NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Menjejak Kenangan, Menapak Harapan"

Pagi itu, mentari belum tinggi, tapi cahaya hangatnya sudah menyentuh atap-atap rumah, menari pelan di sela genting dan ranting pohon. Di lapangan sekolah, anak-anak berdiri rapi mengikuti upacara, seragam mereka berkibar pelan tertiup angin pagi. Sementara itu, dua sahabat lama, Johan dan Kalmi, telah memulai perjalanan mereka. Arah langkah mereka menuju tempat yang jauh, namun justru terasa paling dekat dengan hati—Bukit Barisan.

Udara masih segar, embun belum habis menguap dari dedaunan. Di pinggir jalan, mereka berdiri menunggu tebengan, cara lama yang mereka gunakan sejak muda—sebuah pilihan yang mungkin tampak sepele, tapi selalu menghadirkan kebebasan yang tak bisa dibeli. Tak ada jadwal, tak ada peta pasti. Hanya kaki yang melangkah, dan hati yang percaya.

Keheningan mereka sepanjang jalan bukan kekosongan. Justru di dalam diam itulah kenangan-kenangan bermunculan, seperti potongan film lama yang diputar ulang dalam kepala. Tidak perlu banyak kata. Mata yang saling menatap sudah cukup bicara.

Siang menjelang ketika mereka sampai di kaki Bukit Barisan. Jalanan mulai menyempit, menanjak dan berliku, memaksa mereka memperlambat langkah. Cahaya mentari jatuh dari celah-celah kanopi daun, memendar lembut seperti pelukan alam. Di sinilah, hutan menyambut mereka. Dengan keheningan, dengan aroma tanah basah, dengan desir angin yang menyelinap di balik pepohonan.

“Keysha pasti akan senang kalau dia tahu kita di sini,” ucap Johan lirih. Matanya menerawang ke depan, menatap jauh ke dalam lebatnya hutan, seakan mencari siluet yang pernah hadir dalam hidupnya. Senyum kecil mengambang di bibirnya, bukan tawa, tapi kenangan yang menyelinap diam-diam.

Kalmi mengangguk pelan. “Iya. Dia sering bilang betapa penasarannya dengan tempat ini. Betapa ia ingin sekali menginjak tanah ini. Menjelajahinya.”

Langkah mereka menyusuri jalur kecil, menembus hutan yang semakin rapat. Pohon-pohon tinggi menjulang bak penjaga sunyi, akar-akar besar melintang di tanah, dedaunan menari tertiup angin. Semuanya terasa sakral, seolah setiap jengkal tanah di sana menyimpan cerita yang belum selesai diceritakan.

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di lokasi yang telah mereka rencanakan. Tempat itu tenang, dinaungi pepohonan rindang yang seolah menjadi atap alami. Mereka mendirikan tenda tanpa banyak bicara, tubuh lelah tapi hati lapang.

Setelah beristirahat sejenak, mereka menjelajah sekitar. Suara gemericik air dari kejauhan memandu mereka menuju sebuah kejutan kecil: air terjun tersembunyi, mengalir deras di balik semak belukar dan semilir angin. Mereka berdiri di sana, membasuh wajah, membiarkan alam menyentuh mereka dengan kelembutannya. Burung-burung berkicau, angin bersiul, dan waktu berjalan lebih lambat.

“Kita akan selesaikan apa yang belum sempat Keysha mulai,” ucap Johan. Suaranya tenang, tapi tegas. Di matanya, ada semangat yang tak padam meski diterpa luka.

Kalmi menepuk bahunya. “Setiap langkah ini... untuk dia.”

Di hati mereka, Keysha memang telah tiada. Tapi di hutan ini, dalam perjalanan ini, dalam desir angin dan nyanyian burung, ia hidup kembali.

Senja datang perlahan, menutup langit dengan jingga lembut. Mereka kembali ke tenda, menyalakan api unggun kecil. Cahaya api menari di wajah mereka, menghangatkan tubuh dan kenangan.

Johan menatap nyala itu dalam-dalam. “Perjalanan ini, Mi... bukan cuma soal janji gue ke Keysha. Ini juga soal hidup gue. Gue... harus mulai melangkah lagi.”

Kalmi tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatap sahabatnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan.

Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, mereka tertidur dalam keheningan yang hangat. Tak banyak bicara, tapi hati mereka tahu: esok akan jadi awal dari segalanya. Apa pun yang menanti di Bukit Barisan, mereka siap menghadapinya. Karena di setiap langkah, impian Keysha berjalan bersama mereka.

~

Pagi itu datang tanpa tergesa. Angin lembut menyentuh kulit seperti tangan ibu membangunkan anaknya dari tidur panjang. Aroma embun yang masih menggantung di ujung daun menyapa perlahan, menenangkan dada, seolah alam tahu bahwa hari ini bukan hari biasa. Johan dan Kalmi terbangun dengan semangat yang tak bisa dijelaskan. Ada desir halus di dada mereka, seperti suara samar yang memanggil dari dalam hutan: mari melangkah, mari lanjutkan kisah.

