Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang tertahan
Beribu kata maaf yang terucap di bibir Arin pun, tak akan mampu bisa mengembalikan apa yang sudah diambilnya. Mungkin benar, jika dirinya memang tidak bisa berdamai dari masa lalu. Hingga di masa kini, Luna harus menjadi sandarannya untuk sesaat. Bergelut dengan keadaan yang diperoleh sendiri, Arindra juga tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri.
Rumah tangga yang dipenuhi oleh emosional, membuat mereka harus mengambil resiko.
“Lun—.”
“Kita harus menyelesaikannya. Aku tidak ingin merugikan waktuku yang sudah banyak terbuang,” sahut Luna tanpa melihat Arindra.
Satu kalimat ‘Lelah’ itulah yang terus dilontarkan oleh Luna, merasa pengorbanannya berakhir sia-sia.
“Ayah dan ibu sempat menghubungiku karena selama ini kamu selalu mengabaikan panggilannya,” ujar Arin dengan tatapan sendu mengatakan jika Luna mengabaikan panggilan tersebut.
“Jika aku selesai denganmu, itu artinya aku juga selesai dengan mereka. Tak ada yang perlu dibahas jika berakhir menanyakan kapan aku hamil dan meminta berhenti bekerja,” jawab Luna dengan lantang.
“Kalau begitu apakah kita harus melanjutkan perceraian ini? Yang mereka tahu jika kita baik-baik saja dan … cucu, mereka—,”
“Seberapa lama kita bertahan, mau itu 10 tahun, 20 tahun kemudian, sampai kita berada di usia tua. Semuanya tidak akan mengubah apa pun, karena aku, … seolah haram bagimu!”
Arindra langsung membeku, ucapan Luna solah sebuah tamparan. Yang tak habis pikir, dengan entengnya Arin meminta untuk tetap bersama. Sedangkan itu, sudah berapa tusukan menghujam jantung Luna hingga hatinya tak dapat merasakan sakit.
“Kita bisa bekerja sama untuk menyelesaikan. Aku lelah, biarkan aku menyerah untuk bertahan. Pada akhirnya semua yang kuperjuangkan tak ada hasilnya,” ucap Luna lagi.
Arindra yang berniat untuk mendorong kursi roda itu. Kini dia berpindah posisi dan sudah berada di depan Luna, menatapnya dengan seksama. Mencari sesuatu di wajah istrinya agar tahu kenapa Luna ingin menyudahi karena sebelumnya wanita tersebut bertekad untuk tetap bertahan.
“Lun, ada apa denganmu?” tanya Arindra karena merasa aneh dengan sikap istrinya.
Bukan hanya egois, tetapi Arindra juga bodoh. Bahkan dalam kondisi seperti ini ia masih bisa bertanya. Tanpa ia sadari telah menyia-nyiakan sebuah berlian langkah.
“Aku memilih menyerah bukan berarti tidak bisa menemukan akhir. Di ujung sana masih ada takdir lain menantiku. Berjalan sendiri bukankah itu sedikit melelahkan,” ucap Luna dengan suara penuh ketenangan.
“Lun, tapi kondisimu masih seperti ini. Mana mungkin aku membiarkanmu pergi dari pengawasanku,” balas Arindra.
“Jika aku terus berada di sisimu. Pada akhirnya aku tetap menjadi wanita bodoh,” jelas Luna.
“Setidaknya jangan sekarang, kamu butuh aku untuk merawatmu. Apa kita tidak bisa bersama sampai kamu sembuh,” pinta Arindra. Ia menginginkan agar Luna tetap ada bersamanya.
“Tidak, itu sudah keputusanku. Aku pernah mencintaimu dan memilih bertahan, sayangnya aku terlalu bodoh karena biar bagaimanapun juga, hatimu tak akan berubah untuk membalas perasaan ini.” Kursi roda itu pun diputar sendiri oleh Luna, memilih mengakhiri percakapan yang tak berujung.
Sedangkan Arindra sendiri masih mematung dan menatap kepergian Luna hingga wanita itu hilang dalam pandangannya.
“Haruskah semua menjadi rumit. Aku sudah berusaha menjadi yang terbaik, karena ulahku juga hingga membuatnya terluka parah.” Dalam hati, Arindra hanya bisa menyesali keadaannya.
Tidak berapa lama kemudian. Terdengar suara bel. Arindra pikir jika itu adalah Aruna, karena ingin menjenguk istrinya.
Setelah berhasil membuka pintu, siapa sangka jika apa Arindra pikir jauh dari ekspektasi. Dengan wajah terkejutnya, berusaha menetralkan detak jantungnya yang tak beraturan.
“Ar, apa kamu akan berdiri terus tanpa ingin menyambut kita!” dengus seorang wanita paruh baya itu.
“Ma-maf, aku tidak menyangka jika kalian akan datang ke sini hari ini.” Jawab Arindra disertai kebingungan karena mereka berdua tidak tahu perihal keadaan Luna.
“Lagi pula, ada sesuatu yang ingin kita bahas dengan kalian. Itu sebabnya datang ke sini hari ini,” ucap lelaki paruh baya itu dengan penuh semangat.
“Kalau begitu, kita masuk!” ajak Arindra dengan senyum sedikit dipaksakan.
Entah, apa yang akan terjadi hari ini. Ketika semuanya tidak sesuai harapan dan tentunya sudah membuat kecewa para orang tua.
Akhirnya mereka berdua masuk. Meski dalam hati Arindra merasakan kegundahan. Namun, sebisa mungkin menutupinya karena ia merasa jika belum berani berterus terang.
“Di mana Luna? Kita juga butuh Luna karena ada sangkut pautnya dengan dia,” ujar wanita berusia 50 tahun itu.
“Sungguh, apa yang aku katakan kepada mereka perihal Luna? Argh … sial! Kenapa harus serumit ini,” batin Arindra dengan hati yang dongkol.
“Ar, apa istrimu masih bekerja?” tanya wanita tua itu lagi.
Belum sempat Arindra menjawab. Sebuah kursi roda tiba-tiba sudah ada di antara mereka.