Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
“Aku cuma ingin memanggilmu untuk sarapan.”
Leonard tidak menanggapi dengan kata-kata. Ia hanya mengangguk singkat, lalu langsung melangkah keluar kamar lebih dulu.
Leora menatap punggungnya. Dadanya terasa sesak, tapi ia memanggilnya sebelum Leonard benar-benar pergi.
“Bukan kah… kita sudah menikah?”
Langkah Leonard terhenti.
Ia berdiri membelakangi Leora beberapa detik sebelum menjawab, suaranya datar dan dingin,
“Ya. Karena terpaksa. Bukan karena cinta.”
Kalimat itu jatuh begitu saja—tanpa ragu, tanpa empati.
Leora menelan ludah. Ia mendekat setapak.
“Aku tidak meminta kau mencintaiku,” ucapnya pelan namun tegas.
“Aku hanya berharap… kau bisa menganggapku ada.”
Leonard terdiam. Ia tidak menoleh.
“Ya,” katanya akhirnya.
“Mungkin aku akan berusaha.”
Tanpa menunggu apa pun lagi, Leonard melanjutkan langkahnya turun ke lantai bawah. Leora menyusul beberapa saat kemudian.
Di meja makan, hening.
Hanya suara sendok dan piring yang sesekali bersentuhan. Tidak ada percakapan. Tidak ada tatapan lama.
Leora akhirnya angkat suara,
“Kau tidak perlu tidur di sofa lagi.”
Leonard menoleh sekilas.
“Terserah aku,” jawabnya singkat.
“Ini rumahku.”
Leora mengangguk kecil. “Aku tahu.”
Ia terdiam sejenak, lalu berkata tanpa menatapnya,
“Aku tidak berniat merebut ruangmu. Atau kebiasaanmu.”
Leonard terus makan, ekspresinya tak berubah.
“Bagus.”
Leora tersenyum tipis—bukan senyum bahagia.
“Kalau begitu… kita sepakat untuk tidak saling mengganggu.”
Leonard mengangkat wajahnya.
“Selama kau tidak melewati batas.”
“Dan selama kau tidak menganggapku seperti bayangan,” balas Leora tenang.
Tatapan mereka bertemu sebentar. Tidak hangat. Tidak ramah.
Tapi untuk pertama kalinya, jujur.
Leonard kembali menunduk.
“Kita lihat saja nanti.”
Meja makan kembali sunyi.
Leonard meletakkan sendoknya dengan tenang, lalu berkata tanpa menatap Leora,
“Pernikahan kita tidak ada yang tahu.”
Leora mengangkat wajahnya.
“Kau tidak perlu bekerja di Damian Group lagi,” lanjut Leonard datar.
“Aku sudah bilang pada ayahmu bahwa kau akan berhenti dari divisi perusahaan Damian Group.”
Leora tertegun. “Kenapa?”
Leonard akhirnya menatapnya. Tatapannya dingin, penuh perhitungan.
“Jika ibuku melihatmu bekerja, dia akan marah. Apalagi jarak antara rumah ini dan Damian Group cukup jauh.”
Leora menahan napas.
“Aku sudah terbiasa bekerja,” ucapnya tegas.
“Aku tidak bisa dihentikan begitu saja hanya karena status menikah denganmu. Lagipula… orang lain juga tidak tahu, kan, tentang pernikahan kita.”
Leonard menatapnya lebih intens, seolah menimbang sesuatu.
“Baiklah,” katanya akhirnya.
“Kalau begitu… bekerjalah di perusahaanku.”
Leora langsung mengangkat dagunya, matanya membesar.
“APAA?!”
Leonard tetap tenang.
“Tenang saja. Aku tidak bisa menempatkanmu sebagai sekretaris pribadi.”
Nada suaranya terdengar dingin bahkan sedikit merendahkan.
“Sekretarisku yang sekarang jauh lebih berpengalaman daripada riwayatmu.”
Leora mengeraskan rahangnya.
