Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Ibu atau bukan?
“Vara,”
Varania mengalihkan pandangannya dari bayangan tersebut ke pintu kamarnya. Ibunya belum tidur?
“Vara,” kembali terdengar suara Matilda dari luar pintu kamar.
“Re, kamu sembunyi dulu ya. Ibu aku pasti curiga kalau kamu tiba-tiba ada disini,” ujar Varania sambil membawa Rea ke lemari, ia meminta Rea bersembunyi di dalamnya.
Setelah memastikan Rea aman bersembunyi dalam lemari, Varania bergegas menutup jendela. Bayangan itu pun sudah menghilang.
“Wajahku! Aku harus memakai makeup lagi,” keluh Varania, dengan terpaksa mengambil pouch makeup dan merias wajahnya secepat kilat.
“Varania, bangun! Kamu tidur atau-”
“Ada apa Bu? Aku udah bangun dari tadi,” Varania membuka pintu sembari tersenyum lebar.
Matilda yang berdiri di depan pintu, baju tidurnya agak kusut dengan rambut mengembang yang menandakan dia baru saja bangun.
“Pergi kemana kamu tadi siang?” Tanya Matilda dingin. Matanya menatap tajam tepat ke dalam netra Varania.
Varania tersentak, wajahnya langsung panik. Apa ibunya sudah tahu kalau ia pergi ke rumah panjang? Tapi darimana dia tahu?
“Jawab, vara!” Matilda menekankan setiap kata-katanya sebagai peringatan bahwa dia tidak suka kebohongan dan Varania merasa ibunya akan marah besar jika ia berbohong namun jika Varania mengatakan yang sebenarnya ibunya juga akan sangat marah.
“Kenapa Bu? Biasanya juga ibu nggak pernah nanya-nanya gini, aku kan kerja.” Varania memilih tidak mengatakan kebenarannya, karena siapa yang tahu apa yang akan terjadi jika ia memberitahu ibunya.
Matilda memang sosok ibu yang baik, tapi, terkadang Varania merasa jauh dari ibunya itu. Apalagi dengan hubungan asmara antara ibunya dan Sheriff Austin akan membuat segalanya menjadi rumit.
“Kerja?” Matilda menyipitkan matanya, “kamu nggak kerja, vara. Kata Celine, kamu sudah berhenti bekerja. Jadi kemana kamu tadi siang?”
‘Celine tahu darimana kalau aku berhenti kerja?’ seingat Varania, ia belum bertemu dengan Celine hari ini.
Fardan! Pasti Celine tahu dari Fardan, mereka belakangan ini cukup dekat seperti punya hubungan spesial.
“Vara, jawab!!” Matilda menaikkan nada bicaranya, menuntut jawaban jujur.
“Ibu kenapa sih, marah-marah tengah malam begini? Iyaa… aku emang udah berhenti kerja, aku nggak nyaman kerja disana. Besok aku pasti nyari kerja lagi kok.” Kata Varania meyakinkan ibunya.
“Terus kamu kemana tadi siang?” Suara Matilda masih sedingin sebelumnya.
‘Bau darah itu! Ibu jelas aneh, dan belakangan ini dia semakin aneh. Mungkin dengan mengatakan beberapa hal akan membuatnya sedikit keceplosan.’ batin Varania penuh rencana.
“Aku pergi ke perbatasan, melihat sungai dan bertemu nenek berambut merah.” Varania mengamati wajah ibunya. Tidak ada perubahan. Wajah ibunya tetap datar dengan tatapan tajam.
“Ngapain kamu kesana?”
Varania menaikkan sebelah alisnya, “kenapa ibu jadi peduli? Biasanya ibu tidak peduli apapun yang aku lakukan atau kemanapun aku pergi asalkan aku bekerja dan menghasilkan uang. Oh, atau jangan-jangan karena aku baru berhenti kerja, ibu marah?!”
“VARA!” Matilda membelalakkan mata tidak percaya, “kamu ngomong apa sih? Ibu hanya khawatir sayang.”
Tiba-tiba saja wajah ibunya melunak, tatapan tajam dan dinginnya berubah hangat. Dia kembali menjadi ibu yang sama sekali lagi.
“Aku mau tidur Bu,” Ucap Varania, merasa bersalah karena berbicara seperti itu pada ibunya.
“Ya, selamat malam sayang.” Matilda mencium kening Varania, lalu mengusap lembut rambutnya. Matilda menatap Varania penuh kasih sayang kemudian kembali ke kamarnya.
Varania menghela napas berat. Semuanya menjadi semakin aneh. Ibunya terlalu sering berubah mendadak, sebentar hangat lalu dingin. Kadang perhatian, terkadang juga cuek seolah-olah mereka adalah orang asing yang tinggal di satu atap yang sama.
“Kamu bisa keluar sekarang Re,” kata Varania membuka pintu lemari.
Rea keluar dengan wajah memerah, bibirnya mengerucut kesal, “aku hampir mati kehabisan nafas di dalam kak.”
“Kita bahas yang lebih penting sekarang, apa nomor itu masih menelpon?” Tanya Varania mengabaikan gerutuan Rea.
Keduanya duduk diatas tempat tidur, saling berhadapan, sementara di luar angin berhembus kencang. Ranting bunga mengetuk-ngetuk jendela, menghadirkan sedikit was-was.
“Nggak, dia udah nggak nelpon lagi.” Rea menggeleng sembari memperlihatkan layar ponselnya.
Varania dan Rea sama-sama diam.
Varania melirik Rea, tidak tega memberitahu tahunya fakta bahwa bayangan itu dapat merenggut hidupnya.
“Re,” panggil Varania.
“Ya, kak?”
“Apa kamu pernah pergi ke desa seribu kabut?” Tanya Varania yang sudah lama penasaran dengan desa di seberang sungai itu.
“Desa seribu kabut?” Rea nampak heran seolah baru pertama kali mendengar nama desa tersebut.
“Nggak. Aku bahkan nggak tahu dimana desa itu,” lanjut Rea mengangkat bahunya.
“Apa kamu mau menemani aku kesana? Kalau kamu mau, aku akan membantumu untuk mengusir bayangan yang meneror kamu.” Kata Varania.
“Kak Ara tahu caranya?” Tanya Rea dengan mata berbinar.
Varania mengangguk.
“Aku mau.”
Lalu, pembicaraan mereka selesai begitu saja. Rea menginap di kamar Varania karena ia tidak berani tidur sendirian. Ia masih sangat takut dengan bayangan itu.