Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Festival Kue Bulan Yang Gagal
Angin musim gugur berembus lebih dingin dari biasanya,
membawa bau darah samar dan dupa yang terbakar setengah matang.
Di altar besar yang seharusnya dipenuhi puji-pujian pada langit—
hari ini... hanya ada aroma kehinaan.
Kaisar Rong Gao Ming berdiri tegak di depan altar utama.
Wajahnya tanpa ekspresi.
Tapi semua yang hadir...
bisa merasakan tekanan berat menimpa pundak mereka,
seolah langit itu sendiri sedang marah.
Suara Kaisar terdengar pelan.
Sangat pelan.
Tapi justru karena itulah,
setiap kata-katanya terdengar seperti gemuruh petir di telinga semua orang.
"Tahun ini..."
"Saat rakyat mengirim doa agar panen mereka diberkati..."
"Saat langit mengawasi kita..."
"Yang mereka lihat adalah... pesta yang ternoda aib."
Suara itu tidak meninggi.
Tapi setiap katanya menancap seperti jarum es.
"Bukan hanya persembahan yang tercemar."
"Tapi... wajah istana juga tercoreng."
Napas banyak pejabat dan selir tersangkut di tenggorokan.
Beberapa lutut gemetar.
Beberapa bahkan hampir jatuh bersujud lebih dalam tanpa sadar.
Kaisar melanjutkan, dingin:
"Aku mempercayakan persembahan kepada kalian."
"Dan kalian...
memberikan malu pada seluruh bangsa Rong."
Ia memalingkan wajah perlahan, menatap para pengawas, kepala dapur, dan semua pejabat kecil yang bertanggung jawab atas festival.
Satu per satu menunduk lebih dalam.
Beberapa hampir pingsan karena tekanan.
"Kalian... tidak layak berbicara tentang kepercayaan rakyat,
jika tidak bisa menjaga satu altar pun suci."
"Semua jalur distribusi bahan persembahan... diperiksa."
"Semua dapur diperiksa."
"Semua pekerja diperiksa."
"Dan siapa pun yang ketahuan lalai..."
"...akan digulung bersama keluarganya."
"Pencarian lebih lanjut demi menegakkan keadilan," perintahnya di akhir.
Langkah Kaisar Rong Gao Ming bergema berat menuruni anak tangga altar,
membelah barisan selir, pejabat, dayang, dan kasim yang membeku membungkuk dalam ketakutan.
Ia tidak menoleh sedikit pun.
Saat Kaisar telah cukup jauh dari altar,
Kasim Agung maju ke tengah lapangan suci,
membentangkan gulungan pengumuman yang berat dengan lambang naga berukir emas.
Suaranya tegas, menghantam udara yang mencekam:
"Atas perintah Yang Mulia Kaisar..."
"Upacara Festival Kue Bulan tahun ini..."
"...dinilai gagal."
"Ritual persembahan kepada Langit dan Bumi Dihentikan."
"Segala perayaan umum... dibatalkan."
Suasana altar yang sudah tegang, kini benar-benar membeku.
Tidak ada sorak-sorai.
Tidak ada sukacita.
Hanya gemetar, bisikan takut, dan wajah-wajah pucat.
"Festival yang seharusnya menjadi berkah..."
"...menjadi aib yang akan dikenang bertahun-tahun."
"Dan semua orang tahu..."
"...dalam istana, aib semacam ini tidak akan pernah benar-benar hilang."
Para selir yang masih bersujud mulai saling melirik.
Bisik-bisik mulai beredar cepat seperti api menjilat sekam:
"Semua ini... karena Selir Ji'an."
"Dia gagal mengatur persembahan..."
"Pangerannya pun kalah bersinar dibandingkan yang lain..."
"Mungkin sudah saatnya dia jatuh."
"Ini tanda dari langit."
Ji'an masih menunduk.
Kepalanya tetap menempel di lantai batu dingin.
Tapi di balik wajah tunduknya,
matanya merah membara.
Dia tahu.
Dia dengar.
Semua bisikan itu.
"Kalian berani berbisik sekarang..."
"Nanti... aku buat kalian menangis darah."
Sementara semua orang berduka dalam keheningan altar yang tercemar,
di balik pilar megah lorong kanan,
Pangeran Pertama Cheng Yao berdiri mengamati semuanya dengan mata dingin.
Ia tidak tampak sedih.
Tidak tampak marah.
Hanya...
muak.
"Ada-ada saja."
"Ibu... selalu tahu caranya membuat keadaan jadi lebih buruk."
"Sudah tahu posisiku goyah..."
"Malah menyeret keluargaku ke dalam aib nasional."
Ia mengamati punggung penuh luka ibunya yang tetap membungkuk dalam-dalam.
Seolah ingin menghilang dari dunia.
"Menyedihkan."
"Tidak berguna."
"Bagaimana aku bisa naik tahta..."
"Jika bahkan keluargaku tak bisa menjaga nama mereka sendiri?"
Cheng Yao mengepalkan tangan di balik lengan jubahnya.
Bukan karena marah kepada dunia.
Tapi karena...
malu.
Ia bergumam pelan di antara giginya, begitu rendah hingga hanya dirinya yang mendengar:
"Kalau kau tidak bisa menopang jalanku..."
"Setidaknya... jangan menjadi batu sandungan."
"Di istana ini..."
"Bahkan seorang ibu hanyalah alat."
"Jika alat itu rusak..."
"...maka ia harus ditinggalkan."
Festival berakhir bukan dalam pesta cahaya lentera.
Bukan dalam derai tawa rakyat.
