya. Kemungkinan sembuh sangat kecil. Dan harapan hidupnya hanya tinggal satu tahun atau kurang.”
Zayn sudah tak kuasa lagi melanjutkan. Dia pun menangis, meski tanpa suara. Hanya air mata yang menetes berlahan membasahi pipinya.
Umi Shofia dan Zara terkesima, tak bisa berkata-kata. Mereka sangat terkejut dan terpukul dengan kabar yang disampaikan oleh Zayn.
Ternyata keadaan Meisya lebih parah dari apa yang mereka kira.
Zara dan Umi Shofia pun tak kuasa menahan sedih. Dia ikut menangis juga.
Untuk sekian waktu mereka dalam kesedihan. Hanya Abah Munif yang tampak tenang menghadapi keadaan ini.
“Itu semua hanya perkiraan manusia. Hidup mati kita telah ditentukan olehNya. Apa dengan menangis dapat membantu Meisya dan mengubah segalanya. Tidak bukan?...Lebih baik kita berdoa yang terbaik untuk Meisya.”
“Nggak gitunya Pakne. Aku hanya sedih,” kata Umi Shofia.
“Umurnya hanya tinggal satu tahun, Pakne,” imbuhnya dengan mata berkaca-kaca.
“Ya. Yang bisa kita lakukan adalah memberi semangat hidup untuk Meisya bukan malah menangis. Kalau dia tahu, Dia akan semakin sedih,” jawab Abah Munif dengan suara yang berat dan penuh kesabaran.
“Ya, Pakne.” Umi Shofia pun menghapus air matanya. Dia mencoba tegar dengan apa yang menimpa Meisya.
Bagaimana mereka akan bisa memberikan harapan hidup pada Meisya, kalau mereka sendiri pun merasa terpuruk dengan apa yang menimpa Meisya.
Setelah keadaan lebih tenang, Abah Munif pun mengajak istrinya untuk pulang.
“Zayn, Zara. Aku titip Meisya ke kalian dulu. Abah dan Umi mau pulang, mau istirahat.”
“Ya Abah.”
Zayn dan Zara bersalaman dengan Umi dan abah, serta mencium tangannya dengan takzim sebelum mereka berpisah.
“Oh iya, Zayn dan Zara. Itu ada berkat. Makanlah!”
“Terima kasih, Abah.” Abah Munif dan Umi Sofia pun beranjak, meninggalkan mereka.
Setelah keduanya menghilang dari pandangan, Mereka kembali beristirahat.
“Neng, ayo makan!” ajak Zayn, sambil membuka bungkusan dari Abah Munif.
Zara menggeleng. Bukannya dia tidak lapar tetapi dia kehilangan selera terhadap makanan karena memikirkan keadaan Meisya. Padahal sejak sore, belum ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perutnya.
“Tak boleh begitu Neng. Sedih ya sedih, tapi jangan lupa makan. Nanti sakit. Lalu siapa yang Menemani Aa untuk menjaga Meisya.” Zayn mencoba membujuk Zara agar mau makan.
“Baiklah, Aa Gus,” ucap Zara.
Zara segera cuci tangan dan menemani Zayn makan. 2, 3 suapan telah membuat perutnya terasa kenyang.
“Habiskan dong, Neng. Biar nggak loyo, kalau latihan tenis besok.”
“Entahlah, Aa Gus. Mana mungkin aku bisa makan kalau melihat Meisya dalam keadaan seperti itu.” Zara menghembuskan nafasnya dengan perlahan.
“Apa perlu Aa suapi?”
“Tidak. Tidak Aa Gus. Neng bisa sendiri.”
Zara pun segera menghabiskan apa yang telah diberikan oleh Zain kepadanya. Dia malu kalau Zain menyuapinya lagi. Karena ini tempat umum.
Zayn pun senang. Akhirnya makanan itu pun kandas.
“Nah, gitu dong Neng, istri cantiknya Aa.”
Meskipun Zara telah sering mendengar pujian seperti itu dari mulut Zayn, namun tetap saja kata-kata itu membuat hatinya berbunga-bunga. Dia pun tersipu malu.
“Ah...Aa Gus bisa-bisa saja. Tapi terima kasih juga dengan pujiannya. Membuat hati Neng sangat senang. Hehehe...”
Sepanjang malam mereka hanya bisa bincang-bincang, sambil menunggu perkembangan pemeriksaan kesehatan Meisya.
Lepas tengah malam, ada pemberitahuan kalau Meisya akan dipindahkan ke ruang perawatan.
“Keluarga ibu Meisya.” Suara Seorang perawat memanggilnya.
Keduanya pun langsung berdiri.
“Saya Mbak,” sahut Zara.
“Mari ikut saya!”
Keduanya pun segera membereskan barang-barang. Lalu berjalan, mengikuti ke arah mana perawat membawa Meisya.
Beberapa pengunjung yang tengah beristirahat di lorong-lorong rumah sakit, tak mereka pedulikan. Mereka terus berjalan, mengikuti perawat yang membawa mereka masuk ke dalam lift, menuju lantai 3.
Mereka baru berhenti, saat tiba di sebuah ruangan kelas 1 yang cukup luas.
Setelah menghubungkan peralatan medis yang ada di tubuh Meisya dengan peralatan yang ada di ruangan tersebut, perawat itu pun meninggalkan mereka.
“Kalau ada apa-apa bisa menghubungi kami melalui telepon itu,” pesan perawat itu sebelum meninggalkan mereka.
“Baik, Mbak. Terima kasih,”
Sepeninggal perawat itu, Zara segera membereskan barang-barang yang dibawanya, ke tempat yang sudah disediakan. Lalu ia cuci muka, siap-siap beristirahat. Persiapan untuk hari esok.
“Aa Gus. Aku mau tidur dulu. Nanti tolong Neng dibangunkan. Kita bergantian menjaga Meisya,” kata Zara.
“Ya Neng. Tidurlah!” ucap Zayn.
Tak berapa lama Zara pun tertidur pulas. Meninggalkan Zayn sendirian. Sampai larut malam pun, dia masih terjaga.
Entah mengapa, dia tidak merasa mengantuk sama sekali. Mungkin karena rasa tanggung jawab menjaga Meisya. Atau karena kata-kata Meisya yang sampai saat ini, masih terngiang yang di telinganya.
“Gus Zayn lah, orang yang selama ini aku tunggu.”
Jangan Bebani kakak dengan rasamu yang tak masuk akal. Karena kakak tak akan bisa memenuhinya.
Meisya, Meisya...adikku. Mengapa kamu menyimpan rasa yang salah terhadap kakak. Sehingga kamu menyakiti dirimu sendiri.
Zayn mengambil tempat duduk di samping Meisya. Dia memandangi wajah pucat, dengan begitu dalam. Ada beban rasa yang saat ini mengetuk-ngetuk jiwanya. Yang sulit teruraikan oleh kata-kata.
Tak kuasa menahan kesedihan, Zayn pun beranjak dari tempat duduknya. Dia ingin melepaskan beban itu pada kesunyi malam, bersama bulan dan bintang-bintang yang mewarnainya di luar sana.
Baru juga akan berjalan, suara lirih menghentikan langkahnya.
“Gus Zayn,” panggil Meisya.
Zayn mengurungkan niatnya. Dia kembali lagi ke tempat Meisya.
“Ini di mana?” Matanya tampak sayu memandang sekelilingnya
“Di rumah sakit.”
“Oh...” Dia pun terdiam lama. Memandang Zayn dengan sedih.