“Tidak perlu.”
Leonard bersandar ringan di kursinya.
“Itu bukan permintaan.”
Leora menatapnya tajam.
“Aku akan menempatkanmu di divisi lain,” lanjut Leonard santai.
“Administrasi, keuangan, atau apa pun yang menurutku cocok. Terserah.”
Leora tertawa kecil pahit.
“Jadi sekarang kau bukan hanya suamiku yang terpaksa, tapi juga atasan yang sok mengatur?”
Leonard menatapnya datar.
“Aku hanya memastikan tidak ada masalah.”
“Masalah menurutmu,” balas Leora.
“Bukan menurutku.”
Hening kembali menyelimuti meja makan.
Leonard berdiri, merapikan jasnya.
“Pikirkan saja. Aku tidak akan mengulanginya dua kali.”
Sarapan telah selesai. Leonard berdiri dari kursinya dan hendak kembali ke kamar.
Namun sebelum ia melangkah jauh, Leora mendekat dan berkata pelan namun mantap,
“Baiklah. Aku setuju.”
Leonard berhenti.
Ia memasukkan tangan kanannya ke saku celana, sementara tangan kirinya terangkat melihat jam tangan.
Pukul setengah sembilan pagi.
“Cepat bersiaplah,” ucap Leonard datar.
“Datanglah lebih awal. Dokumenmu sudah diurus oleh Adriel.”
Leora mengangguk kecil. “Baik.”
Tak ada kalimat lain. Leonard melangkah pergi, sementara Leora menuju kamar untuk bersiap.
Tak lama kemudian, Leora selesai lebih dulu. Di bawah, sebuah mobil sudah menunggu sopir pribadi yang telah disiapkan Leonard.
Perjalanan berlangsung sunyi.
Saat mobil berhenti di depan gedung tinggi dengan logo perusahaan yang elegan, Leora menghela napas pelan.
Di lobi kantor, seorang pria berpenampilan rapi langsung mendekat.
“Nyonya Leora?” sapanya sopan.
“Saya Adriel, sekretaris pribadi Tuan Leonard.”
Leora tersenyum dan menjabat tangannya.
“Panggil aku Leora saja. Tidak perlu ada kata Nyonya.”
Adriel mengangguk hormat.
“Baik, Leora. Saya akan menjaga privasi Anda sebagai istri Tuan Leonard. Jadi Anda bisa tenang.”
Leora mengangguk.
Adriel lalu mengantarkannya ke area kerja.
Di sana, beberapa karyawan menoleh. Leora diperkenalkan secara singkat, lalu mulai berkenalan.
Seorang perempuan berambut sebahu tersenyum ramah.
“Aku Rania, divisi administrasi.”
“Leora,” jawabnya.
Seorang pria berkacamata ikut menyapa,
“Aku Dimas, keuangan.”
Tak jauh dari mereka, seorang perempuan lain mendekat tatapannya penasaran.
“Aku Selin,” katanya. “Kapan kau mendaftarkan dirimu bekerja di sini?”
Leora tersenyum kecil.
“Sudah beberapa minggu yang lalu.”
Selin mengangguk kagum.
“Kau beruntung. Sulit sekali bisa bekerja di sini.”
"Semoga kita bisa akrab sebagai rekan kerja untuk saat ini dan kedepannya. " ucap Leora
Leora masih berdiri di dekat mejanya ketika seorang pria mendekat sambil membawa map tipis.
“Divisi baru, ya?” sapanya ramah.
“Aku Arga, operasional.”
Leora tersenyum. “Leora.”
Arga mengangguk kecil. “Biasanya orang baru agak kaget lihat ritme kerja di sini. Kalau ada yang bikin bingung, tanya saja.”
“Terima kasih,” jawab Leora.
Arga melirik ke layar komputer di meja Leora.
“Kau kelihatan masih muda. Baru lulus?”
Leora menggeleng pelan. “Sudah bekerja sebelumnya.”
“Oh,” Arga tersenyum tipis. “Pantas kelihatan tenang.”