Sarapan mereka sederhana—nasi yang masih hangat, segelas kopi hitam, dan diam yang nyaman. Mereka membereskan tenda dengan cekatan. Tidak ada yang perlu dikatakan. Hati mereka sudah tahu arah. Petualangan hari itu baru saja dimulai, menembus hutan Bukit Barisan, menuju ruang-ruang sunyi yang menyimpan ribuan rahasia, janji, dan kerinduan.

Langit biru membentang tanpa cela. Matahari memancarkan sinarnya dengan lembut, menembus celah-celah daun, menari di antara ranting, seolah membuka jalan bagi dua pengelana itu. Udara begitu bersih, setiap tarikan napas seperti hadiah dari alam. Aroma tanah basah, dedaunan yang jatuh, dan angin yang menyusup diam-diam, semuanya membentuk simfoni pagi yang tak bisa dituliskan dengan kata-kata biasa.

Mereka menyusuri aliran sungai kecil yang jernih, suara gemericiknya mengalun seperti nyanyian lama. Semak belukar merapat di kiri kanan, menjaga keheningan, menjaga rahasia. Burung-burung berwarna-warni terbang bebas di atas kepala, kupu-kupu menari di antara bunga liar, sementara di kejauhan, suara alam bergema—nyaring tapi menenangkan, ramai tapi damai.

Setelah perjalanan panjang yang tak diukur waktu, mereka sampai di sebuah bukit kecil. Dari puncaknya, terlihat hamparan hutan Bukit Barisan sejauh mata memandang—lautan hijau yang bertemu dengan langit, tanpa batas, tanpa ujung.

“Subhanallah... megah sekali,” bisik Kalmi. Matanya berkaca, bukan karena sedih, tapi karena rasa syukur yang terlalu penuh, sampai-sampai tak muat lagi di dadanya.

Johan berdiri di sampingnya, diam. Lalu pelan-pelan, ia berkata, “Keysha... kau lihat ini, kan?” Suaranya nyaris tenggelam dalam angin yang berembus pelan. Tapi ia tahu, alam mendengar. Dan Keysha mungkin juga.

Mereka duduk di puncak bukit itu. Tak buru-buru. Tak ingin waktu berjalan cepat. Langit biru dan angin dingin menyelimuti mereka seperti selimut kenangan. Lalu, seperti pintu lama yang terbuka, ingatan-ingatan lama keluar satu per satu.

“Ingat gak waktu kita ketangkap Satpam kampus gara-gara kamu mau ngempesin ban mobil dosen?” tanya Kalmi, tawanya meledak tiba-tiba, jernih dan lepas.

Johan tertawa keras. “Ya Allah, gua sakit hati banget waktu itu! Dosen itu bilang, ‘Apa orang tua kamu gak ngajarin sopan santun?’ Panas dong gue! Gue jawab, ‘Pak, yang salah saya, jangan bawa-bawa orang tua saya.’ Eh, malah gue diusir keluar kelas!”

“Dan kita ketangkap karena lu juga, Mi! Gua suruh lu jaga sekitar, tapi lu malah ngelamun liatin cewek lewat! Satpam nyulik kita berdua!” Kalmi ikut tertawa, perutnya sampai sakit.

“Waktu itu ayam kampus lewat, bro! Fokus gua buyar!” Kalmi tertawa semakin keras, suara mereka menyatu dengan suara hutan. Sejenak, dunia terasa seperti dulu—sederhana dan penuh tawa.

Tapi sebagaimana hidup, tawa akan selalu disusul oleh hening. Dan dalam hening itulah, kalimat Johan muncul.

“Lu inget demo besar-besaran dulu, Mi?”

Kalmi mengangguk pelan. Senyumnya memudar jadi kesungguhan. “Tentu. Itu momen paling berarti. Kita berteriak untuk suara mahasiswa. Kita ditangkap, ditahan, dianggap biang kerok. Tapi itu hari di mana gue merasa kita benar-benar hidup.”

“Gue kadang rindu masa itu. Masa ketika kita bisa tertawa dan berjuang dalam waktu yang sama.”

Langit mulai berubah warna. Matahari perlahan tenggelam, menciptakan semburat jingga yang begitu indah, seakan mengucapkan selamat malam dengan cara yang paling elegan. Di puncak bukit itu, mereka terdiam. Tapi dalam diam itu, banyak hal yang disampaikan. Masa lalu, kehilangan, harapan, dan keteguhan hati yang tersisa.

Ketika matahari benar-benar tenggelam, mereka kembali ke tenda. Malam turun perlahan. Cahaya bulan menyusup di sela daun, menyorot lembut pada wajah-wajah yang telah letih, tapi damai. Johan memandang ke langit, lama.

Tak ada kata. Hanya doa tanpa suara. Sebuah pesan yang dikirim jauh ke angkasa—mungkin sampai.

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!