Pernikahan Briela dan Hadwin bukanlah hubungan yang didasari oleh perasaan cinta—
Sebuah kontrak perjanjian pernikahan terpaksa Briela tanda tangani demi kelangsungan nasib perusahaannya. Briela yang dingin dan ambisius hanya memikirkan keuntungan dari balik pernikahannya. Sedangkan Hadwin berpikir, mungkin saja ini kesempatan baginya untuk bisa bersanding dengan wanita yang sejak dulu menggetarkan hatinya.
Pernikahan yang disangka akan semulus isi kontraknya, ternyata tidak semulus itu. Banyak hal terjadi di dalamnya, mulai dari ketulusan Hadwin yang lambat laun menyentil hati Briela sampai rintangan-rintangan kecil dan besar terjadi silih berganti.
Akankah benar-benar ada cinta dari pernikahan yang dipaksakan? Ataukah semuanya hanya akan tetap menjadi sebuah kontrak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM PERTAMA
Udara di sekitar Hadwin dan Briela menjadi terasa dingin. Suara detik pada jam dinding, menggema ke seluruh penjuru ruangan, menjadi satu-satunya yang paling berisik di antara gugup dan sunyi yang menyatu.
Hadwin meneguk salivanya dengan susah payah. Lehernya tercekat. Briela menunggu dalam posisi yang sama. Sedangkan Hadwin masih diam di tempatnya tanpa memulai apapun.
Hadwin tersadar dari lamunannya begitu Briela mempertanyakan kesanggupan Hadwin.
Setelah menjawab dengan gugup. Hadwin meminta izin untuk membuka resleting Briela. Hadwin menghirup napas dalam.
Perlahan-lahan Hadwin mencoba mengurai benang yang menyangkut pada resleting gaun Briela dengan tangannya yang sedikit gemetar.
Punggung jari telunjuknya menyentuh kulit mulus Briela. Keduanya sama-sama terkejut. Hadwin menarik tangannya menjauh. Pria itu meminta maaf atas ketidak sengajaannya.
Briela tidak mempermasalahkan itu dan meminta Hadwin untuk melanjutkan lagi.
Hadwin berusaha keras untuk mengurai benang, bukan berarti benang itu sangat sulit di lepas. Melainkan, ia sangat berusaha untuk tidak lagi menyentuh kulit punggung Briela. Demi Briela dan— demi dirinya sendiri.
Usahanya terbayarkan sempurna, Hadwin berhasil menurunkan resleting pada gaun Briela. Namun, yang jadi masalahnya saat ini ... matanya dapat dengan jelas melihat punggung mulus Briela dari atas sampai bawah. Hadwin lagi-lagi berusaha keras menelan salivanya.
"Terima kasih Hadwin, maaf mengganggu waktu istirahatmu."
Briela kembali ke dalam kamar begitu selesai mengucapkan terima kasih. Briela melepas gaun yang resleting ya sudah terbuka semua itu. Briela mandi dan berganti dengan piyama.
Tubuhnya sudah kembali segar. Briela menyelimuti tubuhnya, bukan karena dingin. Melainkan, Briela berharap kantuk segera datang padanya. Bukan sosok Hadwin dengan rambut setengah basah yang sejak tadi muncul di hadapannya setip kali matanya tertutup.
Malam semakin merangkak, menelan waktu yang semakin bergerak. Dan Briela masih saja gelisah, wanita itu tidak bisa tidur.
Briela berkali-kali merubah posisi, dan belum juga menemukan posisi yang pas.
Briela membuka selimutnya, ia kembali membuka mata dan mengesah pelan. Sepertinya kantuk memang tidak mau datang padanya.
Bukan salah tempat tidurnya jika ia tidak bisa tidur. Tempat tidurnya jauh lebih nyaman dari yang biasa ia pakai. Mungkin, lebih tepatnya karena tempat baru dan tinggal bersama orang lain yang menjadikan Briela kesulitan tidur.
Dan juga— mungkin juga karena bayangan Hadwin dan rambut setengah basahnya itu.
Briela bukanlah gadis polos yang akan menggeliat gatal melihat wajah tampan seorang pria. Tetapi, Briela baru pertama kali melihat penampilan seorang pria dengan rambut setengah basah, selain ayahnya. Dan parahnya lagi pria itu kini tinggal satu atap dengannya.
Briela kembali mengesah, ia menggelengkan kepalanya berkali-kali. Mengusir bayangan Hadwin dari kepalanya. Berkali-kali pula Briela mengatakan pada dirinya sendiri bahwa Hadwin tidak lebih dari sekadar rekan bisnisnya. Briela harus profesional.
Di kamarnya yang sepi Hadwin juga melakukan hal yang sama. Ia tidak bisa tidur.
Hadwin terlentang di atas sofa panjang. Dari pantulan lampu tidur Hadwin dapat dengan jelas melihat ranjangnya yang di penuhi bunga mawar. Hadwin mengesah pelan.