Ia terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada santai,
“Kalau boleh tahu… kau sudah berkeluarga?”
Leora membalas senyum itu.
“Belum.”
Arga mengangguk. “Baiklah. Selamat bergabung.”
Tak lama kemudian, Selin menarik kursi dan duduk di sebelah Leora.
“Baik,” katanya sambil membuka beberapa berkas.
“Aku jelaskan dulu tugas-tugasmu.”
Selin menunjuk layar.
“Kau akan menangani rekap administrasi proyek, mengatur jadwal rapat divisi, dan membantu penyusunan laporan bulanan. Tidak berat, tapi butuh ketelitian.”
Leora mengangguk, mencatat.
“Untuk peraturan perusahaan,” lanjut Selin,
“Jam kerja dimulai pukul delapan tiga puluh. Terlambat lebih dari sepuluh menit harus lapor ke atasan langsung.”
Leora mengangguk lagi.
“Tidak boleh membocorkan data perusahaan, apalagi keluar gedung,” kata Selin serius.
“Kau benar-benar terlihat tenang,” ujar Selin sambil melipat tangan.
“Biasanya orang baru di sini butuh waktu untuk menyesuaikan diri.”
Leora tersenyum tipis. “Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan ritme kerja yang cepat.”
Selin menatapnya sejenak, seolah menilai.
“Bagus. Tapi di sini, cepat saja tidak cukup.”
Leora mengangkat wajahnya. “Maksudmu?”
“Teliti,” jawab Selin tegas.
“Satu angka salah, satu jadwal meleset, bisa berantakan satu divisi.”
Leora mengangguk. “Aku mengerti.”
Selin membuka map lain dan menunjuk beberapa berkas.
“Ini tugas harianmu. Rekap data proyek, cek ulang laporan sebelum naik ke atasan, dan jangan pernah mengirim dokumen tanpa konfirmasi.”
Nada suaranya berubah lebih rendah.
“Terutama kalau sudah menyangkut meja atas.”
Leora menelan ludah. “Meja atas?”
Selin mendekat sedikit.
“Kalau kau bertemu Nyonya Sherly…”
Leora berhenti menulis.
“…hati-hati,” lanjut Selin pelan.
“Dia mandor kepercayaan Tuan Presdir. Orangnya tegas, galak, dan tidak suka kesalahan sekecil apa pun.”
“Seberapa galak?” tanya Leora.
Selin tersenyum miring.
“Pernah ada staf menangis di pantry hanya karena salah format laporan.”
Leora terdiam.
“Kalau dia memanggilmu,” kata Selin lagi,
“datang tepat waktu, bawa semua berkas, dan jangan membantah.”
Leora mengangguk pelan. “Aku akan ingat itu.”
Selin menatapnya lebih lama.
“Dan satu hal lagi.”
Leora menoleh.
“Di perusahaan ini,” ucap Selin serius,
“yang bertahan bukan yang paling pintar. Tapi yang paling bisa menjaga sikap.”
Leora kembali menatap berkas-berkas di mejanya. Deretan angka, jadwal, dan laporan tertata rapi di layar.
> Hah… tugas seperti ini saja,
pikirnya dalam hati.
Ini masih kecil… dibandingkan tugasku sebagai anak dari Presdir Damian Group.
Tangannya tetap bergerak tenang, jemarinya lincah menelusuri data. Tidak ada keraguan, tidak ada kebingungan.
> Kalau ini ujian pertamaku di sini,
aku tidak boleh terlihat istimewa.
Cukup bekerja seperti karyawan biasa.
Leora menarik napas pelan dan kembali fokus.
Di balik sikapnya yang tenang, tersimpan pengalaman yang jauh lebih berat dari yang orang-orang di ruangan itu bayangkan.
Dan tanpa ada yang menyadari,
perempuan yang mereka anggap “beruntung” itu
sebenarnya hanya sedang menahan diri
agar tidak terlalu menonjol.