Bukan dalam doa-doa keberkahan.
Tapi dalam keheningan kelabu,
bau dupa basi,
dan aib yang menyelimuti halaman suci Kekaisaran Rong seperti kabut hitam yang tak mau bubar.
Dan semua orang tahu—
musim gugur ini...
bukan hanya daun-daun tua yang akan jatuh.
Ada kekuasaan yang juga akan gugur.
Cepat atau lambat.
Di dalam kamar pribadinya,
Selir Ji'an terbaring lemah di atas ranjang berlapis sutra ungu tua.
Punggungnya berdenyut-denyut,
bekas dua puluh lima cambukan menorehkan garis-garis merah lebam di kulitnya yang dulu halus.
"Setiap napas terasa seperti menusuk dari dalam."
"Setiap gerakan kecil seperti menggores luka-luka itu lagi."
Tapi itu bukan yang paling menyakitkan.
Bukan.
Yang paling menghancurkannya adalah...
keheningan.
Tak ada satu langkah pun mendekat.
Tak ada satu bayang pun melewati pintu kayu berukir bunga peony itu.
Pelayan-pelayannya hanya berani merawatnya seperlunya.
Bahkan kepala pelayan utamanya, yang biasanya melaporkan setiap perubahan di istana,
malam ini hanya berdiri jauh di sudut kamar.
Karena...
semua orang tahu.
Hari ini...
Kaisar tidak akan datang.
Ji'an membuka matanya yang sembab, menatap tirai emas di atas ranjangnya.
"Dia... tidak akan datang."
"Bahkan untuk sekadar berpura-pura."
Tangannya yang kurus mencengkeram seprai.
"Apa aku... sudah sejauh ini jatuh?"
Tiba-tiba, bisikan lirih terdengar dari luar kamar:
"Yang Mulia... Yang Mulia Selir Xuan... menerima kunjungan Kaisar malam ini."
Kalimat itu...
berdesir pelan di lorong,
namun menusuk telinganya seperti tombak berujung es.
Ji'an menutup matanya rapat.
Tangis tak keluar.
Tapi dadanya sesak,
seakan semua udara di ruangan ini tiba-tiba menghilang.
Sementara itu...
Di Paviliun Bunga Putih, kediaman Selir Xuan,
pelita-pelita dinyalakan lembut,
harum kayu manis dan dupa cedar mengambang di udara.
Kaisar Rong Gao Ming duduk santai di ruang tamu pribadi,
berbicara santai dengan Xuan,
seolah semua keributan siang tadi...
tak pernah ada.
Xuan mengerjap perlahan,
duduk kaku setelah mendengar kata-kata Kaisar barusan.
"Dayang itu.. juga tabib itu berbohong. Aku tahu."
Dunia Xuan seolah berhenti sejenak.
"Tidak hamil?"
Napasnya tercekat.
"Aku... tidak hamil."
"Jadi... semua yang terjadi hari ini—semua perlindungan..."
"Adalah... dusta."
Matanya perlahan meredup.
Dadanya sesak.
"Dan gadis itu..."
"Yu Zhen..."
"Berani mempertaruhkan segalanya untukku..."
Xuan menundukkan kepala dalam-dalam.
Bahunya gemetar sangat halus—hampir tak terlihat.
Suara lirihnya pecah dalam ruang yang hanya berisi mereka berdua:
"Hamba mohon ampun, Yang Mulia..."
"Hamba... membiarkan seorang dayang berdusta di altar suci,
hanya untuk melindungi hamba..."
Kaisar hanya menatapnya dalam diam.
Tak memarahi.
Tak mencela.
Xuan tetap bicara, suaranya nyaris bergetar:
"Hamba akan menerima...
apa pun hukuman dari Yang Mulia."
Kaisar melihat wanita di depannya:
Yang dulu gadis muda berbaju polos, menunduk di ruang cuci pakaian.
Yang kini... tetap bersih hatinya, meski dunia di sekeliling mereka sudah berubah kelam.
Kaisar menghela napas panjang.
Ia mengulurkan tangannya,
mengangkat dagu Xuan perlahan—
menuntut Xuan menatap matanya.
"Kalau aku ingin menghukummu..."
"Aku sudah melakukannya di altar siang tadi."
"Tapi aku tidak mau."
"Aku lebih memilih... melindungimu."
Xuan menggigit bibirnya menahan emosi.
Air matanya hampir jatuh, tapi ia paksa tetap menatap Kaisar.
Dan di momen itu,
dengan suara penuh gurauan dalam kehangatan yang pelik,
Kaisar berkata ringan:
"Daripada sibuk menyesal..."
"Bagaimana kalau kau sekalian... benar-benar hamil malam ini?"
Masih trauma dengan kesalahan diri
Sudah pencet bintang 5 untuk seorang author
Begitu muncul hanya 3.
Dan akhirnya kena block.
Berasa berdosa sama sang author
Vote terimakasih untukmu
Sekalipun cara yg di tempuh salah.
Orang tak bersalahpun menjadi korban
Hingga menjatuhkan menjadi keharusan
Riwayat sebuah propinsi kaya yg rakyatnya menderita
Kesenjangan yg di sengaja
yang memaksakan kehendak lewat cara tetcela.
Demi keamanan dan kenyamanan Yu zhen
Semoga Yu Zhen tetap baik baik
Tolong jangan bermain dengan perasaan dulu..
Sebelum semua baik baik saja
Kalem tapi tegas
Tetaplah tumbuh dengan karaktermu
cerita bagus begini kenapa sedikit sekali peminatnya
Semoga rasa yg ada,tak berbuah petaka kedepannya