Hadwin menatap langit-langit kamarnya. Bahkan ketika matanya terbuka lebar Hadwin dapat melihat jelas bayangan Briela yang seharian bersamanya. Berbagai momen berputar dalam ingatannya.
Awalnya Hadwin tersenyum namun, tiba-tiba tubuhnya terasa panas ketika ingatannya berhenti pada momen jari telunjuknya yang bersentuhan dengan punggung putih Briela.
Hadwin memegang jarinya, jantungnya berdetak bagai pacuan kuda perang. Keras dan cepat.
Tubuh Hadwin semakin memanas ketika mengingat betapa putih dan mulusnya keseluruhan punggung Briela yang sempat ia lihat begitu resleting berhasil ia buka.
Telinga Hadwin memerah, pria itu bangun dari sofa. Ia berjalan mondar-mandir. Namun, setiap kali ia berhenti ia kembali mengingat bayangan Briela. Bahkan dengan kurang ajar ia membayangkan perbuatan tak senonoh.
Hadwin kembali bangkit dari duduknya, ia melakukan pemanasan dan beberapa kali melakukan olahraga ringan. Hadwin benar-benar harus mengalihkan pikirannya.
Malam semakin bergerak cepat, menuju pagi siap menyambut. Dan kedua orang di kamar berbeda dengan keluhan masing-masing tidak bisa tidur sampai pagi hari.
Hadwin keluar dari apartemennya jam lima pagi, ia tidak bisa tidur semalaman. Pria itu memilih untuk berolah raga di luar, ia harap kali ini usahanya berhasil.
Briela sendiri masih berada di kamarnya, ia menonton film dari laptopnya. Dan sejak semalam Briela tidak berhenti mengirimi Jennifer pesan. Briela berharap sahabatnya itu menemaninya meski sekadar bertukar pesan saja. Namun, sayang Jennifer sepertinya sudah tertidur lelap.
Briela menatap layar laptop dengan mata yang memerah, film sama yang Briela putar berulang kali sampai-sampai wanita itu hafal setiap adegan dan dialognya.
Briela sungguh ingin beristirahat, namun matanya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Baru saja Briela ingin menekan tombol putar pada film yang sudah berhenti sejak beberapa detik lalu, tiba-tiba ponselnya berdering.
Nama Jennifer terpampang jelas di layar ponselnya. Briela menekan ikon tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan telepon dari sahabatnya itu.
Belum sempat Briela menyapa si penelepon, Jennifer lebih dulu memborbardir Briela dengan pertanyaan.
"Kenapa mengirimiku pesan semalaman? Apakah kau ingin membagi pengalamanmu pada wanita lajang ini, hei— sahabatku. Bagaimana rasanya? Malam pertama kalian, mendebarkan bukan?"
Briela mendecak kesal. "Bicara apa kau?" sanggahnya ketus.
"Hei mood seorang Briela sudah kacau sepagi ini? Apakah artinya seorang Briela yang tak terkalahkan ini tidak mampu mengatasi kekuatan prianya?" Jennifer kembali mengoceh.
"Bukan begitu ... ," Briela mencoba menghentikan tebak-tebakan konyol sahabatnya.
"Lalu? Apakah mungkin— Hadwin ... ,"
"Hentikan omong kosongmu, Jen! Kami tidak melakukannya, oke!"
Jennifer memekik keras. "APA? Mengapa kalian tidak melakukannya?"
Briela kembali mendecak kesal. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya. "Kau tahu sendiri, Jen. Kami hanya menikah kontrak."
"Memangnya di dalam kontrak tertulis larangan untuk melakukan itu?" Jennifer kembali menjejali telinga Briela dengan pertanyaan konyol.
"Tentu saja tidak, tetapi kami juga tidak memiliki alasan untuk melakukan itu, Jen." Briela mencoba keluar dari obrolan aneh sahabatnya.
"Tidak harus ada alasan untuk melakukannya, Briela. Ketika momennya pas, lakukan saja! Setidaknya cobalah untuk melakukannya dengan Hadwin. Sayang sekali tubuhnya yang kekar dan seksi itu jika tidak kau nikmati."
"Ya, Tuhan. Harus aku apakan pikiran kotormu itu, Jen." Briela memijit pelipisnya. Ia semakin dibuat pusing oleh kata-kata sahabatnya.
"Itu bukan pikiran kotor, Briela. Kita sudah dewasa dan sudah sewajarnya melakukan hal itu. Apalagi kasusmu, kau memiliki pria berstatus suami di sampingmu." Jennifer mencoba membenarkan jalan pikirannya. "Kau hanya belum mencobanya saja. Aku yakin jika sudah merasakannya sekali, kau tidak akan pernah menolak untuk yang selanjut-selanjutnya."
Briela berteriak frustasi. "Sudahlah, Jen. Mengobrol denganmu semakin membuatku pusing."
Jennifer tertawa. "Jangan katakan! Kau memiliki masalah dengan itu— "
Briela tertegun, kalimat terakhir Jennifer membuatnya berpikir.
Ada yang tahu jawaban Briela nggak ya? Komen yuuk!
sekertaris keknya beb. ada typo.