Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 - Saatnya Pulang
Hari itu, matahari Jakarta bersinar cerah, sinarnya menyilaukan jendela-jendela besar rumah itu.
Langit biru tanpa awan, seolah dunia sedang merayakan sesuatu. Tapi tidak di hati Tari.Di satu sudut ruang makan yang luas dan dingin itu, ia duduk sendiri.
Tubuhnya membungkuk sedikit, seakan berusaha mengecilkan dirinya agar tidak terlalu terasa di dunia yang sudah cukup menyesakkan.Pagi-pagi sekali, ia sudah di sana. Genggamannya erat di cangkir teh hangat yang kini hampir dingin. Uap tipis mengepul perlahan dari permukaan cairan, menghilang sebelum benar-benar bisa menghangatkan dirinya.
Di luar, burung-burung berkicau riang. Di dalam, keheningan menekan keras, membekukan setiap denyut nadi.
Tidak ada suara dari Gilang. Tidak ada pesan pendek yang dulu biasa ia tunggu dengan cemas tapi bahagia. Tidak ada kabar, bahkan hanya satu kata sapaan pun tidak.Tari sudah berhenti berharap.
Dulu, setiap bunyi getaran kecil dari ponselnya akan membuat hatinya berdegup, penuh harap. Dulu, setiap langkah di lorong rumah ini membuatnya berkhayal—mungkin itu Gilang, mungkin dia datang untuk berbicara, untuk mematahkan jarak di antara mereka. Tapi kini, semua itu tinggal kenangan yang perlahan berubah jadi abu.Setelah semua yang terjadi... setelah luka-luka itu menumpuk dalam diam... Tari sadar satu hal, Mungkin memang inilah jalannya.Mungkin, cinta yang terlalu rumit tidak diciptakan untuk bertahan. Mungkin, tidak semua perasaan, sekuat apa pun, ditakdirkan untuk berakhir bahagia.Kadang, cinta hanya datang untuk mengajarkan arti kehilangan. Kadang, cinta hanya hadir untuk membentuk luka yang, suatu hari nanti, akan menguatkan kita.Tari menghela napas panjang. Matanya terasa panas, tapi tidak ada air mata yang keluar. Bahkan tangis pun rasanya sudah lelah.
Ia mengangkat cangkir itu ke bibirnya, menyesap pelan. Teh itu sudah hambar, sama seperti hari-hari yang belakangan ini ia jalani.Di seberang meja, kursi tempat Gilang biasa duduk kosong. Begitu kosong, begitu nyata, begitu menyakitkan.Dan di momen itulah, Tari akhirnya mengerti... Bahwa kadang, melepaskan orang yang kita cintai bukan karena kita berhenti mencintai—tapi karena kita memilih untuk mencintai diri kita sendiri lebih dulu.
Ia menatap sinar matahari yang tumpah ke dalam ruangan itu, memantul di lantai marmer. Terlalu cerah untuk hari sekelam ini.Dengan senyuman kecil yang lebih menyerupai luka, Tari berbisik pada dirinya sendiri,"Aku harus kuat. Bahkan kalau itu berarti tanpamu. Saatnya aku pulang."
Sebulan kemudian.
Pagi itu, kantor terasa berbeda.
Ada ketegangan tipis di udara, sesuatu yang mengalir di antara tumpukan berkas, layar-layar monitor, dan langkah cepat para karyawan. Hari ini adalah hari presentasi besar proyek Cinta Bumi di hadapan dewan direksi dan beberapa stakeholder utama perusahaan.
Tari berdiri di depan cermin kecil di ruang kerjanya, merapikan blazer abu-abu sederhana yang ia kenakan. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Aku bisa. Aku sudah sampai sejauh ini," bisiknya kepada dirinya sendiri.
Ia mengambil tablet berisi bahan presentasinya, lalu berjalan keluar dengan langkah ringan.
Di ruang rapat utama, suasana sibuk. Beberapa orang memeriksa proyektor, mengatur kursi, mengecek audio.Di pojok ruangan, Gilang berdiri, mengenakan setelan hitam gelap, berbicara dengan salah satu direktur. Wajahnya tenang seperti biasa. Seolah hari ini hanyalah hari biasa.Tari menahan napas sejenak saat mata mereka hampir bertemu. Tapi Gilang segera mengalihkan pandangan.Tari menguatkan dirinya. Ia tidak datang ke sini untuk mengejar tatapan itu. Ia datang untuk membuktikan sesuatu—pada dirinya sendiri.
Presentasi dimulai.
