- 𝗨𝗽𝗱𝗮𝘁𝗲 𝗦𝗲𝘁𝗶𝗮𝗽 𝗛𝗮𝗿𝗶 -
Ria merupakan seorang mahasiswi yang dulunya pernah memiliki kedekatan dengan seorang pria bernama Ryan di dunia maya. Hubungan mereka awalnya mulus dan baik-baik saja, tapi tanpa ada tanda-tanda keretakan berakhir dengan menghilang satu sama lain. Sampai Ryan menghubungi kembali dan ingin memulai hubungan yang nyata.
Akankah Ria menerima atau menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nelki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bicara Empat Mata
Sarah sangat kegirangan ternyata orang yang ditaksir akan dijodohkan dengannya. Awalnya dia ingin menolak, tapi sekarang dia berharap hal itu benar-benar terjadi. Sarah terus memandangi wajah tampan Ryan.
Ryan merasa jijik ditatap olehnya. Dia bergidik ngeri. Terbayang dalam benaknya perilaku Sarah saat kuliah. Suka ngejar-ngejar di manapun Ryan berada. Kasih barang-barang buat deketin, tapi ditolak.
Hal paling dibenci Ryan adalah waktu dia diikuti ke manapun. Emangnya si Sarah ini mau jadi mata-mata super kah? Segala pakai dipantau, yang dipantau aja ga menghiraukannya.
Jika dipikirkan kembali, mungkin saja setelah lulus kelakuannya ga beda jauh. Oh, waktu aku lagi bareng Ria, Sarah ada di sana. Besar kemungkinan dia ngikutin di belakang Ryan.
"Heh, Sar! Kamu ga tahu malu ya," sindiran Ryan tepat.
Sarah menundukkan kepala. Dia ingat semua yang dilakukannya. Andai saja dia tak melakukan itu. Apa mungkin Ryan akan melihatnya?
"Bicara apa kamu?" Nenek membentak Ryan demi Sarah.
"Jangan marah Nek! Itu emang salahku," bujuk Sarah sambil menggandeng lengan nenek.
"Aduh pusing banget kalo kalian lagi berantem. Kakek pergi aja deh," keluh kakek lalu meninggalkan.
Sosok kakeknya yang bijak dan bermartabat itu mana? Menengahi masalah seperti ini saja tidak bisa. Ryan semakin kesal dengan kunjungan ke rumah ini.
"Oke, Nenek juga mau pergi. Kalian berdua sebagai anak muda harus bicara baik-baik. Bisa aja ada kesalahpahaman di balik cerita kalian," kata Nenek sebelum meninggalkan.
Kini tersisa dua di antaranya, Ryan dan Sarah saling beradu tatapan. Ryan menatapnya penuh peringatan, sedangkan tatapan Sarah penuh rasa bersalah dan ketakutan.
Orang yang disukai berdiri di depannya, tapi Sarah tak lagi berani menatapnya lagi. Tatapan peringatan itu sudah berhasil menciutkan nyalinya.
"Sar!" panggil Ryan.
Sarah perlahan mengangkat kepala. Wajahnya yang cantik dengan rambut panjang bergelombang menambah kecantikan.
"Aneh orang cantik gini ga ada yang suka. Malah ngejar aku," pikir Ryan.
"Aku udah suka sama Ria. Aku juga lagi proses buat dapetin hatinya. Orang tuaku dan orang tuanya juga sudah kasih restu. Jadi kamu jangan coba-coba merusak hubungan yang baru ku bangun!" ancam Ryan memperingatkan.
Ryan berlalu begitu saja. Dia tak menghiraukan panggil Sarah.
"Ryan! Tunggu dulu aku masih mau bicara!"
Ryan menoleh sekilas dan berkata dengan tegas, "Ga ada yang bisa diomongin di antara kita berdua. Karena sejak awal kita ga ada hubungan satu sama lain."
Ryan melanjutkan langkahnya. Sarah menatap punggungnya makin menjauh. Ryan berhenti sejenak, membuat Sarah memiliki sedikit harapan. Sampai peringatan lainnya menghancurkannya.
"Jangan coba dekati aku lewat Nenek! Ingat ini juga!"
Sarah mengepalkan tangannya. Kuku jarinya sampai melukaimu telapak tangannya yang halus. Dia menggertakkan gigi. Matanya di penuhi dengan emosi yang meluap-luap. Ryan tak melihat hal itu karena dia langsung pergi ke kamar.
"Ryan, tunggu saja pembalasanku," kata Sarah dipenuhi amarah.
Sarah bergegas pergi dari rumah itu. Hatinya yang dulu selalu berbunga ketika bertemu orang yang disukainya. Kini berubah penuh kebencian. Tekad untuk menghancurkan hubungan Ryan dan Ria menjadi prioritasnya.