Tari berdiri di depan layar besar, menghadapi belasan pasang mata yang menatap tajam. Beberapa penuh rasa ingin tahu. Beberapa skeptis. Beberapa sekadar bosan.Tapi Tari tetap berdiri tegak.
Dengan suara tenang namun jelas, ia mulai memaparkan konsep kampanye Cinta Bumi yang telah ia susun selama berminggu-minggu.Slide demi slide, Tari membawa mereka menyusuri perjalanan idenya.Tentang bagaimana konsumen sekarang lebih peduli lingkungan. Tentang bagaimana perusahaan bisa mengambil bagian dalam perubahan itu, bukan sekadar demi citra, tapi demi tanggung jawab nyata. Tentang bagaimana kampanye ini tidak hanya menjual produk, tapi juga nilai.Ia menunjukkan prototype packaging baru yang lebih ramah lingkungan. Ia memaparkan data sederhana tapi kuat tentang dampak positif kampanye ini dalam jangka panjang. Ia bahkan menyisipkan hasil survei kecil yang ia lakukan sendiri dengan bantuan tim.Ruang rapat yang semula dingin perlahan mulai hangat.Beberapa direktur mulai mengangguk pelan. Beberapa bahkan tersenyum tipis.
Saat Tari selesai, ia berdiri sejenak, membiarkan keheningan menggantung.Dan kemudian—satu per satu, suara tepuk tangan terdengar.Tepukan yang pelan, tapi tulus.Di sudut matanya, Tari melihat Manager Kreatif mengangguk padanya. Sebuah penghormatan kecil, tapi berarti.Ia juga melihat sesuatu di wajah Gilang—sekejap. Sesuatu yang mirip... bangga?
Tapi Tari cepat-cepat mengalihkan pandangan.Ini bukan tentang dia.Ini tentang dirinya sendiri.Tentang gadis yang datang ke Jakarta dengan tangan kosong dan luka lama, dan kini berdiri di sini, di ruangan ini, dengan kepala tegak.Setelah presentasi selesai, suasana kantor sedikit lebih santai.Beberapa rekan kerja mendekatinya, menepuk bahunya, mengucapkan selamat.
Bahkan Manager Tari, yang dulu setengah sinis, mendatanginya."Good job, Tar. Kamu membuktikan diri kamu bukan sekadar 'cucu Bu Tirta'."Tari tersenyum kecil.
Senyum yang tidak dibuat-buat. Senyum yang lahir dari rasa lega yang dalam.Saat ia kembali ke meja kerjanya, Tari meletakkan tabletnya di meja dan menatap layar komputer.Ia tahu... waktunya hampir tiba.
Satu langkah lagi.Setelah semua ini, ia akan pergi. Bukan karena kalah. Tapi karena ia memilih untuk pergi sebagai dirinya sendiri—utuh, tanpa kebohongan.Malam itu, saat semua orang sudah pulang, Tari masih duduk di ruangannya. Lampu kantor sudah banyak yang dimatikan, hanya beberapa cahaya remang-remang yang tersisa.
Ia membuka laptopnya, menulis satu email panjang untuk Bu Tirta. Bukan surat pengunduran diri. Tapi surat perpisahan dari cucu kepada neneknya.Ia menulis dengan hati-hati. Setiap kalimat dipilih dengan cinta, bukan dengan amarah.Ia menulis tentang rasa terima kasihnya. Tentang betapa ia menghormati Bu Tirta. Tentang betapa ia berterima kasih atas semua kesempatan.Tapi ia juga menulis bahwa ia harus menemukan jalannya sendiri.
Bukan di perusahaan ini. Bukan di balik bayang-bayang siapa pun.Ia akan kembali ke Bandung. Ke toko bunganya. Ke hidup sederhana yang penuh makna.Sebelum menutup laptop, Tari melirik jam dinding.Sudah hampir tengah malam.Di luar, lampu-lampu kota Jakarta berkilau seperti lautan bintang terbalik.Ia berdiri, merapikan mejanya perlahan.
Di sudut ruangannya, ia melihat sebuah pot kecil—bunga lavender mungil yang dulu ia bawa dari toko bunganya di Bandung.Tari tersenyum kecil, mengelus daun-daun lembut tanaman itu."Sebentar lagi kita pulang," bisiknya.
Dan malam itu, dengan langkah ringan, Tari meninggalkan kantor.Meninggalkan semua luka, semua kenangan, semua kerinduan yang tak berbalas.Meninggalkan semua... kecuali keberaniannya untuk memilih dirinya sendiri.