...****************...
Sarah menelepon sopirnya sendiri karena tak ada yang mengantarkannya. Sopir yang mendapat panggil dadakan dari anak majikannya gelagapan. Dia sudah tau temperamen gadis yang bertopeng dengan wajah cantik itu. Dia langsung ngebut untuk menjemputnya.
Baru berlalu beberapa menit, Sarah sudah tak sabar ingin kembali pulang. Nasib sopir sepertinya bisa ditebak jika membuatnya menunggu. Akhirnya lima menit berdiri tak sia-sia, mobil yang menjemputnya tiba.
Tanpa basa basi lagi Sarah membuka pintu dan masuk di kursi belakang. Pintu mobil ditutup dengan keras hingga suaranya mengagetkan sopir di kursi kemudi.
Brak!
"Cepet jalan!" perintah Sarah.
Sopir yang tadinya ingin minta maaf karena membuat Sarah menunggu, mengurungkan niatnya. Dia segera memenuhi keinginan Sarah. Dia tak mau menjadi korban penganiayaan.
Sopir melirik melalui spion depan, Sarah sedang memainkan ponselnya. Dia bernapas lega, setidaknya dia tak kena omel untuk saat ini. Sarah diam-diam menyuruh orang untuk mencari tahu tentangku. Tampaknya hari-hari damaiku akan segera berakhir.
"Cepetan!" teriak Sarah tiba-tiba setelah selesai mengirim tugas ke bawahannya yang lain.
Sopir itu terkejut dan segera mengangguk patuh. Dia menambah kecepatan mobil agar cepat sampai rumah, sebelum benar-benar disiksa oleh penyihir.
Rumah mewah dengan tiga lantai. Ada taman yang terawat dengan air mancur di tengah sebagi pusat. Mobil yang ditumpangi Sarah tiba di rumah. Sarah segera turun dari mobilnya.
Brak!
Suara pintu mobil dibanting lagi. Sopirnya hanya bisa pasrah. Lebih baik mobil ini yang rusak karena dia, daripada dirinya. Sarah melenggang masuk ke rumah besar yang tampak sepi.
Sejak kepergian sang ibu, rumah tak seperti rumah lagi. Dia merasakan dinginnya rumah tanpa kehangatan seorang ibu.
"Papa mana?" tanya Sarah pada pembantunya.
"Belum pulang Non," jawabannya sambil menunduk.
"Kalau dah pulang kabari aku di kamar," pesannya dan berlalu pergi menaiki anak tangga menuju lantai dua.
Pembantu yang tak pernah dianggap ada oleh majikan, hanya bisa pasrah akan nasib. Nasib baik saat ini Nona Sarah marah, tapi tidak menyiksa lainnya. Apa dia memilih target lain? Pikir pembantu itu menerka-nerka.
...****************...
Nomor Ryan sudah bebas dari blokiranku. Kini dia duluan menelepon. Sepertinya dia selalu mencoba itu sebelumnya. Panggilan suara tersambung, tapi kata manis yang biasa tak ada. Berubah menjadi pengingat.
"Ria ingat ini! Jangan mau sama orang asing! Bahaya."
"Dari kecil dah tau kok."
"Kali ini beneran. Ada orang yang nguntit aku," jelas Ryan.
"Heh... terus apa hubungannya sama aku?"
"Aku nyebut namamu. Maaf ya," katanya menyesal.
"Oh, jadi kamu sengaja bikin aku jadi target kejahatan yah," kataku dengan marah.
"Tenang aja aku bakal lindungin kamu," katanya menenangkan.
"Ingat jangan percaya sama orang asing. Selalu hati-hati. Jangan sendirian pas keluar! Oke."
"Iya... iya."
"Aku belum tau nih bisa ke tempatmu ga. Kayaknya aku bakal disandera kakek nenek di sini," katanya sedih.
"Ngapain takut? Kabur aja!" kataku memberi ide.
Gelak tawa Ryan yang keras hampir membuatku menjatuhkan ponsel. Ryan terpingkal karena tak menyangka ide untuk kabur diusulkan olehku.
Benar kata orang, "Jangan liat buku dari sampulnya!"
"Oke aku bakal pertimbangin usulanmu," kata Ryan setelah berhenti tertawa.
"Tapi aku juga ga berharap kamu dateng sih."
Pernyataanku langsung menusuk Ryan. Tega sekali melakukan ini. Setelah membuat harapan lalu langsung dihancurkan begitu saja.
"Kamu ga ngerasa kangen atau pengen liat aku gitu?" tanya Ryan.
"Ga ada."